Cerpen Alim Musthafa Apa yang tersisa dari Desember selain hujan dan kenangan? Sudah hampir setahun berlalu dan kau terus menunggu kekas...
Cerpen Alim Musthafa
Apa yang tersisa dari Desember selain hujan dan kenangan?
Sudah hampir setahun berlalu dan kau terus menunggu kekasihmu di sini, di Dermaga Aeng Panas kala matahari meredup dan senja jatuh di permukaan air. Tak ada yang kauharapakan selain melihat kemunculannya dari pintu kapal yang berlabuh pelan, kapal yang setia mengantar siapa saja, tak terkecuali para perantau yang ditikam kerinduan akan kampung halaman.
Kau tahu bagaimana harapan tumbuh di antara janji-janji? Bagaimana kenangan lahir setelah dia memilih pergi? Ya, kau masih ingat, hujan adalah temanmu sejak hari itu. Hujan adalah pengusap kesedihanmu kala ingat kalian pernah menghabiskan hari-hari bersama. Namun aku yakin, kau tak akan pernah sanggup menanggung semua ini sendiri. Bukankah hidup saja sudah menimpakan banyak kerumitan yang tak kau pahami hingga kini?
Hari-hari Desember ini berlalu begitu sepi. Setidaknya bagimu. Saat muda-mudi sibuk menyiapkan perayaan tahun baru, kau malah milih menyendiri, termenung memikirkan apa saja untuk memperpanjang pertanyaan, bagaimana kabar Malika di sana? Apakah dia menderita kesepian seperti dirimu saat ini? Namun kau pikir dia selalu baik-baik saja. Mungkin sudah ada lelaki yang menggantikanmu hingga merasa tak perlu kembali ke kampung halaman dan menderita seperti dahulu.
Di dermaga ini, kenangan-kenangan memaku ingatanmu, menciptakan dunia lain agar kau tetap betah menunggu. Dan kau tak pedui meski sesekali perempuan-perempuan melintas dan diam-diam mengusik hatimu. Kau tahu, perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang bahagia, dan kau sama sekali tidak tertarik dengan perempuan yang bahagia. Sebab, perempuan yang bahagia, katamu, sudah kenyang dengan perhatian dan suka dimanja, sementara hatimu lebih tersentuh oleh perempuan dengan wajah muram seperti senja yang sudah menua.
“Seleramu aneh, Kawan. Kupikir kamu lelaki yang tidak normal.” Begitu kata salah satu temanmu dahulu, saat ditawarkan beberapa gadis cantik, tapi kau malah tidak memilih semuanya.
Waktu itu, teman-temanmu begitu kecewa karena kau menolak tawaran mereka. Padahal kau tahu mereka tak punya maksud lain selain ingin kau punya kekasih, kekasih yang bersedia dan setia menemanimu di kala bahagia dan sedih. Sebab mereka jarang ada waktu untukmu karena kekasih mereka selalu tak ingin ditinggal dan menuntut untuk selalu dimengerti.
Namun anehnya, mereka malah tidak setuju ketika suatu hari kau mendekati seorang gadis yang suka duduk sendirian di pojok taman sekolah. Gadis itu terlihat sederhana dan sepintas tidak memiliki kelebihan. Satu-satunya kelebihan yang kau lihat waktu itu hanyalah kecantikan yang dibungkus kesedihan. Tapi, barangkali itulah yang membuatmu tertarik.
“Dia tidak cocok buatmu, Kawan. Lihat, kesedihannya tidak akan pernah membuatmu bahagia,” protes teman-temanmu kala itu.
“Tapi, dia butuh bahagia dan aku akan membuatnya bahagia,” jawabmu penuh percaya diri.
Mereka bergeming dan kau tak peduli. Selanjutnya, kau meninggalkan mereka dan mulai mendakati gadis itu. Kau pikir gadis itu sedang ada masalah, mungkin ditinggal pergi kekasihnya dan lebih memilih gadis lain. Dan kau tahu, dalam keadaan begitu, seorang gadis biasanya cendrung sentimentil. Karena itulah kau berusaha mencari cara agar setidaknya tidak tampak seperti lelaki playboy.
“Boleh aku ikut sedih, Nona?” Kau tiba-tiba duduk di sisinya. Tapi gadis itu tak peduli. Tak menanggapi.
“Berbagilah kalau memang ada masalah. Anggap saja aku ini temanmu, mulai saat ini,” lanjutmu sok kenal.
