Oleh Qoyyum, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dosen Penguji Nur Afni Khafsoh, M.Sos. Lentera 24 .com| Berbicar...
Oleh Qoyyum, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dosen Penguji Nur Afni Khafsoh, M.Sos.
Lentera24.com|Berbicara kemiskinan tidak akan pernah ada habisnya, diseluruh negara di dunia kemiskinan selalu menjadi problem yang selalu ada. Di Indonesia sendiri kemiskinan sudah seperti anak dan orang tua, keduanya melekat tak bisa dipisahkan. Meskipun angka kemiskinan di Indonesia sudah menurun dari tahun sebelumnya, namun jumlah kemiskinan di perkotaan masih terbilang tinggi.
Dosen Penguji Nur Afni Khafsoh, M.Sos.
Lentera24.com|Berbicara kemiskinan tidak akan pernah ada habisnya, diseluruh negara di dunia kemiskinan selalu menjadi problem yang selalu ada. Di Indonesia sendiri kemiskinan sudah seperti anak dan orang tua, keduanya melekat tak bisa dipisahkan. Meskipun angka kemiskinan di Indonesia sudah menurun dari tahun sebelumnya, namun jumlah kemiskinan di perkotaan masih terbilang tinggi.
Sebagai realitas sosial, tentunya kemiskinan tidak dapat dihilangkan secara mutlak, tetapi dapat diatasi atau diperbaiki kualitasnya sehingga dapat memperbaik kehidupan ekonomi masyarakat.
Ada beberapa faktor penyebab kemiskinan, khususnya yang terjadi pada masyarakat perkotaan di Indonesia. Salah satunya adalah faktor eksternal, yang artinya penyebab dari kemiskinan tersebut tidak berasal dari si miskin yang malas bekerja atau tidak mau berusaha, melainkan dari luar seperti ketidak mampuan dan kegagalan suatu sistem dalam mengatur ekonomi, birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya, kesempatan yang sama dan pekerjaan yang merata.
Ada orang yang miskin karena alasan kemalasan dan tidak mempunyai kompetensi yang bisa diandalkan untuk keluar dari kimiskinan materi. Tetapi, ada juga orang yang dimiskinkan oleh struktur dan sistem politik tertentu.
Dalam hal ini, sekalipun orang tersebut memiliki kepribadian pekerja keras dalam bekerja dan mempunyai kompetensi yang handal untuk menunjang hidupnya, orang tersebut tetap berada dalam kubangan kemiskinan karena struktur dan sistem yang berkehendak untuk memiskinkan masyarakat.
Kurang lebihnya itulah yang disebut kemiskinan akibat dari faktor tekanan struktural. Maka muncul istilah kemiskinan struktural yang disebabkan oleh kesenjangan kebijakan-kebijakan.
Para ahli menyatakan, kemiskinan struktural dialami suatu golongan masyarakat yang tidak dapat mengakses sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka karena sistem yang ada.
Maka tak ada salahnya jika kita belajar dari tentang teori Marxisme, seperti teori “Kelas” yang pernah dipopulerkan oleh Karl Max untuk mengetahui bagaimana suatu sistem sosial bekerja dan pengaruhnya terhadap kemiskinan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat perkotaan.
Marxisme sendiri adalah sebuah paham yang berdasar pada pandangan-pandangan Karl Marx, pengikut teori ini disebut sebagai Marxis. Salah satu dari teori marxisme yang terkenal adalah mengenai teori “kelas” sebagai penyebab dari kemiskinan struktural.
Karl Max yang Lahir pada 05 Mei 1818 dan terkenal sebagai seorang filsuf, sosiolog, ekonom sekaligus pembuat teori politik ini berpendapat bahwa kemiskinan struktural yang terjadi adalah akibat adanya kepentingan yang muncul dari hubungan penindasan dan dominasi dalam produksi.
Secara objektif dan naluri, setiap orang memiliki suatu kepentingan agar dirinya tidak ditindas atau didominasi oleh siapapun juga. Hal tersebutlah yang kemudian memunculkan pertentangan kelas untuk kemudian mengakibatkan ketimpangan dan kemiskinan yang terstuktur.
Selanjutnya dalam struktur ekonomi masyarakat, Marx membaginya menjadi dua kelas, yaitu antara kaum kapitalis (kaum pemodal yang mejalankan alat produksi) dan kaum buruh atau proletar.
Dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas ini saling berhadapan, keduanya saling membutuhkan, bedanya buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik modal membuka tempat kerja baginya sedangkan pemilik modal beruntung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimiliki.
Meskipun di satu sisi keduanya saling membutuhkan, namun disis lain yang paling membutuhkan keduanya tidak jadi imbang. Sebab buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja, atau sangat tergantung dari pekerjaan yang diberikan oleh pemilik modal. Sebaliknya, meskipun si pemilik tidak mempunyai pendapatan jika pabriknya tidak berjalan, tetapi mereka masih bisa bertahan lebih lama. Mereka dapat hidup dari keuntungan yang dikumpulkannya selama pabriknya beroperasi atau jika terdesak mereka dapat menjual pabriknya.
Oleh karena itu, kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas pemilik modal. Itu artinya, pemilik modal memiliki kuasa yang lebih besar. Dengan demikian, pemilik modal adalah kelas yang kuat dan para pekerja yang meskipun mereka memiliki skill yang baik tapi merupakan kelas yang lemah.
Pemilik modal dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja, dan bukan sebaliknya. Pada gilirannya, keuntungan diperoleh, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara yang tidak lazim, yaitu exploitasi.
Konsep mengenai pertentangan kelas merupakan pokok yang diturunkan dari cara produksi dan hubungan produksi yang meskipun timbal balik tapi memiliki ketimpangan dalam masyarakat.
Adanya kepemilikan terhadap alat-alat produksi yang sifatnya individual mengandaikan nasib orang banyak dapat ditentukan oleh kelompok kecil. Jadi, pertentangan-pertentangan kelas yang berlangsung sejak dahulu hingga kini, jika dilihat dari jalan pikiran Karl Max hanya bertumpu kepada dua kelas yaitu borjuis (kaya) dan proletar (miskin).
Kelas borjuis berhasil memperoleh kekuasaan ekonomi dan politik. Dengan kekuasaan ini mereka mengubah hubungan manusia menjadi transaksi komersial yaitu menempatkan tenaga buruh tidak lebih dari barang dagangan.
Keadaan terakhir ini dalam perkembangannya mengarah pada proses dehumanisasi kelas pekerja yang akhirnya menjadi sebab dari kemiskinan struktural karena ada ketimpangan sosial.
Ketimpangan sosial tersebutlah yang kemudian membuat kaum pemilik modal dan alat produksi semakin kaya, sedangkan yang lainnya semakin miskin tersrtuktur.
Dari berbagai ulasan, realiata, dan analisis pertentangan kelas diatas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang terjadi di banyak negara dunia, terutama di Indonesia, dan khususnya masyarakat perkotaan tidak hanya dari faktor individu, tapi juga ditentukan dari adanya struktur ekonomi politik yang ada.
Hemat penulis, justru sistem tersebutlah yang sesungguhnya memiliki dampak besar, sebab tidak hanya berdampak pada satu individu tapi juga kepada masyarakat luas.[]***