Seekor anak harimau sumatera [Pantera tigris sumatrae] masuk kandang jebak yang dipasang Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera ...
Seekor anak harimau sumatera [Pantera tigris sumatrae] masuk kandang jebak yang dipasang Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Barat di ladang warga. Tepatnya, di Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu [13/6/2020]. BKSDA terpaksa mengambil tindakan tersebut setelah upaya pengusiran gagal dilakukan, sementara harimau dilaporkan sering terlihat warga.
Harimau betina yang diberi nama “Putri Singguluang” merujuk lokasi asalnya Bukit Singguluang, kini sedang diobservasi di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya [PR-HSD] di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat [Sumbar].
Harimau betina muda bernama “Putri Singguluang” saat ini berada di kandang isolasi Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya [PR-HSD]. Ia akan menjalani karantina selama 14 Hari sebelum dilepasliarkan. Foto: Dok. PR-HSD
Kepala Resor Konservasi Wilayah Solok, BKSDA Sumbar, Afrilius mengatakan, harimau tertangkap Sabtu siang. Ia masuk perangkap yang dipasang petugas di ladang warga dalam areal penggunaan lain [APL], sejak Selasa [09/6/2020].
“Sabtu pagi sekitar jam 08.00 WIB, belum ada harimau masuk. Rencananya, sekitar pukul 12.00 kami hendak memindahkan perangkap, namun ketika hendak dipindahkan, harimau sudah di kandang,” sebutnya.
Harimau yang diperkirakan umur satu tahun itu, diduga terpisah dari induknya ketika berburu mangsa. Sebelumnya, tiga ekor harimau [diperkirakan induk dan dua anak] terlihat berulang kali masuk ladang warga, sejak 7 Mei 2020. Tidak hanya di Nagari Gantuang Ciri, jejak tiga harimau itu juga terlihat di wilayah sebelahnya, Nagari Jawi-jawi dan Nagari Koto Gaek, Kecamatan Gunung Talang, Solok.
“Awalnya, tiga harimau itu dilihat warga yang pulang dari ladang di Jorong Pinang Sinawa, Nagari Gantuang Ciri. Pada 18 Mei, harimau juga dilaporkan terlihat di Nagari Jawi-jawi,” jelas Afrilius.
Dari tinjauan lapangan, lokasi peladangan warga di APL berdekatan dengan Hutan Lindung dan Suaka Margasatwa Bukit Barisan. Bahkan, di dua lokasi peladangan tempat harimau menampakkan diri, masuk kawasan hutan lindung yang dipasangi pagar kawat.
“Menurut penuturan masyarakat, induk harimau diduga terluka, ada sling baja kecil di kaki kanan depan. Upaya penyelamatan tetap kami lakukan, baik menggunakan kandang jebak ataupun pembiusan, bila diperlukan. Untuk harimau yang sudah ditangkap, akan menjalani perawatan dulu sembari mencari area yang tepat untuk pelepasliaran,” terang Kepala Balai KSDA Sumbar, Erly Sukrismanto.
Untuk kegiatan berladang, lanjut Erly, pihaknya sudah memberikan penyuluhan ke masyarakat untuk tidak mendatangi kawasan lindung.
Kondisi Sehat, observasi 14 hari
Harimau Putri Singguluang dengan berat 49,3 kilogram dan panjang tubuh dari kepala sampai ujung ekor 175 centimeter, tengah menjalani perawatan intensif.
Manajer Operasional PR-HSD, Saruedi Simamora mengatakan, pada Selasa [16/6/20], tim medis sudah melakukan pemeriksaan. Kondisi keseluruhannya sangat baik, siap dilepasliarkan.
“Hasil general check-up menunjukkan tak ada kekurangan atau cacat permanen. Hanya sedikit luka lecet di bagian hidung dan sudah kami obati,” katanya Rabu [17/6/2020].
