Lentera 24 .com | SUMUT -- Dua pekan lalu, di Sumatera Utara sempat ramai dengan temuan di rumah dinas Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nabab...
Lentera24.com | SUMUT -- Dua pekan lalu, di Sumatera Utara sempat ramai dengan temuan di rumah dinas Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, ada pelihara anak orangutan Tapanuli. Setelah diketahui, bupati memerintahkan anak buahnya melepaskan bayi orangutan ke hutan, tanpa sepengetahuan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut).
Anak orangutan Tapanuli itu dilepaskan di wilayah hutan yang tembus ke ekosistem Batangtoru, tanpa pemeriksaan medis terlebih dahulu. Aksi ini membuat sejumlah pihak berang, dan mengecam sikap pejabat publik ini.
Sejumlah dokter hewan juga terkejut. Ada kekhawatiran kalau bayi orangutan ini membawa penyakit dan menyebarkan di ekosistem Batangtoru.
Fransiska Sulistyo, dokter hewan dari Orangutan Veterinary Advisory Group (OVAG), ketika di wawancara Mongabay Jum’at malam (7/2/20), mengatakan, melepas orangutan bayi ke alam liar tanpa pemeriksaan, merupakan tindakan berisiko, antara lain penyakit-penyakit manusia yang bisa tertular ke hewan atau sebaliknya (zoonosis).
Orangutan dan primata lain banyak kemiripan atau sangat miip dengan manusia. Artinya, daftar penyakit yang bisa tertular antara manusia dengan primata jauh lebih banyak daripada penyakit yang bisa ditularkan manusia dengan gajah atau dengan harimau.
“Banyak hal belum diketahui tentang status kesehatan orangutan di alam liar. Kita nggak tahu apa aja sih penyakit yang bisa ditemui di orangutan di liar dan bagaimana efeknya terhadap stabilitas populasi,” kata Siska.
Beberapa kasus atau beberapa referensi menyebutkan, penyakit zoonosis itu salah satu faktor yang bisa mengancam kelestarian primata, misal, contoh paling umum ebola pada gorila.
Virus ini hampir memusnahkan beberapa populasi gorila di Afrika, dan tentu tak mau terjadi dengan orangutan di Indonesia, apalagi orangutan Tapanuli, yang paling terancam di dunia kini.
Kalau dari pengalaman di pusat rehabilitasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan, orangutan terutama bayi bawah tiga tahun mudah terpapar berbagai penyakit, terutama pencernaan dan pernapasan.
“Kalau orangutan bayi di pusat rehab hampir pasti pernah yang namanya terserang pilek atau diare. Ini salah satu penguat juga, sangat berisiko kalau melepaskan orangutan yang tidak tahu kondisi kesehatannya.”
Imunitas bayi orangutan masih rendah hingga mereka mudah ketularan kuman dari manusia. “Jadi ketika dilepaskan begitu saja, mungkin sudah atau berinteraksi langsung dengan hutan di sekitar, tanaman, kemudian satwa lain monyet, misal. Bahkan, belum sampai ketemu dengan orangutan, si kecil ini sudah membawa risiko untuk ekosistem,” kata Siska.
Kalau berbicara kemungkinan terburuk, katanya, ada beberapa penyakit asal manusia yang kalau menyebar ke populasi orangutan liar bisa berakibat fatal, antara lain tubercolosis (TBC), herpes, virus demam tifoid influenza, dan lain-lain.
Kalau ingin bicara realistis dengan beberapa asumsi, pertama, orangutan dilepaskan dalam kondisi sehat jadi secara klinis tidak lagi bersin-bersin, tak pilek, diare dan lain-lain.
Kedua, mungkin keluarga yang memelihara orangutan itu tidak mengidap penyakit menular.
Orangutan ini masih bayi. Peluang bayi orangutan Tapanuli untuk bertahan hidup di hutan itu kecil. Bisa jadi, setelah lepas ke hutan lalu mati.
“Kita bisa bilang sebenarnya masih belum independen, yang bisa survive di hutan. Ini rentan sekali membiarkan hidup sendiri dengan usia begitu balita,” katanya.
Kemungkinan lain, katanya, ia akan mencari manusia, atau komunitas manusia kalau lepas di hutan tak terlalu jauh dari pemukiman. Orangutan ini sudah dipelihara hampir empat bulan, sangat mungkin berpikir makanan itu adanya di manusia.