“Sebaiknya kau jangan ganggu aku. Aku ingin sendiri. Pergilah!” tanggapnya sinis. “Kalau kau tetap sendiri, aku tak yakin kau akan terbebas dari masalah, Nona. Aku tahu, hatimu masih begitu rentan. Jadi biarlah aku menemanimu, setidaknya sampai sedihmu hilang,” jelasmu tak mau menyerah.
Gadis itu lantas terdiam dan tak menanggapi lagi. Sementara kau terus membujuknya, sesekali menghiburnya sampai wajahnya menampakkan senyum. Hingga suatu hari, kau yakin telah merobohkan keraguannya dan kau memutuskan akan memasuki hatinya perlahan-lahan.
Setelah beberapa minggu menghiburnya dan mengajaknya ke tempat-tempat wisata, kau akhirnya meminta gadis itu menjadi kekasihmu dan dia bersedia. Kau pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Kau buktikan janjimu seperti yang kau ucapkan pada teman-temanmu tempo hari, yaitu membuat gadis itu bahagia, bahkan paling bahagia di dunia.
Hari berganti minggu, bulan menjelma tahun, dan kalian akhirnya lulus sekolah. Kau tidak ke mana-mana. Begitu pun kekasihmu, Malika. Kau hanya membantu ayahmu menjalankan bisnis mebel, sementara Malika bekerja sebagai penganggit tikar seperti kebanyakan gadis kampung setelah lulus sekolah. Meski harus menempuh jalan hidup berbeda, kau tak pernah melupakan Malika. Bahkan kau kerap mengajaknya ke dermaga, Dermaga Aeng Panas, untuk melepas rindu berlatar panorama senja yang begitu eksotis.
Kau tahu, hidup di kampung itu sebenarnya susah. Saking susahnya sampai-sampai banyak muda-mudi tidak kerasan tinggal di kampung dan akhirnya memilih merantau ke ibu kota. Tapi kau melihat Malika begitu bahagia menjalani hari-harinya. Barangkali dia memang tak butuh apa pun selain sebuah keluarga dengan seorang ibu, ayah, dan adik perempuan yang masih sekolah. Itu terbukti ketika ayah Malika jatuh dari puncak pohon siwalan dan akhirnya meninggal sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit.
Malika sangat terpukul waktu itu. Karena itulah dia hanya mengurung diri di kamar dan tidak keluar-keluar hingga dua Minggu kemudian. Namun, sebagai kekasih, kau tak membiarkan Malika berlarut-larut dalam kesedihan begitu. Kau berusaha menghiburnya seperti permintaan ibunya yang selalu khawatir dengan keadaannya. Kau bahkan jarang pulang demi memastikan Malika tetap baik-baik saja. Sampai kadang ayahmu memarahimu karena dianggap sudah mulai tidak becus mengurus pekerjaan.
Namun, begitu semua kembali seperti semula, Malika kemudian dihadapkan pada masalah lain. Ibunya sudah tidak memiliki apa-apa lagi setelah acara kematian ayahnya dari hari pertama sampai hari ketujuh. Sementara adiknya harus terus sekolah. Belum lagi harga tikar yang semakin anjlok membuat ibunya harus berutang ke sana-sini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada Desember itu, terdengar kabar ada banyak warga kampung yang akan merantau ke ibu kota. Dan Malika yang merasa kesulitan ekonomi mencari kebenaran kabar tersebut. Kau tak pernah curiga bahwa Malika akan ikut mereka. Tapi pada suatu pagi yang buta, Malika tiba-tiba memintamu bertemu di tempat biasa: Dermaga Aeng Panas.
“Royhan, kau mungkin tak akan percaya, tapi bagaimapapun aku harus menyampaikan kabar ini,” ucap Malika dengan wajah tertunduk.
“Katakanlah, jangan buat aku cemas, Malika!” Kau tampak tidak sabar.
“Aku akan meninggalkan kampung ini, Royhan. Dan ini satu-satunya pilihan,” jawabnya setelah cukup lama terdiam.
Kau baru sadar bahwa Malika tidak datang sendiri. Ibu dan adiknya juga mengiringi. Membawakan rensel dan sebuah kardus untuk kepergiannya.
“Tapi, kenapa harus mendadak begini, Malika?”
“Karena sudah tidak ada yang bisa kuharapkan lagi dari kampung ini. Sementara aku harus memperjuangkan keluarga. Aku tidak ingin adikku putus sekolah.”
