Lentera 24 .com | LINGKUINGAN -- Kopi Arabika Gayo merupakan kopi terbaik di Indonesia yang diekspor ke berbagai negara. Kopi ini tumbuh su...
Lentera24.com | LINGKUINGAN -- Kopi Arabika Gayo merupakan kopi terbaik di Indonesia yang diekspor ke berbagai negara. Kopi ini tumbuh subur di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh tahun 2018, luas kebun kopi di Aceh Tengah mencapai 49.251 hektar, Bener Meriah [46.273 hektar], dan Gayo Lues [7.000 hektar]. Tiga kabupaten ini dapat memproduksi kopi sekitar 61.761 ton setiap tahun, yang tentunya berasal dari kebun rakyat. Diperkirakan, lebih 78.624 kepala keluarga di dataran tinggi Gayo ini menggantungkan hidup dari kopi.
Namun, perambahan hutan yang terjadi di tiga kabupaten tersebut menimbulkan keresahan petani kopi. Suhu udara yang meningkat dan cepatnya perubahan cuaca, dikhawatirkan berdampak pada menurunnya cita rasa kopi. Atau, malah gagal panen.
Data tim Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, tiga tahun terakhir laju kerusakan hutan di Aceh Tengah meningkat. Ini terlihat dari berkurangnya tutupan hutan.
Sisa tutupannya pada 2016 mencapai 264.281 hektar, 2017 [262.387 hektar], dan 2018 [260.464 hektar].
“Pada 2019, tutupan hutan hilang mencapai 2.416 hektar dari luasan terakhir di 2018,” sebut tim GIS Yayasan HAKA, Lukman.
Gayo Lues mengalami hal serupa. Tahun 2017, kabupaten ini kehilangan tutupan hutan mencapai [811 hektar], 2018 [1.494 hektar] dan 2019 [1.228 hektar]. Hingga 2019, luas tutupan hutan yang ada sekitar 428.501 hektar.
“Kabupaten Bener Meriah juga sama. Hilangnya tutupan hutan terlihat dari 2017 [569 hektar], 2018 [hilang 765 hektar], dan 2019 [951 hektar]. Luas tutupan hutan 2019 sekitar 99,986 hektar,” ujar Lukman, Selasa [11/2/2020].
Dampak cuaca
Syukri, petani di Kabupaten Aceh Tengah mengatakan, dalam beberapa tahun ini produksi kopinya menurun karena cuaca tidak menentu. Saat harusnya musim kemarau malah hujan dan sebaliknya.
“Ketika bunga kopi mulai berbentuk biji, dibutuhkan hujan untuk memadatkan buah. Jika hujan tidak turun, biji akan kosong atau rontok. Saat panen, harusnya musim panas karena biji kopi harus dijemur. Tapi kadang hujan turun, sehingga biji busuk karena tidak cukup kering,” jelasnya.
Syukri menyebutkan, masalah baru yang muncul saat ini adalah kopi diserang hama: ulat pada buah ataupun pohon kopi. Akibatnya, pohon mati.
“Tanaman kopi yang berada di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut sudah kena, sebelumnya hanya yang berada di bawah 800 meter dari permukaan laut,” ujarnya.
Aman Rais, petani kopi di Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, mengatakan, dirinya juga panik atas hama itu. “Awalnya, hama menyerang pohon petai [pelindung]. Setelah pohon petai kering dan mati, batang kopi ternyata kering, mati dan menjalar ke kebun kopi lain,” urainya.
Dedi Ikhwani, alumni Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] Banda Aceh yang juga pemilik Deputroe Coffee mengatakan, perubahan suhu, tekanan udara, angin, curah hujan, dan kelembaban sangat berpengaruh untuk kopi.
“Kopi semakin mudah terserang hama, khususnya hama penggerek buah dan penggerek batang. Selain itu, perubahan cuaca menyebabkan bunga kopi tidak menjadi buah, layu. Masa panen kopi yang semakin singkat mengakibatkan beban panen meningkat, sehingga terjadi penundaan pengupasan kulit buah, serta over-fermented yang menyebabkan mutu turun,” terangnya.
Dedi menambahkan, anomali curah hujan akan menghambat pertumbuhan fase vegetatif dan generatif. “Kita ketahui bersama, tanaman sangat membutuhkan air untuk proses fotosintesis yang diangkut melalui jaringan xilem. Tiga komponen fotosintesis berupa air, karbondioksida, dan cahaya matahari melakukan pemasakan makanan pada daun untuk menghasilkan karbohidrat yang disalurkan ke seluruh bagian tanaman melalui pembuluh floem,” ungkapnya.
Kelembaban yang tinggi akan berakibat meningkatnya pertumbuhan jamur yang mengganggu tanaman kopi pada bagian akar, batang dan daun. Kondisi ini menghambat proses reproduksi, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas.
“Peningkatan suhu menyebabkan gangguan nyata terhadap produksi dan kualitas. Gangguan berupa hama penggerek buah kopi [Hypothenemus hampei],” paparnya.
Persoalan lain, ungkap Dedi, ancaman ekologi berupa punahnya musuh alami yang diakibatkan penggunaan pestisida tidak beraturan. Fungsi ekosistem mikro perkebunan kopi tidak seimbang.
“Kondisi ini berpengaruh terhadap perkembangbiakan hama karena menurunnya fungsi predator alami,” jelasnya.
Sebelumnya, aktivis lingkungan dataran tinggi Gayo, Surya Apra, mengatakan bahwa alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah telah terjadi. Tidak hanya pembalakan liar, tetapi juga pembukaan lahan untuk perkebunan, selain kopi.
