Lentera 24.com | ACEH TAMIANG -- Tujuan penyelenggaraan pemerintahan, secara umum tertuang dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yaitu, melin...
Lentera24.com | ACEH TAMIANG -- Tujuan penyelenggaraan pemerintahan, secara umum tertuang dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Amanat dari UUD 1945 tersebut kemudian dilaksanakan dengan membentuk struktur pemerintahan secara bertingkat, dengan segala fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, baik ditingkat pusat ataupun daerah.
Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana tercantum dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam melaksanakan otonomi daerah, pemerintah daerah diperbolehkan mengelola keuangan daerahnya.
Kegiatan pengelolaan keuangan daerah, meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Diperlukan perencanaan keuangan yang optimal agar pemerintahan berjalan dengan baik dan pembangunan di daerah berjalan sesuai tujuan.
Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan otonomi daerah, kemampuan mengelola keuangan dan aset pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota masih tergolong lemah. Akibatnya muncullah penyalahgunaan anggaran daerah seperti korupsi, pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan.
Hal ini dapat memperlambat upaya pertumbuhan perekonomian daerah. Kaitannya dengan APBA dan APBK, masalah yang kerap terjadi adalah korupsi
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Laskar Anti Korupsi Indonesia (DPC LAKI) Kabupaten Aceh Tamiang, Syahri El Nasir, S.Kom, melalui siaran pers, Senin (13/01/2020).
Menurut Ketua LAKI, Nasir, korupsi bukan saja terjadi pada saat pelaksanaan, namun juga dalam proses perencanaan, bahkan pada tahap tersebut terkesan lebih kental. Dalam proses perencanaan anggaran terdapat lima aspek yang mewarnai, yaitu top down, bottom up, partisipasi, teknokrasi, dan politik.
Nasir juga membeberkan bahwa proses top down, anggaran yang digelontorkan dari pusat ke daerah sudah diatur (given), sedangkan bottom up, sejauh ini terindikasi hanya formalitas, karena proses partisipasi dalam perencanaan yang dilakukan bukanlah proses negosiasi, namun hanya sosialisasi dan penyampaian informasi publik.
"Sesungguhnya pihak masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan secara utuh dari awal, dan hanya diberi sosialisasi hasil dari perencanaan yang sudah terbentuk," ungkapnya.
Lanjut Nasir, saat dilaksanakan forum SKPA/SKPK aroma egosentris sangat kental, disinilah celah untuk memasukkan keinginan melalui negosiasi, entah programnya sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau tidak. Sama halnya ketika proses penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang dibuat oleh sekretaris daerah selaku Ketua TAPA atau Ketua TAPK untuk disampaikan kepada kepala daerah, sebagai pedoman penyusunan APBA/APBK.
Di sini sering disusupkan program-program "siluman". Selain itu, usulan dari bawah (bottom up) melalui mekanisme Musrenbang selalu hanya menjadi formalitas saja. Usulan yang tidak sesuai dengan alokasi anggaran dari pemerintah tidak diakomodir. Akibatnya proses perencanaan anggaran, umumnya hanya bersifat sosialisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah lembaga anti rasuah, kata Nasir, kejahatan korupsi APBA/APBK paling banyak terjadi pada sektor infrastruktur, karena dari persentase alokasi anggaran, sektor inilah yang paling besar. Modus yang sering digunakan adalah mark up, mark down, laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, dan penggelapan.
Ia menegaskan, dalam upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan hal tersebut telah diamanatkan pada PP Nomor: 45 Tahun 2017 Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki fungsi penting, antara lain sebagai sarana bagi masyarakat baik orang perseorangan, kelompok masyarakat, maupun organisasi kemasyarakatan dalam mengekspresikan kebutuhan dan kepentingannya sehingga proses pembentukan kebijakan daerah lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan Masyarakat.