“Jadi anak orangutan ini akan mencari manusia untuk mencoba bertahan hidup. Misaln, ke kampung yang dekat hutan di Batangtoru. Ini akan jadi masalah baru lagi. Konflik akan terus terjadi,” katanya, seraya bilang orangutan ini harus dicari dan diambil lagi.
Liang Kaspe, dokter hewan satwa lliar yang menghabiskan 34 tahun menangani satwa liar di Kebun Binatang Surabaya.
Menurut dia, kasus pelepasan orangutan Tapanuli tanpa pemeriksaan kesehatan apalagi dengan usia masih katagori bayi, kemungkinan besar akan mati, bukan karena penyakit melainkan tidak bisa mempertahankan diri.
Selama di kandang, katanya, satwa ini diberi makan dengan teratur, begitu lepas tidak bisa mencari makan sendiri dan berakhir mati.
“Kalau bicara zoonosis, parasit seperti cacing, TBC dan sebagainya bisa dengan mudah menular ke orangutan. Sebagai negara tropis banyak penyakit, kuman, kutu, cacing dan sebagainya akan terjangkit atau tertular ke bayi orangutan di kandang,” kata Liang.
Ketika bayi orangutan ini terpapar penyakit, dan mampu bertahan hidup itu akan menular ke makhluk hidup lain, bukan hanya orangutan. Ia berpotensi merusak fauna di hutan.
Andai bayi orangutan Tapanuli ini terpapar malaria dari manusia, bisa menular ke satwa lain, salah satu penularan lewat gigitan nyamuk. Belum lagi soal genetika, bisa membahayakan dan merusak genetik. Jangka panjang, katanya, bisa menyebabkan pemusnahan sub spesies.
Dia sepakat dengan Fransiska, bahwa otorita dalam hal ini BBKSDA Sumut harus mencari hidup atau mati lalu ditangkap untuk pemeriksaan.
“Ini benar-benar mengerikan. Harus ada pertanggungjawaban dan jadi pelajaran berharga agar ke depan tidak terulang kembali.”
Proses hukum?
Sudarmadji, mantan Kepala Bagian Peraturan Perundang- undangan dan Informasi, Departeman Kehutanan—sekarang Bagian Hukum di Sekditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK– ikut bersuara.
Dia menjelaskan, dari segi pidana si pemelihara tetap bisa kena tuntut hukum walau orangutan sudah lepas ke hutan. Dia melanggar Pasal 21 ayat 2 UU No.5/1990 tentang KSDAE.
Kalau orangutan lepas di kawasan konservasi, katanya, dapat dipidana berdasarkan Pasal 33 ayat 2 dan 3 UU No.5/1990. Untuk pejabat yang pembiaran atau lalai juga bisa kena.
“Lembaga non pemerintah harus lebih giat mendorong dan awasi agar penegakan hukum bidang konservasi lebih tegas, adil dan transparan,” katanya.
Kalash Niko, Ketua Garda Animalia mengatakan, lepas satwa tidak sesuai prosedur indikasi bahwa pelaku sadar aktivitas memelihara orangutan itu melawan hukum.
“Tidak dibenarkan memelihara ilegal, pun melepasliarkan harus sesuai prosedur, misal, kondisi satwa sudah kembali berperilaku alami, bebas dari ancaman penularan penyakit dan lokasi pelepasliaran adalah habitatnya,” katanya.
Dia menyatakan, perlu penyelidikan lebih lanjut oleh aparat penegak hukum, apabila hasil temuan mengarah ke tindak pidana baik karena sengaja maupun lalai.
“Kepala daerah harus menjadi contoh yang benar, baik bagi masyarakat, terlebih di Tapanuli terdapat spesies orangutan yang kondisinya sudah sangat terancam punah.”
Ceritanya…
Bayi orangutan Tapanuli itu, terlihat pada Minggu (26/1/20) dipelihara dalam kandang besi. Tampak sejumlah pegawai rumah tangga bupati memberikan makanan satwa arboreal atau spesies yang menghabiskan separuh hidup di atas pohon ini.