Kau lantas bergeming. Kau tatap wajah Malika yang sendu, matanya yang sayu. Kau tak tahu bagaimana nasib perasaamu setelah Malika benar-benar pergi? Telah kautawarkan niat baikmu untuk membiayai sekolah adik Malika agar kau tetap selalu bersama. Tapi Malika begitu teguh dengan pendiriannya. Dia tak ingin merepotkan orang lain, lebih-lebih dirimu yang katanya sangat dia cintai.
“Kau jangan cemas, aku pasti akan kembali, Royhan,” katanya mencoba menghiburmu sebelum benar-benar pergi.
Di antara calon penumpang yang sibuk menyeret barang, Malika masih terdiam. Kau tahu, dia hanya berusaha tegar. Bibirnya mengulas senyum meski tampak dipaksakan. Sementara kau berusaha melepasnya tanpa melibatkan air mata. Kau tak ingin kepergian Malika jadi semakin berat dan dramatis.
“Tapi aku takut kau lupa pulang, Malika. Dan di sini aku hanya akan menjadi penunggu yang sia-sia”
“Percayalah, Royhan! Aku pasti pulang, Desember mendatang.”
Malika kemudian melangkah. Meninggalkanmu, ibu, dan adiknya yang sesunggukan. Tak lama kemudian, kapal melaju pelan dan dia melambai diiringi senyum terakhir. Sementara kau tetap bergeming, sibuk mengusap air mata yang tidak bisa lagi kaubendung.
Dalam suasana dramatis itu, hujan tiba-tiba mengguyur, menguyupkan apa saja, tak terkecuali tubuhmu yang bergetar seolah tak sanggup menaggung beban kehilangan. Sejak hari itu, bersama janji yang tak berhenti terngiang di telinga, kau terus menunggu Malika di sini, di Dermaga Aeng Panas kala matahari meredup dan senja jatuh di permukaan air. Kau selalu berharap Malika akan muncul dari setiap kapal yang datang. Tapi kau hanya melihat orang-orang yang tak kaukenal hingga Desember ini usai, hingga kembang api burai di langit tengah malam dan kelender-kelender usang berjatuhan dari dinding-dinding pejal.
Namun kau telah berjanji, kau akan terus menunggu Malika di sini, sampai kau yakin harapan dan penungguanmu benar-benar sia-sia, dan kepulanganmu hanyalah berupa isakan air mata.*
Karduluk, 29 Desember 2019
Alim Musthafa, lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Suka menulis fiksi berupa puisi dan cerpen. Karya-karyanya banyak tersiar di media nasional dan lokal.
Apa yang tersisa dari Desember selain hujan dan kenangan?
Sudah hampir setahun berlalu dan kau terus menunggu kekasihmu di sini, di Dermaga Aeng Panas kala matahari meredup dan senja jatuh di permukaan air. Tak ada yang kauharapakan selain melihat kemunculannya dari pintu kapal yang berlabuh pelan, kapal yang setia mengantar siapa saja, tak terkecuali para perantau yang ditikam kerinduan akan kampung halaman.
Kau tahu bagaimana harapan tumbuh di antara janji-janji? Bagaimana kenangan lahir setelah dia memilih pergi? Ya, kau masih ingat, hujan adalah temanmu sejak hari itu. Hujan adalah pengusap kesedihanmu kala ingat kalian pernah menghabiskan hari-hari bersama. Namun aku yakin, kau tak akan pernah sanggup menanggung semua ini sendiri. Bukankah hidup saja sudah menimpakan banyak kerumitan yang tak kau pahami hingga kini?
Hari-hari Desember ini berlalu begitu sepi. Setidaknya bagimu. Saat muda-mudi sibuk menyiapkan perayaan tahun baru, kau malah milih menyendiri, termenung memikirkan apa saja untuk memperpanjang pertanyaan, bagaimana kabar Malika di sana? Apakah dia menderita kesepian seperti dirimu saat ini? Namun kau pikir dia selalu baik-baik saja. Mungkin sudah ada lelaki yang menggantikanmu hingga merasa tak perlu kembali ke kampung halaman dan menderita seperti dahulu.
Di dermaga ini, kenangan-kenangan memaku ingatanmu, menciptakan dunia lain agar kau tetap betah menunggu. Dan kau tak pedui meski sesekali perempuan-perempuan melintas dan diam-diam mengusik hatimu. Kau tahu, perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang bahagia, dan kau sama sekali tidak tertarik dengan perempuan yang bahagia. Sebab, perempuan yang bahagia, katamu, sudah kenyang dengan perhatian dan suka dimanja, sementara hatimu lebih tersentuh oleh perempuan dengan wajah muram seperti senja yang sudah menua.