"Partisipasi masyarakat juga merupakan hal penting untuk keberhasilan pembangunan di daerah. Oleh karenanya, kami atas nama DPC LAKI Aceh Tamiang mengajak seluruh unsur masyarakat untuk mengawasi dan mengawal kinerja pemerintah," tutupnya. [] L24-RED
Foto : Ketua Dewan Pimpinan Cabang Laskar Anti Korupsi Indonesia (DPC LAKI) Kabupaten Aceh Tamiang, Syahri El Nasir, S.Kom |
Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana tercantum dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam melaksanakan otonomi daerah, pemerintah daerah diperbolehkan mengelola keuangan daerahnya.
Kegiatan pengelolaan keuangan daerah, meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Diperlukan perencanaan keuangan yang optimal agar pemerintahan berjalan dengan baik dan pembangunan di daerah berjalan sesuai tujuan.
Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan otonomi daerah, kemampuan mengelola keuangan dan aset pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota masih tergolong lemah. Akibatnya muncullah penyalahgunaan anggaran daerah seperti korupsi, pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan.
Hal ini dapat memperlambat upaya pertumbuhan perekonomian daerah. Kaitannya dengan APBA dan APBK, masalah yang kerap terjadi adalah korupsi
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Laskar Anti Korupsi Indonesia (DPC LAKI) Kabupaten Aceh Tamiang, Syahri El Nasir, S.Kom, melalui siaran pers, Senin (13/01/2020).
Menurut Ketua LAKI, Nasir, korupsi bukan saja terjadi pada saat pelaksanaan, namun juga dalam proses perencanaan, bahkan pada tahap tersebut terkesan lebih kental. Dalam proses perencanaan anggaran terdapat lima aspek yang mewarnai, yaitu top down, bottom up, partisipasi, teknokrasi, dan politik.
Nasir juga membeberkan bahwa proses top down, anggaran yang digelontorkan dari pusat ke daerah sudah diatur (given), sedangkan bottom up, sejauh ini terindikasi hanya formalitas, karena proses partisipasi dalam perencanaan yang dilakukan bukanlah proses negosiasi, namun hanya sosialisasi dan penyampaian informasi publik.
"Sesungguhnya pihak masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan secara utuh dari awal, dan hanya diberi sosialisasi hasil dari perencanaan yang sudah terbentuk," ungkapnya.
Lanjut Nasir, saat dilaksanakan forum SKPA/SKPK aroma egosentris sangat kental, disinilah celah untuk memasukkan keinginan melalui negosiasi, entah programnya sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau tidak. Sama halnya ketika proses penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang dibuat oleh sekretaris daerah selaku Ketua TAPA atau Ketua TAPK untuk disampaikan kepada kepala daerah, sebagai pedoman penyusunan APBA/APBK.
Di sini sering disusupkan program-program "siluman". Selain itu, usulan dari bawah (bottom up) melalui mekanisme Musrenbang selalu hanya menjadi formalitas saja. Usulan yang tidak sesuai dengan alokasi anggaran dari pemerintah tidak diakomodir. Akibatnya proses perencanaan anggaran, umumnya hanya bersifat sosialisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah lembaga anti rasuah, kata Nasir, kejahatan korupsi APBA/APBK paling banyak terjadi pada sektor infrastruktur, karena dari persentase alokasi anggaran, sektor inilah yang paling besar. Modus yang sering digunakan adalah mark up, mark down, laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, dan penggelapan.
Ia menegaskan, dalam upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan hal tersebut telah diamanatkan pada PP Nomor: 45 Tahun 2017 Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki fungsi penting, antara lain sebagai sarana bagi masyarakat baik orang perseorangan, kelompok masyarakat, maupun organisasi kemasyarakatan dalam mengekspresikan kebutuhan dan kepentingannya sehingga proses pembentukan kebijakan daerah lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan Masyarakat.
"Partisipasi masyarakat juga merupakan hal penting untuk keberhasilan pembangunan di daerah. Oleh karenanya, kami atas nama DPC LAKI Aceh Tamiang mengajak seluruh unsur masyarakat untuk mengawasi dan mengawal kinerja pemerintah," tutupnya. [] L24-RED