Oleh : Aquilinus Royen* Demam berdarah atau DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang belum dapat dikendalikan, karena kasu...
Oleh : Aquilinus Royen*
Demam berdarah atau DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang belum dapat dikendalikan, karena kasus penularan dan kematian masih cukup tinggi khususnya di NTT. DBD dapat disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpictus.
Umumnya, gejala penyakit DBD yang menyerang penderita ditandai dengan demam tinggi, sakit kepala, serta kemerahan pada kulit. Pada masa kritis, penderita DBD mengalami penurunan trombosit atau sel darah merah akibat pecahnya pembuluh darah, sehingga apabila tidak ditangani dengan baik maka dapat mengakibatkan kematian. Menurut data kemenkes (kementerian kesehatan) pada bulan juni 2020 lalu, NTT termasuk zona merah untuk kasus DBD dengan jumlah 5.539 kasus, dan puluhan orang lainnya meninggal dunia.
DBD yang tinggi khususnya di NTT disebabkan karena sebagian besar wilayah NTT merupakan wilayah endemik bagi nyamuk pembawa penyakit DBD, sehingga dalam penanganannya cukup sulit apabila tidak adanya kerjasama antar masyarakat pemerintah dan pihak lainnya. Faktor lingkungan cukup menjadi pendukung perkembangbiakan nyamuk, seperti curah hujan yang tinggi pada saat tertentu, dan kekeringan sehingga menjadi pemicu masyarakat untuk menampung air di penampungan air, karena sebagian besar wilayah di NTT cukup jauh dari sumber mata air bersih, sehingga kebanyakan masyarakat memiliki tempat penampungan air.
Tempat penampungan air yang tidak ditutup menyebabkan nyamuk dapat berkembang biak karena umumnya nyamuk bertelur di genangan air yang tenang, serta sawah yang cukup luas juga menjadi pemicu perkembangbiakan nyamuk.
Selain karena faktor lingkungan, perubahan iklim dan curah hujan juga akan mempengaruhi peningkatan kasus DBD. Kekhawatiran meningkatnya kasus DBD semakin bertambah semenjak badai Seroja yang melanda NTT yang mengakibatkan curah hujan tinggi sehingga memorak porandakan beberapa wilayah, dan badai tersebut juga dikhawatirkan akan menjadi penyebab sumber penyakit tular vektor khususnya DBD. Faktor lingkungan juga didukung oleh kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat seperti kebiasaan membuang sampah sembarangan, menumpuk barang-barang lama di rumah, serta menggantung pakaian.
Dalam perkembangbiakannya, nyamuk Aedes aegypti ini memiliki tempat-tempat tertentu untuk dapat dijadikan lokasi pendukung perkembangbiakannya, seperti genangan air sebagai lokasi utama nyamuk untuk bertelur. Kemudian, nyamuk juga menyukai tempat seperti baju yang digantung, dan ditempat yang lembab. Nyamuk Aedes aegypti jantan tidak menghisap darah sedangkan nyamuk betina memiliki kecenderungan untuk menghisap darah untuk perkembangbiakannya. Nyamuk betina inilah yang dapat menyebar virus Dengue. dalam proses penyebarannya, nyamuk betina menggigit penderita BDB kemudian nyamuk betina ini terinfeksi virus Dengue dan dapat langsung ditularkan kepada orang lain lewat gigitan atau hisapan darah. Aktivitas nyamuk betina untuk menghisap darah biasanya pada pagi hingga sore bahkan malam hari.
Di NTT sendiri, DBD menjadi perhatian khusus sehingga berbagai pihak khususnya pemerintah, tenaga kesehatan dan pihak lainnya sedang gencar melakukan upaya-upaya pengendalian DBD. Penyakit kesehatan masyarakat umumnya memiliki kecenderungan tidak dapat dihilangkan melainkan dapat dikendalikan. Pengendalian dimaksudkan agar suatu penyakit tidak menyebar luas. Untuk itu, terdapat beberapa alternatif sederhana yang dapat dilakukan di rumah sebagai upaya untuk mengendalikan penyakit DBD yang ditularkan oleh nyamuk yaitu dengan cara memelihara tanaman seperti lavender, serai wangi, dan kemangi. Tanaman tersebut memiliki aroma yang tidak disukai oleh nyamuk. Selain tanaman, juga dapat memelihara ikan yang dapat memakan jentik nyamuk seperti ikan cupang, ikan gabus dan ikan guppy. Namun, dalam penggunaan tanaman dan ikan terdapat kekurangannya yaitu jangkauan sempit, dan pemeliharaan harus rutin dilakukan. Untuk dapat menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dapat juga dilakukan dengan menggunakan kelambu, dan membuat perangkap nyamuk.
Alternatif pengendalian secara biologis (pemeliharaan ikan dan tanaman) dan secara mekanik (penggunaan kelambu dan perangkap nyamuk) ini dinilai sangat aman untuk dilakukan dibandingkan pengendalian secara kimiawi yang menggunakan bahan insektisida untuk memberantas nyamuk, seperti penggunaan obat anti nyamuk yang dioleskan ke tubuh, dibakar dan disemprot, penggunaan fogging maupun abate. Penggunaan obat insektisida dinilai dapat menyebabkan efek samping yang buruk bagi kesehatan manusia, misalnya penggunaan obat nyamuk semprot yang mengandung senyawa piretrin dan jika terhirup dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan sesak napas, muntah, dan kehilangan kesadaran. Penggunaan abate yang berlebihan menyebabkan reaksi alergi seperti gatal-gatal, pusing, mual, dll pada orang yang alergi terhadap Temephos (kandungan yang ada pada abate). Bahaya asap dari produk obat bakar anti nyamuk dan fogging yang dapat memicu kanker paru-paru dan jika penggunaannya dalam jangka panjang atau sering dilakukan maka dikhawatirkan nyamuk menjadi tahan terhadap bahan kimia yang digunakan sehingga peningkatan dosis terus dilakukan dan akhirnya nyamuk menjadi kebal. Penggunaan insektisida ini disarankan untuk tidak dilakukan secara intens agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan kita.
Selain itu, alternatif lain dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitarnya agar tetap bersih dan bebas dari genangan air dan menghindari menumpuk atau menggantungkan pakaian terlalu lama. Kebersihan lingkungan selalu menjadi kunci utama dalam pengaruhnya terhadap kesehatan. Kebersihan lingkungan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan menerapkan berbagai program seperti program 3M (membersihkan, menguras, menutup), program 1 rumah 1 jumantik atau menunjuk dan menjadikan satu anggota keluarga sebagai juru pemantau jentik (jumantik) yang bertugas memantau, membasmi sarang dan larva nyamuk serta menerapkan program hidup sehat.
Kerja sama antar masyarakat, pemerintah serta stakeholder lain juga sangat dibutuhkan untuk mengendalikan ancaman DBD di NTT. Sosialisasi, penyuluhan dan edukasi yang dilakukan oleh pihak terkait harus terus menerus dilakukan, dan diharapkan kepada seluruh masyarakat agar edukasi, sosialisasi atau penyuluhan yang diberikan tidak diabaikan begitu saja karena penyakit DBD ini termasuk masalah kesehatan yang sangat serius sehingga untuk pengendalian dan penanganannya harus dilakukan bersama-sama oleh semua pihak. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran diri terhadap keselamatan diri dan lingkungan agar NTT dapat keluar dari zona infeksi DBD menuju NTT yang maju dan sehat.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta Email : royenaquilinus13@gmail.com