HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pentingnya Mencatatkan Perkawinan

Iin Malinda Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan: Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Dosen Iping Rahmad...

Iin Malinda Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan: Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Dosen Iping Rahmad Sahputra.M.Sc

Lentera24.com | Sebagian warga Indonesia tampaknya masih menghadapi masalah pencatatan perkawinan. Pencatatan adalah salah satu bentuk upaya tertib administrasi di Negara yang modern. Tidak hanya bersifat sebagai administrasi, pencatatan perkawinan juga menjadi jaminan terpenuhinya hak-hak sipil masyarakat di mata hukum.

Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan manusia, karena di samping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia tetapi juga menyangkut hubungan keperdataan, perkawinan juga memuat unsur sakralitas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.

Perkawinan juga institusi yang sangat penting dalam masyarakat, eksistensi institusi inilah yang melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan wanita, hubungan itulah untuk melakukan sebuah perkawinan harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan harus di catat dan di lakukan di hadapan pengawai pencatat perkawinan untuk mendapat kepastian hukum. Dengan perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis, maupun secara sosial.

Namun Indonesia dengan berbagai agama adat dan budaya tentunya juga terdapat berbagai jenis hukum, yaitu hukum islam seperti yang terdapat dalam kompilasi hukum islam, hukum adat dan hukum Negara yang berlaku untuk seluruh golongan.

Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan serta penyatuan sistem hukum,maka pemerintah Indonesia menetapkan regulasi yang mengatur soal perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

Dalam Undang-Undang ini, Negara menganggap sah suatu perkawinan apabila perkawinan itu di catatkan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (2). Berbagai respon muncul terkait pencatatan perkawinan baik yang positif maupun negative. Di dalam literatur klasik (kitab-kitab fiqih) tidak di temukan aturan tentang pencatatan perkawinan sebagai sahnya perkawinan.

Perkawinan merupakan ranah privat  yang seharusnya Negara tidak berhak ikut campur dalam urusan itu. Alasan inilah yang menjadi dalih bagi kalangan yang menolak pencatatan perkawinan.

Dalam perspektif fiqih ada beberapa analisis yang dapat di kemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak di beri perhatian yang serius oleh fiqih walaupun ada ayat Al-qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah.

Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Alqur’an, akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang di banding dengan kultur hafalan. Kedua, maka mereka sangat mengandalakan hafalan (ingatan), mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit di lakukan. Ketiga, tradisi walimatul ursy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa awal-awal islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda.

Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung di mana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum di sebutkan.

Dengan berbagai penjelasan di atas, dapatlah kita katakan bahwa pencatatan perkawinan belum di pandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.

Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulisan sebagai ciri masyarakat modern, menuntut di jadikannya akta surat sebagai fungsi autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia juga dapat mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti.

Dari sudut pandang penulis perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan wanita menimbulkan akibat lahir batin. Setiap mahkluk hidup memiliki hak asasi untuk melanjutkan keturunannya, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan.

Ada beberapa perbedaanya dalam pelaksanaan yang di sebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadapa agama yang di anut. Setiap orang jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak antara mereka berdua dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Memang benar keharusan melakukan pencatatan perkawinan telah di atur dalam Undang-undang yang telah di sebutkan di atas namun fenomena yang terjadi di masyarakat tidak begitu sinkron dengan peraturan yang telah di tetapkan.

Masih banyak nikah yang belum di catat terutama di daerah perkampungan yang penduduknya masih melihat fiqih dalam perspektif fiqih klasik, benar bahwasanya kita juga harus melihat dari dasar atau asal hukum yang telah ada. Namun dunia semakin berkembang akan lebih baiknya jika fiqih yang dahulu kita perbaharui kembali agar selaras dengan perkembangan yang terjadi. Pencatatan perkawinan sebagai tanda sahnya perkawinan masih terus di perdepatkan dan menimbulkan sikap pro dan kontra.

Faktor dari penyebab perkawinan yang tidak dicatat adalah pernikahan di bawah umur. Sekarang ini pernikahan di bawah umur menjadi hal yang sudah biasa, alasan mereka yang melakukan pernikahan ini adalah untuk meringankan beban orang tua.

Menurut penulis pernikahan di bawah umur memiliki dampak yang kurang baik karena belum ada kesiapan dari kedua belah pihak untuk memulai sebuah komitmen dalam berumah tangga. Seharusnya anak yang masih di bawah umur mengasah kemampuan mereka untuk bekal masa depan. Karena pernikahan bukan lah sesuatu yang bisa di sepelekan. Perkawinan yang tidak di catat juga banyak di minati oleh orang-orang yang menikah untuk kedua kalinya atau berpoligami, ini bisa menjadi langkah yang di ambil karena tanpa adanya izin dari istri pertama.

Demi memenuhi keinginan untuk mempunyai istri lebih satu tanpa perlu menceraikan istri pertama, ini merupakan pilihan yang tepat.

Tujuan dari pencatatan perkawinan merupakan kepastian hukum dan dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, maka dengan adanya pencatatan perkawinan Negara sebagai organisasi yang menaungi seluruh warganya akan memberikan kekuatan bukti autentik tentang terjadinya perkawinan, sehingga para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapa pun di  hadapan hukum.