Kala sejumlah wartawan mengkonfirmasi, dia membenarkan memelihara bayi orangutan Tapanuli itu. Bayi itu sudah sekitar empat bulan dia perlihara.
Ketika ditanya apakah sudah mengantongi izin dari BBKSDA Sumut, dia berkilah, sebagai kepala daerah punya hak untuk memelihara. Kalau orangutan sudah besar, katanya, baru menyerahkan ke BBKSDA Sumut.
“Yang jelas, kalau sudah besar baru diserahkan ke KSDA Sumut. Sudah saya perintahkan anggota untuk cek sudah besar belum,” katanya Rabu (29/2/20).
Nikson mengatakan, bayi orangutan Tapanuli itu diperoleh dari seorang warga Pahae, Tapanuli Utara. Setelah itu, dia memerintahkan anggotanya memasukkan dalam kandang. Dia tidak mau menjelaskan detail apakah ada transaksi jual beli atau tidak ketika serah terima bayi orangutan itu.
Ketika di cek kembali pada Rabu pagi, ternyata bayi orangutan itu sudah tidak berada dalam kandang lagi.
Nikson bilang, bayi orangutan di rumah dinas itu sudah dilepaskan ke habitat asli pada Selasa malam sekitar pukul 20 00 oleh Janri Nababan, staf bagian umum Sekda Tapanuli Utara.
Kala konfirmasi ke BBKSDA Sumut, hanya menjelaskan soal kronologis temuan mereka. Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi, Selasa (4/2/20) mengatakan, Senin, 27 Januari 2020, BBKSDA mendapatkan
informasi ada orangutan masih anakan di rumah dinas bupati, Tapanuli Utara, di Tarutung. BBKSDA Wilayah II Pematangsiantar, menugaskan Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) IV Tarutung untuk pengecekan dan koordinasi dengan Bupati Tapanuli Utara.
Pada 28 Januari 2020, diadakan pertemuan di Kantor Bupati Tapanuli Utara, dipimpin Sekda Kabupaten Tapanuli Utara, dihadiri Kepala SKW IV Tarutung, staf ahli bupati, dan KPH Wilayah XII Tarutung.
“Dari hasil pertemuan disepakati, akan penyerahan orangutan di rumah dinas bupati kepada BBKSDA Sumatera,” kata Hotmauli.
Pada 29 Januari 2020, Kepala Bidang KSDA Wilayah II Pematangsiantar, Kepala SKW IV Tarutung dan tim penyelamatan HOCRU tiba di rumah dinas bupati untuk evakuasi. Sayangnya, satwa itu sudah tidak ada. [] MONGABAY
Foto : Primata, salah satu satwa rentan terkena penyakit zoonisis. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia |
Sejumlah dokter hewan juga terkejut. Ada kekhawatiran kalau bayi orangutan ini membawa penyakit dan menyebarkan di ekosistem Batangtoru.
Fransiska Sulistyo, dokter hewan dari Orangutan Veterinary Advisory Group (OVAG), ketika di wawancara Mongabay Jum’at malam (7/2/20), mengatakan, melepas orangutan bayi ke alam liar tanpa pemeriksaan, merupakan tindakan berisiko, antara lain penyakit-penyakit manusia yang bisa tertular ke hewan atau sebaliknya (zoonosis).
Orangutan dan primata lain banyak kemiripan atau sangat miip dengan manusia. Artinya, daftar penyakit yang bisa tertular antara manusia dengan primata jauh lebih banyak daripada penyakit yang bisa ditularkan manusia dengan gajah atau dengan harimau.
“Banyak hal belum diketahui tentang status kesehatan orangutan di alam liar. Kita nggak tahu apa aja sih penyakit yang bisa ditemui di orangutan di liar dan bagaimana efeknya terhadap stabilitas populasi,” kata Siska.
Foto : Ekosistem Batangtoru, kaya keragamananhayati. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia |
Virus ini hampir memusnahkan beberapa populasi gorila di Afrika, dan tentu tak mau terjadi dengan orangutan di Indonesia, apalagi orangutan Tapanuli, yang paling terancam di dunia kini.
Kalau dari pengalaman di pusat rehabilitasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan, orangutan terutama bayi bawah tiga tahun mudah terpapar berbagai penyakit, terutama pencernaan dan pernapasan.