“Seleramu aneh, Kawan. Kupikir kamu lelaki yang tidak normal.” Begitu kata salah satu temanmu dahulu, saat ditawarkan beberapa gadis cantik, tapi kau malah tidak memilih semuanya.
Waktu itu, teman-temanmu begitu kecewa karena kau menolak tawaran mereka. Padahal kau tahu mereka tak punya maksud lain selain ingin kau punya kekasih, kekasih yang bersedia dan setia menemanimu di kala bahagia dan sedih. Sebab mereka jarang ada waktu untukmu karena kekasih mereka selalu tak ingin ditinggal dan menuntut untuk selalu dimengerti.
Namun anehnya, mereka malah tidak setuju ketika suatu hari kau mendekati seorang gadis yang suka duduk sendirian di pojok taman sekolah. Gadis itu terlihat sederhana dan sepintas tidak memiliki kelebihan. Satu-satunya kelebihan yang kau lihat waktu itu hanyalah kecantikan yang dibungkus kesedihan. Tapi, barangkali itulah yang membuatmu tertarik.
“Dia tidak cocok buatmu, Kawan. Lihat, kesedihannya tidak akan pernah membuatmu bahagia,” protes teman-temanmu kala itu.
“Tapi, dia butuh bahagia dan aku akan membuatnya bahagia,” jawabmu penuh percaya diri.
Mereka bergeming dan kau tak peduli. Selanjutnya, kau meninggalkan mereka dan mulai mendakati gadis itu. Kau pikir gadis itu sedang ada masalah, mungkin ditinggal pergi kekasihnya dan lebih memilih gadis lain. Dan kau tahu, dalam keadaan begitu, seorang gadis biasanya cendrung sentimentil. Karena itulah kau berusaha mencari cara agar setidaknya tidak tampak seperti lelaki playboy.
“Boleh aku ikut sedih, Nona?” Kau tiba-tiba duduk di sisinya. Tapi gadis itu tak peduli. Tak menanggapi.
“Berbagilah kalau memang ada masalah. Anggap saja aku ini temanmu, mulai saat ini,” lanjutmu sok kenal.
“Sebaiknya kau jangan ganggu aku. Aku ingin sendiri. Pergilah!” tanggapnya sinis. “Kalau kau tetap sendiri, aku tak yakin kau akan terbebas dari masalah, Nona. Aku tahu, hatimu masih begitu rentan. Jadi biarlah aku menemanimu, setidaknya sampai sedihmu hilang,” jelasmu tak mau menyerah.
Gadis itu lantas terdiam dan tak menanggapi lagi. Sementara kau terus membujuknya, sesekali menghiburnya sampai wajahnya menampakkan senyum. Hingga suatu hari, kau yakin telah merobohkan keraguannya dan kau memutuskan akan memasuki hatinya perlahan-lahan.
Setelah beberapa minggu menghiburnya dan mengajaknya ke tempat-tempat wisata, kau akhirnya meminta gadis itu menjadi kekasihmu dan dia bersedia. Kau pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Kau buktikan janjimu seperti yang kau ucapkan pada teman-temanmu tempo hari, yaitu membuat gadis itu bahagia, bahkan paling bahagia di dunia.
Hari berganti minggu, bulan menjelma tahun, dan kalian akhirnya lulus sekolah. Kau tidak ke mana-mana. Begitu pun kekasihmu, Malika. Kau hanya membantu ayahmu menjalankan bisnis mebel, sementara Malika bekerja sebagai penganggit tikar seperti kebanyakan gadis kampung setelah lulus sekolah. Meski harus menempuh jalan hidup berbeda, kau tak pernah melupakan Malika. Bahkan kau kerap mengajaknya ke dermaga, Dermaga Aeng Panas, untuk melepas rindu berlatar panorama senja yang begitu eksotis.
Kau tahu, hidup di kampung itu sebenarnya susah. Saking susahnya sampai-sampai banyak muda-mudi tidak kerasan tinggal di kampung dan akhirnya memilih merantau ke ibu kota. Tapi kau melihat Malika begitu bahagia menjalani hari-harinya. Barangkali dia memang tak butuh apa pun selain sebuah keluarga dengan seorang ibu, ayah, dan adik perempuan yang masih sekolah. Itu terbukti ketika ayah Malika jatuh dari puncak pohon siwalan dan akhirnya meninggal sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit.