“Jika pembukaan lahan tidak segera dihentikan, suhu udara di wilayah tengah Aceh akan semakin panas dan berpengaruh pada kopi,” ujar Surya yang juga aktivis di Aceh Green Comumnity Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Menurut Surya, hasil penelitian International Coffee Organization [ICO] di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah menunjukkan, suhu di dua kabupaten tersebut meningkat ke 22 derajat Celcius. “Jika terus naik hingga 25 derajat, dapat dipastikan, cita rasa kopi akan turun,” tegasnya. [] MONGABAY
Foto : Kopi arabika yang telah merah dipetik dari pohonnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia |
Namun, perambahan hutan yang terjadi di tiga kabupaten tersebut menimbulkan keresahan petani kopi. Suhu udara yang meningkat dan cepatnya perubahan cuaca, dikhawatirkan berdampak pada menurunnya cita rasa kopi. Atau, malah gagal panen.
Data tim Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, tiga tahun terakhir laju kerusakan hutan di Aceh Tengah meningkat. Ini terlihat dari berkurangnya tutupan hutan.
Sisa tutupannya pada 2016 mencapai 264.281 hektar, 2017 [262.387 hektar], dan 2018 [260.464 hektar].
“Pada 2019, tutupan hutan hilang mencapai 2.416 hektar dari luasan terakhir di 2018,” sebut tim GIS Yayasan HAKA, Lukman.
Gayo Lues mengalami hal serupa. Tahun 2017, kabupaten ini kehilangan tutupan hutan mencapai [811 hektar], 2018 [1.494 hektar] dan 2019 [1.228 hektar]. Hingga 2019, luas tutupan hutan yang ada sekitar 428.501 hektar.
“Kabupaten Bener Meriah juga sama. Hilangnya tutupan hutan terlihat dari 2017 [569 hektar], 2018 [hilang 765 hektar], dan 2019 [951 hektar]. Luas tutupan hutan 2019 sekitar 99,986 hektar,” ujar Lukman, Selasa [11/2/2020].
Dampak cuaca
Syukri, petani di Kabupaten Aceh Tengah mengatakan, dalam beberapa tahun ini produksi kopinya menurun karena cuaca tidak menentu. Saat harusnya musim kemarau malah hujan dan sebaliknya.
“Ketika bunga kopi mulai berbentuk biji, dibutuhkan hujan untuk memadatkan buah. Jika hujan tidak turun, biji akan kosong atau rontok. Saat panen, harusnya musim panas karena biji kopi harus dijemur. Tapi kadang hujan turun, sehingga biji busuk karena tidak cukup kering,” jelasnya.
Syukri menyebutkan, masalah baru yang muncul saat ini adalah kopi diserang hama: ulat pada buah ataupun pohon kopi. Akibatnya, pohon mati.
“Tanaman kopi yang berada di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut sudah kena, sebelumnya hanya yang berada di bawah 800 meter dari permukaan laut,” ujarnya.
Aman Rais, petani kopi di Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, mengatakan, dirinya juga panik atas hama itu. “Awalnya, hama menyerang pohon petai [pelindung]. Setelah pohon petai kering dan mati, batang kopi ternyata kering, mati dan menjalar ke kebun kopi lain,” urainya.
Dedi Ikhwani, alumni Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] Banda Aceh yang juga pemilik Deputroe Coffee mengatakan, perubahan suhu, tekanan udara, angin, curah hujan, dan kelembaban sangat berpengaruh untuk kopi.
“Kopi semakin mudah terserang hama, khususnya hama penggerek buah dan penggerek batang. Selain itu, perubahan cuaca menyebabkan bunga kopi tidak menjadi buah, layu. Masa panen kopi yang semakin singkat mengakibatkan beban panen meningkat, sehingga terjadi penundaan pengupasan kulit buah, serta over-fermented yang menyebabkan mutu turun,” terangnya.
Dedi menambahkan, anomali curah hujan akan menghambat pertumbuhan fase vegetatif dan generatif. “Kita ketahui bersama, tanaman sangat membutuhkan air untuk proses fotosintesis yang diangkut melalui jaringan xilem. Tiga komponen fotosintesis berupa air, karbondioksida, dan cahaya matahari melakukan pemasakan makanan pada daun untuk menghasilkan karbohidrat yang disalurkan ke seluruh bagian tanaman melalui pembuluh floem,” ungkapnya.
Kelembaban yang tinggi akan berakibat meningkatnya pertumbuhan jamur yang mengganggu tanaman kopi pada bagian akar, batang dan daun. Kondisi ini menghambat proses reproduksi, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas.
“Peningkatan suhu menyebabkan gangguan nyata terhadap produksi dan kualitas. Gangguan berupa hama penggerek buah kopi [Hypothenemus hampei],” paparnya.
Persoalan lain, ungkap Dedi, ancaman ekologi berupa punahnya musuh alami yang diakibatkan penggunaan pestisida tidak beraturan. Fungsi ekosistem mikro perkebunan kopi tidak seimbang.
“Kondisi ini berpengaruh terhadap perkembangbiakan hama karena menurunnya fungsi predator alami,” jelasnya.
Sebelumnya, aktivis lingkungan dataran tinggi Gayo, Surya Apra, mengatakan bahwa alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah telah terjadi. Tidak hanya pembalakan liar, tetapi juga pembukaan lahan untuk perkebunan, selain kopi.
“Jika pembukaan lahan tidak segera dihentikan, suhu udara di wilayah tengah Aceh akan semakin panas dan berpengaruh pada kopi,” ujar Surya yang juga aktivis di Aceh Green Comumnity Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Menurut Surya, hasil penelitian International Coffee Organization [ICO] di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah menunjukkan, suhu di dua kabupaten tersebut meningkat ke 22 derajat Celcius. “Jika terus naik hingga 25 derajat, dapat dipastikan, cita rasa kopi akan turun,” tegasnya. [] MONGABAY