Tim medis juga mengambil sampel darah dan feses, hasilnya bagus, tidak ada penyakit. Hasil rekam medis sudah dikirimkan ke BKSDA Sumbar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
Meski sehat, Putri tetap menjalani masa karantina 14 hari, mulai 17 sampai 30 Juni 2020. Karantina dilakukan untuk observasi kesehatan dan mengamati perilaku. Masuknya Putri melengkapi dua Harimau sumatera betina lainnya yaitu Ria dan Corina. Putri adalah harimau ke-10 yang ditangani PR-HSD.
Putri tiba di PR-HSD yang berada di area PT. Tidar Kerinci Agung [TKA], Minggu [14 Juni 2020] pukul 08.00 WIB. Proses serah terima dilakukan langsung Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Balai KSDA Sumbar, Novtiwarman, kepada Manajer Saruedi Simamora.
Populasi bagus, kawasan penyangga hilang
Hariyo T. Wibisono, praktisi konservasi harimau dari Yayasan Sintas Indonesia, menyebut kemunculan harimau merupakan hal umum dan biasa terjadi di wilayah berdekatan hutan. Dari survei Tim Sintas dan BKSDA khususnya Sumatera Barat pada 2018-2019, masih banyak ditemukan individu harimau dan satwa lain.
“Hasil survei menunjukkan, populasinya cukup banyak, sehingga kecenderungan konflik memang tinggi bahkan sudah terjadi berkali. BKSDA Sumbar sudah familiar dan berpengalaman menanganinya,” sebutnya kepada Mongabay baru-baru ini.
Dari kamera jebak yang dipasang di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Barisan, Yayasan Sintas menemukan beberapa foto individu, namun belum pada usaha menghitung populasi.
Lokasi konflik harimau Putri Singguluang, lanjutnya, berdekatan dengan kawasan hutan tempat terjadinya konflik harimau Bujang Ribut dua tahun lalu, di kawasan hutan Indarung yang berbatasan dengan SM Bukit Barisan.
“Dulu konflik harimau Bujang Ribut di sini, tapi agak ke bawah dekat pertambangan semen Padang. Perlu dilihat kenapa harimau cenderung keluar, apakah karena terlalu dekat permukiman, gangguan dari luar yang tinggi atau kualitas satwa mangsanya menurun. Itu perlu dikaji,” ungkapnya.
Dari kasus ini, lanjut Bibah, biasa dipanggil, kawasan ini sudah wall to wall artinya kawasan hutan langsung ke pemukiman/peladangan masyarakat. Ini mengindikasikan kawasan penyangga sudah tidak optimal lagi. Idealnya kawasan hutan itu, apalagi kawasan lindung, harus ada zona penyangga, baik artifisial [buatan] maupun alamiah, kawasan yang sifatnya peralihan.
Selain zona penyangga tidak ada, kemungkinan lain, penyebab harimau keluar hutan karena mengejar mangsa.
“Harimau induk tersebut sedang menyusui, kebutuhan pakan akan lebih banyak sekitar 20-30 persen. Jadi, banyak faktor ekologis dan behavior yang mesti dikaji,” ungkapnya.
Bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. “Jangan ke hutan sendiri atau kalau memang tidak penting sekali jangan ke hutan, lalu ternak dikandangkan dan diawasi,” terangnya.
Sisa babi hutan yang dimangsa harimau di kawasan peladangan masyarakat di Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Foto: Dok. BKSDA Sumbar
Terkait pelepasliaran, menurut Bibah, jika harimau dalam kondisi sehat lebih baik disegerakan. “Harimau itu satwa adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan. Kalau umurnya kurang satu tahun, agak ragu dilepaskan, tapi ini pernah dicoba di Rusia, satu mati dan satunya lagi hidup,” ungkapnya.
Jika menunggu dewasa, sekitar umur 2-3 tahun, ada dua kemungkinan yang terjadi. Satu sisi, harimau akan lebih siap dalam konteks phisycal tapi dari sisi behavior lebih terbiasa di kandang. Bila dilepasliarkan mungkin butuh expert untuk survive.
Untuk lokasi pelepasliaran, lanjut Beebah, kalau tidak ada kondisi-kondisi khusus yang harus dihindari, bisa dilakukan di wilayah asalnya.