Malika sangat terpukul waktu itu. Karena itulah dia hanya mengurung diri di kamar dan tidak keluar-keluar hingga dua Minggu kemudian. Namun, sebagai kekasih, kau tak membiarkan Malika berlarut-larut dalam kesedihan begitu. Kau berusaha menghiburnya seperti permintaan ibunya yang selalu khawatir dengan keadaannya. Kau bahkan jarang pulang demi memastikan Malika tetap baik-baik saja. Sampai kadang ayahmu memarahimu karena dianggap sudah mulai tidak becus mengurus pekerjaan.
Namun, begitu semua kembali seperti semula, Malika kemudian dihadapkan pada masalah lain. Ibunya sudah tidak memiliki apa-apa lagi setelah acara kematian ayahnya dari hari pertama sampai hari ketujuh. Sementara adiknya harus terus sekolah. Belum lagi harga tikar yang semakin anjlok membuat ibunya harus berutang ke sana-sini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada Desember itu, terdengar kabar ada banyak warga kampung yang akan merantau ke ibu kota. Dan Malika yang merasa kesulitan ekonomi mencari kebenaran kabar tersebut. Kau tak pernah curiga bahwa Malika akan ikut mereka. Tapi pada suatu pagi yang buta, Malika tiba-tiba memintamu bertemu di tempat biasa: Dermaga Aeng Panas.
“Royhan, kau mungkin tak akan percaya, tapi bagaimapapun aku harus menyampaikan kabar ini,” ucap Malika dengan wajah tertunduk.
“Katakanlah, jangan buat aku cemas, Malika!” Kau tampak tidak sabar.
“Aku akan meninggalkan kampung ini, Royhan. Dan ini satu-satunya pilihan,” jawabnya setelah cukup lama terdiam.
Kau baru sadar bahwa Malika tidak datang sendiri. Ibu dan adiknya juga mengiringi. Membawakan rensel dan sebuah kardus untuk kepergiannya.
“Tapi, kenapa harus mendadak begini, Malika?”
“Karena sudah tidak ada yang bisa kuharapkan lagi dari kampung ini. Sementara aku harus memperjuangkan keluarga. Aku tidak ingin adikku putus sekolah.”
Kau lantas bergeming. Kau tatap wajah Malika yang sendu, matanya yang sayu. Kau tak tahu bagaimana nasib perasaamu setelah Malika benar-benar pergi? Telah kautawarkan niat baikmu untuk membiayai sekolah adik Malika agar kau tetap selalu bersama. Tapi Malika begitu teguh dengan pendiriannya. Dia tak ingin merepotkan orang lain, lebih-lebih dirimu yang katanya sangat dia cintai.
“Kau jangan cemas, aku pasti akan kembali, Royhan,” katanya mencoba menghiburmu sebelum benar-benar pergi.
Di antara calon penumpang yang sibuk menyeret barang, Malika masih terdiam. Kau tahu, dia hanya berusaha tegar. Bibirnya mengulas senyum meski tampak dipaksakan. Sementara kau berusaha melepasnya tanpa melibatkan air mata. Kau tak ingin kepergian Malika jadi semakin berat dan dramatis.
“Tapi aku takut kau lupa pulang, Malika. Dan di sini aku hanya akan menjadi penunggu yang sia-sia”
“Percayalah, Royhan! Aku pasti pulang, Desember mendatang.”
Malika kemudian melangkah. Meninggalkanmu, ibu, dan adiknya yang sesunggukan. Tak lama kemudian, kapal melaju pelan dan dia melambai diiringi senyum terakhir. Sementara kau tetap bergeming, sibuk mengusap air mata yang tidak bisa lagi kaubendung.
Dalam suasana dramatis itu, hujan tiba-tiba mengguyur, menguyupkan apa saja, tak terkecuali tubuhmu yang bergetar seolah tak sanggup menaggung beban kehilangan. Sejak hari itu, bersama janji yang tak berhenti terngiang di telinga, kau terus menunggu Malika di sini, di Dermaga Aeng Panas kala matahari meredup dan senja jatuh di permukaan air. Kau selalu berharap Malika akan muncul dari setiap kapal yang datang. Tapi kau hanya melihat orang-orang yang tak kaukenal hingga Desember ini usai, hingga kembang api burai di langit tengah malam dan kelender-kelender usang berjatuhan dari dinding-dinding pejal.
Namun kau telah berjanji, kau akan terus menunggu Malika di sini, sampai kau yakin harapan dan penungguanmu benar-benar sia-sia, dan kepulanganmu hanyalah berupa isakan air mata.*
Karduluk, 29 Desember 2019
Alim Musthafa, lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Suka menulis fiksi berupa puisi dan cerpen. Karya-karyanya banyak tersiar di media nasional dan lokal.