Pencatatan perkawinan juga memudahkan birokrasi,jika pernikahan memiliki bukti hukum berupa surat nikah. Maka,surat nikah ini bisa di gunakan untuk mempermudah berbagai urusan birokrasi setelah pasangan menikah. Entah, itu pengajuan tunjangan keluarga, asuransi, atau izin mendampingi zaman yang di tugaskan di luar negeri.

Dengan melakukan pencatatan perkawinan dapat memudahkan pengurusan hak asuh anak. Memang, tak ada orang yang menikah dengan tujuan bercerai di kemudian hari. Namun, kemungkinan buruk selalu bisa terjadi. Perceraian bisa menjadi perkara yang berlarut-larut, menghabiskan energi, serta biaya.

Urusan seperti bisa menjadi semakin rumit jika tidak ada bukti yang mengesahkan perkawinan,dan salah satu masalah yang sulit di putuskan dalam hal ini adalah sengketa hak asuh anak.

Kemudian bagi pasangan suami istri yang tidak tercatat perkawinan, hidup satu rumah atau menginap di hotel akan di anggap sebagai pasangan yang melakukan zina atau khalwat yang sewaktu-waktu bisa di razia atau di grebeg oleh massa karena ia tidak dapat menunjukkan bukti perkawinan. Ancaman razia dan penggrebegan pasti membuat pasangan suami-istri merasa tidak nyaman dan tidak bisa melakukan segala hal dengan bebas. Saya juga melihat bahwasanya pencatatan perkawinan ini membawa manfaat yang begitu besar bagi perempuan, dengan adanya pencatatan maka laki-laki tidak bisa semena-mena dengan perempuan, karena perempuan juga memiliki hak yang setera dengan laki-laki.

Sekarang ini banyak terjadi suami yang lalai akan kewajiban nya sebagai suami dalam memenuhi kewajibnnya, jika ia menuntut suaminya untuk memenuhi kewajibannya di Pengadilan seperti yang di atur dalam pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan atau akan menggugat suaminya di pengadilan karena telah melakukan penelantaran sebagaimana di atur dalam Pasal 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maka perempuan akan mengalami kesulitan karena tidak ada bukti adanya hubungan perkawinan. Sudah jelas terlihat bahwa yang akan rugi adalah pihak perempuan.

Ketika pasangan suami istri yang perkawinan tidak tercatat maka juga akan mengalami kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran anaknya di Kantor Cacatan sipil, karena salah satu kelengkapan administrasi karenanya, Kantor Cacatan Sipil akan menerbitkan Akta kelahiran Anak tanpa mencantumkan nama bapaknya dalam Akta tersebut.

Talak juga merupakan hal yang dengan mudahnya menjatuhkan talak terhadap istri kapanpun dia kehendaki. Bahkan ada yang lebih parah yaitu suami atau istri dapat mengingkari bahwa tidak pernah terjadi suatu per nikahan. Status hukum anak juga tidak jelas, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang lahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak di catat, selain di anggap anak yang tidak sah seperti dalam pasal 43 Undang-Undang perkawinan, sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

Begitu juga mengenai Hak istri dan anak atas nafkah, warisan tidak terjamin, baik anak dan ibunya tidak bisa menuntut nafkah atau warisan, harta yang terdapat dalam perkawinan juga hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkan karena tidak ada harta bersama.

Perkawinan yang tidak di lakukan pencatatan memang sah di mata agama karena sudah memenuhi syarat dan rukun yang telah di tentukan, namun, ini berbanding terbalik dengan hukum Negara karena perkawinan itu tidak sah. Dalam segi sosial istri yang tidak catatkan perkawinannya maka akan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar karena akan di anggap istri simpanan.

Dari dampak negative yang telah penulis uraikan bahwa pencatatan perkawinan itu sangat penting, dampak yang di timbulkan juga sangat condong kepada perempuan. Namun, masih banyak perempuan yang tidak begitu peduli dengan pencatatan ini, mereka mau saja di ajak menikah tanpa adanya pencatatan padahal jelas sekali banyaknya kemudharatan di kemudian hari terhadap hak anak dan status perkawinan.

Di sini penulis menyarankan bahwa perlu keberanian para ulama untuk memasukkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu rukun perkawinan ala fiqh kontemporer Indonesia, di sarankan kepada masyarakat tentang betapa pentingnya untuk mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama, selain syarat tertib administrasi perkawinan dan menentukannya sah di mata hukum Negara, apabila pernikahan sudah terlanjur tidak di catatkan maka akan lebih baiknya melakukan permohonan itsbat nikah.

Kemudian perlu upaya sosialisasi terhadap pentingnya pencatatan perkawinan yang di sampaikan kepada masyarakat pedalaman terutama perempuan bahwa pencatatan perkawinan tidak merugikan dan tidak bermaksud ikut campur dalam urusan sakral namun memberikan kemaslahatan bagi perempuan. Dengan adanya sosialisasi diharapkan kedepannya pencatatan perkawinan bisa di laksanakan oleh seluruh masyarakat. []***