“Kalau orangutan bayi di pusat rehab hampir pasti pernah yang namanya terserang pilek atau diare. Ini salah satu penguat juga, sangat berisiko kalau melepaskan orangutan yang tidak tahu kondisi kesehatannya.”
Imunitas bayi orangutan masih rendah hingga mereka mudah ketularan kuman dari manusia. “Jadi ketika dilepaskan begitu saja, mungkin sudah atau berinteraksi langsung dengan hutan di sekitar, tanaman, kemudian satwa lain monyet, misal. Bahkan, belum sampai ketemu dengan orangutan, si kecil ini sudah membawa risiko untuk ekosistem,” kata Siska.
Kalau berbicara kemungkinan terburuk, katanya, ada beberapa penyakit asal manusia yang kalau menyebar ke populasi orangutan liar bisa berakibat fatal, antara lain tubercolosis (TBC), herpes, virus demam tifoid influenza, dan lain-lain.
Kalau ingin bicara realistis dengan beberapa asumsi, pertama, orangutan dilepaskan dalam kondisi sehat jadi secara klinis tidak lagi bersin-bersin, tak pilek, diare dan lain-lain.
Kedua, mungkin keluarga yang memelihara orangutan itu tidak mengidap penyakit menular.
Orangutan ini masih bayi. Peluang bayi orangutan Tapanuli untuk bertahan hidup di hutan itu kecil. Bisa jadi, setelah lepas ke hutan lalu mati.
“Kita bisa bilang sebenarnya masih belum independen, yang bisa survive di hutan. Ini rentan sekali membiarkan hidup sendiri dengan usia begitu balita,” katanya.
Kemungkinan lain, katanya, ia akan mencari manusia, atau komunitas manusia kalau lepas di hutan tak terlalu jauh dari pemukiman. Orangutan ini sudah dipelihara hampir empat bulan, sangat mungkin berpikir makanan itu adanya di manusia.
“Jadi anak orangutan ini akan mencari manusia untuk mencoba bertahan hidup. Misaln, ke kampung yang dekat hutan di Batangtoru. Ini akan jadi masalah baru lagi. Konflik akan terus terjadi,” katanya, seraya bilang orangutan ini harus dicari dan diambil lagi.
Liang Kaspe, dokter hewan satwa lliar yang menghabiskan 34 tahun menangani satwa liar di Kebun Binatang Surabaya.
Menurut dia, kasus pelepasan orangutan Tapanuli tanpa pemeriksaan kesehatan apalagi dengan usia masih katagori bayi, kemungkinan besar akan mati, bukan karena penyakit melainkan tidak bisa mempertahankan diri.
Selama di kandang, katanya, satwa ini diberi makan dengan teratur, begitu lepas tidak bisa mencari makan sendiri dan berakhir mati.
“Kalau bicara zoonosis, parasit seperti cacing, TBC dan sebagainya bisa dengan mudah menular ke orangutan. Sebagai negara tropis banyak penyakit, kuman, kutu, cacing dan sebagainya akan terjangkit atau tertular ke bayi orangutan di kandang,” kata Liang.
Ketika bayi orangutan ini terpapar penyakit, dan mampu bertahan hidup itu akan menular ke makhluk hidup lain, bukan hanya orangutan. Ia berpotensi merusak fauna di hutan.
Andai bayi orangutan Tapanuli ini terpapar malaria dari manusia, bisa menular ke satwa lain, salah satu penularan lewat gigitan nyamuk. Belum lagi soal genetika, bisa membahayakan dan merusak genetik. Jangka panjang, katanya, bisa menyebabkan pemusnahan sub spesies.
Dia sepakat dengan Fransiska, bahwa otorita dalam hal ini BBKSDA Sumut harus mencari hidup atau mati lalu ditangkap untuk pemeriksaan.
“Ini benar-benar mengerikan. Harus ada pertanggungjawaban dan jadi pelajaran berharga agar ke depan tidak terulang kembali.”
Proses hukum?
Sudarmadji, mantan Kepala Bagian Peraturan Perundang- undangan dan Informasi, Departeman Kehutanan—sekarang Bagian Hukum di Sekditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK– ikut bersuara.
Dia menjelaskan, dari segi pidana si pemelihara tetap bisa kena tuntut hukum walau orangutan sudah lepas ke hutan. Dia melanggar Pasal 21 ayat 2 UU No.5/1990 tentang KSDAE.
