Sulthan Alfaraby (Pemuda asal Aceh Barat dan Pegiat Diskusi) Lentera 24 .com | Potret buram pendidikan kini mulai bergeming lagi. Sepe...
Lentera24.com | Potret buram pendidikan kini mulai bergeming lagi. Seperti dilansir dari berbagai sumber, ada seorang mahasiswa di Makassar yang tewas karena terjatuh dari menara masjid di tempat kelahirannya. Diketahui, korban memanjat menara masjid pada Rabu (6/5/2020) malam, untuk sekedar mencari sinyal internet agar bisa menyelesaikan tugas kuliah onlinenya.
Pasalnya, di kampung halaman korban ternyata dikabarkan masih sulit terjangkau oleh jaringan internet seluler.
Salah satu rekan seperjuangan beliau pada Jumat (8/5/2020), juga sempat memberikan pernyataan bahwa korban memanjat mencari jaringan internet seluler untuk menyelesaikan tugas perkuliahan online dan tidak sengaja menginjak tripleks dan balok rapuh di atas menara masjid sehingga terjatuh dan meninggal dunia.
Mendengar hal tersebut, Penulis merasa sangat prihatin dan menyatakan bahwa fasilitas negara seperti jaringan internet yang sudah seharusnya dinikmati oleh seluruh elemen sipil ternyata belum sepenuhnya bisa dirasakan, terlebih untuk masyarakat yang tinggal jauh dari hiruk pikuknya peradaban kota besar.
Dalam hal ini, negara harus bertanggung jawab atas ketidakadilan yang dirasakan oleh anak bangsa dalam mewujudkan pendidikan di tengah pandemi dengan membuat berbagai inovasi untuk menunjang pendidikan di tengah pandemi.
Ternyata tak hanya itu, pada hari Kamis (2/4/2020), seorang mahasiswi di Makassar juga dikabarkan bernasib yang sama dan meninggal dunia usai terlibat kecelakaan lalu lintas saat ingin mencari lokasi yang jaringan internetnya lancar agar bisa berkuliah online.
Mahasiswi yang diketahui sedang menempuh perkuliahan di semester dua tersebut harus meninggal di kampung halamannya. Yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, sudahkah kita peduli sepenuhnya dengan nasib pendidikan?, atau sebaliknya, apakah pendidikan hanya menjadi pajangan alih-alih menunggu pemasukan dari mahasiswa pada tiap semesternya? Jangan sampai pendidikan malah membinatangkan manusia dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Memang benar adanya, maut memang tak bisa diprediksi, setiap manusia pasti akan mati. Namun, kematian yang diakibatkan oleh masalah sepele semacam jaringan internet apakah mampu membuka mata hati kita untuk prihatin dengan nasib di negeri ini? Jangan menunggu nasi berubah menjadi bubur agar hati kita mau peduli akan hak ini.
Pada tanggal 17 Agustus 2020 nanti, Indonesia akan menginjak usia ke-75 tahun, maka dari segi kacamata pendidikan sudah seharusnya permasalahan ini dibenahi, apalagi kondisi pandemi yang belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Sebaiknya, fasilitas publik lebih diperhatikan di daerah pelosok dan sulit terjangkau oleh kehidupan modern, karena dari sanalah bibit-bibit unggul para pemimpin bangsa di masa depan juga berhak untuk merasakan nikmat kemerdekaan di era 4.0 ini.
Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan solusi yang kongkrit dan sinergisitas antara pusat dan daerah-daerah serta kampus terkait, salah satunya seperti menyediakan kendaraan berteknologi yang dilengkapi dengan fasilitas internet serta bisa bermobilisasi dari satu titik ke titik yang lainnya.
Tentunya, ini akan memudahkan para anak bangsa dalam melanjutkan pendidikannya dengan lancar tanpa harus takut sulitnya mengakses jaringan internet. Apalagi harus takut dengan ancaman kematian saat sedang berjuang menuntut ilmunya!.
Ini sudah era 4.0, bahkan bangsa lain akan mempersiapkan era 5.0, maka sudah seharusnya kita sadar dengan permasalahan yang serius ini dan jangan sampai ada lagi anak bangsa yang menjadi korban dan menjadi potret buram pendidikan selanjutnya.
Di sisi lain, kampus juga harus paham dengan kondisi setiap mahasiswanya. Konteks paham di sini adalah memahami bahwasanya tidaklah semua mahasiswa mampu berkompetisi secara adil untuk saat ini. Mereka ada yang tinggal di daerah pegunungan, pesisir pantai, di tengah hutan bahkan ada yang di pulau terpencil! Bagaimana mungkin mereka bisa disamakan dengan para mahasiswa yang tinggal di pusat kota besar yang jaringan internetnya sangatlah memadai dan lancar serta ketersediaannya layanan publik yang begitu unggul? Berbeda halnya jika pada saat kondisi normal, yang dimana seluruh mahasiswa berada pada satu titik atau daerah tempatnya menjalani perkuliahan di kampus untuk menuntut ilmu maupun berkompetisi secara fair.
Dosen selaku tenaga pengajar, juga harus memberikan kelembutan nuraninya demi terciptanya rasa aman pada jiwa mahasiswa selaku anak-anak didiknya.
Penulis pernah mengadakan sebuah Diskusi Online terkait permasalahan ini pada beberapa waktu lalu dengan seorang Dosen asal Bireuen Aceh, dan seorang penulis buku populer yang juga berasal dari kalangan akademisi di Kota Banda Aceh. Pada saat berdiskusi, mereka menyatakan bahwa mereka tidak pernah memberatkan para mahasiswanya dan memahami nasib setiap mahasiswa tidaklah sama saat sedang menempuh studi di tengah pandemi ini.
Oleh karena itu, pentingnya pengertian dari segala pihak untuk mendukung penuh mahasiswa dalam keadaan genting seperti ini.
Jika Dosen mengesampingkan 'ego' dan lebih mengutamakan aspek kekeluargaan kepada mahasiswa, maka jangan ragu bahwa para mahasiswa akan selalu mendukung dan mendoakan Dosennya.
Sudah seharusnya untuk saat ini, semua pihak harus saling mengerti dan men-support demi terwujudnya kelancaran proses pendidikan. Ingat, kematian pendidikan merupakan mimpi buruk yang tak ingin dilihat oleh semua orang, matinya pendidikan maka matinya peradaban. Mari kita akhiri potret buram pendidikan dengan mulai mempersiapkan solusi dan inovasi untuk jangka panjang. Keadilan pendidikan harus segera diwujudkan dan ditegakkan.
Akhir kata, salam hormat dari Penulis untuk kalian yang masih berjuang menempuh pahitnya pendidikan, tetap semangat dan jangan mudah menyerah dalam pertempuran demi meraih gelar Sarjana. Wassalam. []***