“Masyarakat menerima dalam artian tidak kemudian malah mengundang ancaman lain masuk karena kita tahu di Sumatera banyak potensi pemburu liar. Jangan sampai pemburu memanfaatkan kondisi ini. Masyarakat perlu diedukasi bagaimana cara hidup berdampingan dengan harimau, seperti tidak ke hutan sendiri, tidak keluar malam hari, serta ternak dikelola,” pungkasnya. [] MONGABAY
Foto : Mongabay |
Harimau betina muda bernama “Putri Singguluang” saat ini berada di kandang isolasi Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya [PR-HSD]. Ia akan menjalani karantina selama 14 Hari sebelum dilepasliarkan. Foto: Dok. PR-HSD
Kepala Resor Konservasi Wilayah Solok, BKSDA Sumbar, Afrilius mengatakan, harimau tertangkap Sabtu siang. Ia masuk perangkap yang dipasang petugas di ladang warga dalam areal penggunaan lain [APL], sejak Selasa [09/6/2020].
“Sabtu pagi sekitar jam 08.00 WIB, belum ada harimau masuk. Rencananya, sekitar pukul 12.00 kami hendak memindahkan perangkap, namun ketika hendak dipindahkan, harimau sudah di kandang,” sebutnya.
Harimau yang diperkirakan umur satu tahun itu, diduga terpisah dari induknya ketika berburu mangsa. Sebelumnya, tiga ekor harimau [diperkirakan induk dan dua anak] terlihat berulang kali masuk ladang warga, sejak 7 Mei 2020. Tidak hanya di Nagari Gantuang Ciri, jejak tiga harimau itu juga terlihat di wilayah sebelahnya, Nagari Jawi-jawi dan Nagari Koto Gaek, Kecamatan Gunung Talang, Solok.
“Awalnya, tiga harimau itu dilihat warga yang pulang dari ladang di Jorong Pinang Sinawa, Nagari Gantuang Ciri. Pada 18 Mei, harimau juga dilaporkan terlihat di Nagari Jawi-jawi,” jelas Afrilius.
Dari tinjauan lapangan, lokasi peladangan warga di APL berdekatan dengan Hutan Lindung dan Suaka Margasatwa Bukit Barisan. Bahkan, di dua lokasi peladangan tempat harimau menampakkan diri, masuk kawasan hutan lindung yang dipasangi pagar kawat.
“Menurut penuturan masyarakat, induk harimau diduga terluka, ada sling baja kecil di kaki kanan depan. Upaya penyelamatan tetap kami lakukan, baik menggunakan kandang jebak ataupun pembiusan, bila diperlukan. Untuk harimau yang sudah ditangkap, akan menjalani perawatan dulu sembari mencari area yang tepat untuk pelepasliaran,” terang Kepala Balai KSDA Sumbar, Erly Sukrismanto.
Untuk kegiatan berladang, lanjut Erly, pihaknya sudah memberikan penyuluhan ke masyarakat untuk tidak mendatangi kawasan lindung.
Kondisi Sehat, observasi 14 hari
Harimau Putri Singguluang dengan berat 49,3 kilogram dan panjang tubuh dari kepala sampai ujung ekor 175 centimeter, tengah menjalani perawatan intensif.
Manajer Operasional PR-HSD, Saruedi Simamora mengatakan, pada Selasa [16/6/20], tim medis sudah melakukan pemeriksaan. Kondisi keseluruhannya sangat baik, siap dilepasliarkan.
“Hasil general check-up menunjukkan tak ada kekurangan atau cacat permanen. Hanya sedikit luka lecet di bagian hidung dan sudah kami obati,” katanya Rabu [17/6/2020].
Tim medis juga mengambil sampel darah dan feses, hasilnya bagus, tidak ada penyakit. Hasil rekam medis sudah dikirimkan ke BKSDA Sumbar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
Meski sehat, Putri tetap menjalani masa karantina 14 hari, mulai 17 sampai 30 Juni 2020. Karantina dilakukan untuk observasi kesehatan dan mengamati perilaku. Masuknya Putri melengkapi dua Harimau sumatera betina lainnya yaitu Ria dan Corina. Putri adalah harimau ke-10 yang ditangani PR-HSD.