Kalau orangutan lepas di kawasan konservasi, katanya, dapat dipidana berdasarkan Pasal 33 ayat 2 dan 3 UU No.5/1990. Untuk pejabat yang pembiaran atau lalai juga bisa kena.
“Lembaga non pemerintah harus lebih giat mendorong dan awasi agar penegakan hukum bidang konservasi lebih tegas, adil dan transparan,” katanya.
Kalash Niko, Ketua Garda Animalia mengatakan, lepas satwa tidak sesuai prosedur indikasi bahwa pelaku sadar aktivitas memelihara orangutan itu melawan hukum.
“Tidak dibenarkan memelihara ilegal, pun melepasliarkan harus sesuai prosedur, misal, kondisi satwa sudah kembali berperilaku alami, bebas dari ancaman penularan penyakit dan lokasi pelepasliaran adalah habitatnya,” katanya.
Dia menyatakan, perlu penyelidikan lebih lanjut oleh aparat penegak hukum, apabila hasil temuan mengarah ke tindak pidana baik karena sengaja maupun lalai.
“Kepala daerah harus menjadi contoh yang benar, baik bagi masyarakat, terlebih di Tapanuli terdapat spesies orangutan yang kondisinya sudah sangat terancam punah.”
Ceritanya…
Bayi orangutan Tapanuli itu, terlihat pada Minggu (26/1/20) dipelihara dalam kandang besi. Tampak sejumlah pegawai rumah tangga bupati memberikan makanan satwa arboreal atau spesies yang menghabiskan separuh hidup di atas pohon ini.
Kala sejumlah wartawan mengkonfirmasi, dia membenarkan memelihara bayi orangutan Tapanuli itu. Bayi itu sudah sekitar empat bulan dia perlihara.
Ketika ditanya apakah sudah mengantongi izin dari BBKSDA Sumut, dia berkilah, sebagai kepala daerah punya hak untuk memelihara. Kalau orangutan sudah besar, katanya, baru menyerahkan ke BBKSDA Sumut.
“Yang jelas, kalau sudah besar baru diserahkan ke KSDA Sumut. Sudah saya perintahkan anggota untuk cek sudah besar belum,” katanya Rabu (29/2/20).
Nikson mengatakan, bayi orangutan Tapanuli itu diperoleh dari seorang warga Pahae, Tapanuli Utara. Setelah itu, dia memerintahkan anggotanya memasukkan dalam kandang. Dia tidak mau menjelaskan detail apakah ada transaksi jual beli atau tidak ketika serah terima bayi orangutan itu.
Ketika di cek kembali pada Rabu pagi, ternyata bayi orangutan itu sudah tidak berada dalam kandang lagi.
Nikson bilang, bayi orangutan di rumah dinas itu sudah dilepaskan ke habitat asli pada Selasa malam sekitar pukul 20 00 oleh Janri Nababan, staf bagian umum Sekda Tapanuli Utara.
Kala konfirmasi ke BBKSDA Sumut, hanya menjelaskan soal kronologis temuan mereka. Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi, Selasa (4/2/20) mengatakan, Senin, 27 Januari 2020, BBKSDA mendapatkan
informasi ada orangutan masih anakan di rumah dinas bupati, Tapanuli Utara, di Tarutung. BBKSDA Wilayah II Pematangsiantar, menugaskan Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) IV Tarutung untuk pengecekan dan koordinasi dengan Bupati Tapanuli Utara.
Pada 28 Januari 2020, diadakan pertemuan di Kantor Bupati Tapanuli Utara, dipimpin Sekda Kabupaten Tapanuli Utara, dihadiri Kepala SKW IV Tarutung, staf ahli bupati, dan KPH Wilayah XII Tarutung.
“Dari hasil pertemuan disepakati, akan penyerahan orangutan di rumah dinas bupati kepada BBKSDA Sumatera,” kata Hotmauli.
Pada 29 Januari 2020, Kepala Bidang KSDA Wilayah II Pematangsiantar, Kepala SKW IV Tarutung dan tim penyelamatan HOCRU tiba di rumah dinas bupati untuk evakuasi. Sayangnya, satwa itu sudah tidak ada. [] MONGABAY