Lentera 24 .com | JAKARTA - Berbagai organisasi pers menolak Omnibus Law/Rancangan Undang- Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang terkai...
Lentera24.com | JAKARTA - Berbagai organisasi pers menolak Omnibus Law/Rancangan Undang- Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang terkait kehidupan pers. Sebab lewat RUU tersebut, pemerintah dinilai ingin kembali mencampuri kehidupan pers di Tanah Air.
Sebelumnya, atau tiga hari yang lalu, pemerintah mengirimkan draf RUU Cipta Lapangan Kerja ke DPR. Draf tersebut hasil dari konsep omnibus law untuk merampingkan dan merevisi sejumlah undang-undang saat ini. Pemerintah menargetkan draf RUU Cipta Lapangan Kerja bisa dibahas dan disahkan DPR dalam 100 hari.
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sejak lama diprioritaskan pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi untuk menggenjot investasi. Karena itu, pasal-pasal di sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi, akan disederhanakan bahkan dihapus.
Paling tidak, ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang sedang digodok dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Demikian ditegaskan dalam rilis yang ditandatangani Ketua Umum AJI Abdul Manan, Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pusat, Yadi Hendriana, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari, Ketua Bidang Advokasi Persatuan Wartawan Indonesia, Ocktap Riady dan Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin.
Selain mengatur soal investasi, RUU ini juga memasukkan revisi sejumlah pasal dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing dan ketentuan pidana.
Pertama UU No 40 tentang Pers revisi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Pasal 11, yakni penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Kemudian Pasal 18 yang mengatur soal sanksi hukumnya, yakni setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Kemudian, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Aturan lainnya, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Terkait usulan-usulan revisi tersebut, AJI, IJTI, PWI, dan LBH Pers menyatakan menolaknya.
Terlebih, niat campur tangan pemerintah ini terlihat dalam usulan peraturan pemerintah soal sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar Pasal 9 dan Pasal 12. Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawabnya secara terbuka.
Self Regulatory
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatorydan tak ada campur tangan pemerintah. Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk pada masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.
Campur tangan itu ditunjukkan melalui kewenangan pemerintah untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui. Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers. UU Pers Tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk Orde Baru dalam mengekang pers.
Semangat itu tercermin, antara lain dengan menegaskan kembali tak ada sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers tanpa wakil dari pemerintah. ”RUU Cipta Lapangan Kerja yang di dalamnya ada usulan revisi soal peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif itu merupakan bentuk kemunduran bagi kebebasan pers,” tandasnya. Kedua, menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers.
Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar, naik dari sebelumnya Rp 500 juta.
Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal pers wajib melayani hak jawab. Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Ketiga, menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan UU Pers. Pihaknya menilai bahwa undang-undang itu selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten. Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3, bukan solusi untuk menegakkan UU Pers.
Ayat 2 mengatur soal pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat 3 berisi jaminan bagi pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. [] L24.(bn-41)