Putri tiba di PR-HSD yang berada di area PT. Tidar Kerinci Agung [TKA], Minggu [14 Juni 2020] pukul 08.00 WIB. Proses serah terima dilakukan langsung Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Balai KSDA Sumbar, Novtiwarman, kepada Manajer Saruedi Simamora.
Populasi bagus, kawasan penyangga hilang
Hariyo T. Wibisono, praktisi konservasi harimau dari Yayasan Sintas Indonesia, menyebut kemunculan harimau merupakan hal umum dan biasa terjadi di wilayah berdekatan hutan. Dari survei Tim Sintas dan BKSDA khususnya Sumatera Barat pada 2018-2019, masih banyak ditemukan individu harimau dan satwa lain.
“Hasil survei menunjukkan, populasinya cukup banyak, sehingga kecenderungan konflik memang tinggi bahkan sudah terjadi berkali. BKSDA Sumbar sudah familiar dan berpengalaman menanganinya,” sebutnya kepada Mongabay baru-baru ini.
Dari kamera jebak yang dipasang di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Barisan, Yayasan Sintas menemukan beberapa foto individu, namun belum pada usaha menghitung populasi.
Lokasi konflik harimau Putri Singguluang, lanjutnya, berdekatan dengan kawasan hutan tempat terjadinya konflik harimau Bujang Ribut dua tahun lalu, di kawasan hutan Indarung yang berbatasan dengan SM Bukit Barisan.
“Dulu konflik harimau Bujang Ribut di sini, tapi agak ke bawah dekat pertambangan semen Padang. Perlu dilihat kenapa harimau cenderung keluar, apakah karena terlalu dekat permukiman, gangguan dari luar yang tinggi atau kualitas satwa mangsanya menurun. Itu perlu dikaji,” ungkapnya.
Dari kasus ini, lanjut Bibah, biasa dipanggil, kawasan ini sudah wall to wall artinya kawasan hutan langsung ke pemukiman/peladangan masyarakat. Ini mengindikasikan kawasan penyangga sudah tidak optimal lagi. Idealnya kawasan hutan itu, apalagi kawasan lindung, harus ada zona penyangga, baik artifisial [buatan] maupun alamiah, kawasan yang sifatnya peralihan.
Selain zona penyangga tidak ada, kemungkinan lain, penyebab harimau keluar hutan karena mengejar mangsa.
“Harimau induk tersebut sedang menyusui, kebutuhan pakan akan lebih banyak sekitar 20-30 persen. Jadi, banyak faktor ekologis dan behavior yang mesti dikaji,” ungkapnya.
Bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. “Jangan ke hutan sendiri atau kalau memang tidak penting sekali jangan ke hutan, lalu ternak dikandangkan dan diawasi,” terangnya.
Sisa babi hutan yang dimangsa harimau di kawasan peladangan masyarakat di Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Foto: Dok. BKSDA Sumbar
Terkait pelepasliaran, menurut Bibah, jika harimau dalam kondisi sehat lebih baik disegerakan. “Harimau itu satwa adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan. Kalau umurnya kurang satu tahun, agak ragu dilepaskan, tapi ini pernah dicoba di Rusia, satu mati dan satunya lagi hidup,” ungkapnya.
Jika menunggu dewasa, sekitar umur 2-3 tahun, ada dua kemungkinan yang terjadi. Satu sisi, harimau akan lebih siap dalam konteks phisycal tapi dari sisi behavior lebih terbiasa di kandang. Bila dilepasliarkan mungkin butuh expert untuk survive.
Untuk lokasi pelepasliaran, lanjut Beebah, kalau tidak ada kondisi-kondisi khusus yang harus dihindari, bisa dilakukan di wilayah asalnya.
“Masyarakat menerima dalam artian tidak kemudian malah mengundang ancaman lain masuk karena kita tahu di Sumatera banyak potensi pemburu liar. Jangan sampai pemburu memanfaatkan kondisi ini. Masyarakat perlu diedukasi bagaimana cara hidup berdampingan dengan harimau, seperti tidak ke hutan sendiri, tidak keluar malam hari, serta ternak dikelola,” pungkasnya. [] MONGABAY