Usia remaja merupakan masa di mana seorang individu mulai beralih dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, individu mulai mencari ...
Usia remaja merupakan masa di mana seorang individu mulai beralih dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, individu mulai mencari jati diri dan mulai memilih jalan yang akan ditempuh sesuai minat dan potensinya. Remaja cenderung melakukan apa yang disukai dan segala sesuatu yang akan memberinya kepuasan. Dengan kata lain remaja tidak menyukai keterpaksaan. Tidak suka atau suka seorang remaja terhadap sesuatu tidak hanya datang dari dirinya sendiri, tetapi tergantung bagaimana orang sekitar khususnya orang tua membangun persepsi pada remaja.
Berangkat dari persepsi orang tua, tidak jarang orang tua tersebut melakukan dua hal yang akan berpengaruh kepada perilaku anak, diantaranya, membandingkan dan memaksa. Orang tua sering membandingkan anak yang satu dengan anak lain yang menurut mereka lebih baik.
Bisa dibayangkan, seorang anak yang selalu dibandingkan dengan yang lain akan merasa tidak diterima dan tidak bahagia, sehingga anak akan mencari tempat lain yang bisa menerima mereka dan mencari sumber kebahagiaan lain.
Cenderung mereka akan mencari hal yang berbahaya demi mendapatkan sebuah kebahagiaan. Begitu juga halnya dengan pemaksaan orang tua kepada anak. Orang tua sering memaksa anak untuk melakukan apa yang diinginkan orang tua tanpa peduli akan apa yang diinginkan anak. Tidak peduli potensi yang dimiliki anak. Yang orang tua tahu hanyalah bagaimana anak melakukan dan memenuhi keinginan orang tua. Ini membuat anak akan protes dan memberontak dengan melakukan kenakalan dan penyimpangan perilaku.
Seperti pada kasus seorang remaja di Tenessee (AS) PADA Maret 2005, tiba-tiba menembak sampai mati supir bis sekolahnya setelah supir itu menyuruhnya turun dari bis gara-gara si remaja merokok dalam bis. Kata tetangganya remaja itu selalu patuh kepada oaring tuanya (Sarwono, 2018: 279). Ketika anak terpaksa melakukan segala yang diinginkan orang tua, anak akan melampiaskan dengan kenakalan di luar rumah demi mendapatkan kepuasan.
Paragraf di atas menunjukkan bahwa persepsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku. Persepsi itu sendiri adalah proses di mana kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan (Pieter, et al., 2011:24). Ketika persepsi yang terbentuk adalah positif, maka pemilihan bahasa dan cara komunikasi juga akan positif dan terwujud dalam perilaku yang positif. Orang tua yang selalu berpersepsi positif akan melabeli anaknya dengan label positif.
Jika anak mendengar label positif tentang dirinya, anak akan berusaha membuktikan bahwa apa yang dilabelkan atas dirinya adalah benar. “kamu anak yang pintar, nak”. Besar kemungkinan anak untuk benar-benar berusaha menjadi anak yang pintar.
Begitupun sebaliknya, ketika yang terbentuk adalah persepsi negatif, maka pemilihan bahasa dan cara komunikasi juga akan negatif dan terwujud dalam perilaku yang negatif. Label negatif pada anak, membuatnya merasa tidak dipecayai untuk melakukan hal positif. Anak merasa perilaku positif hanyalah hal sia-sia dan tidak akan dihargai. Seberapa keras usahanya untuk berperilaku positif, baginya label negatif akan tetap disematkan kepadanya. Ini membuat anak semakin melakukan hal negatif.
Ada pendapat mengatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal. Di Indonesia, banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasa-basi dengan tamunya, sehingga ketika anaknya muncul di ruang tamu, ia mengatakan pada tamunya, “ini loh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakalnya bukan mian”. Kalau terlalu sering anak diberi label seperti ini, maka ia jadi betul-betul nakal (Sarwono, 2018:256)
Begitu pentingnya peran orang tua dalam pembentukan perilaku anak. Dimulai dari bagaimana persepsi orang tua terhadap anak yang berpengaruh kepada label yang diberikan. Label positif akan membuat anak berperilaku positif, dan label negatif akan mendorong anak berperilaku sesuai dengan label negatif yang diberikan. Seharusnya orang tua selalu memberi label positif dan menghindari label negatif kepada anak agar perilaku yang ditampilkan anak juga positif.
Orang tua bisa memulai dengan memberi nama yang baik kepada anak dan memanggil anak dengan sebutan-sebutan baik yang merupakan doa dan pengharapan orang tua akan kebaikan anaknya. Orang tualah yang paling berpotensi membentuk anak sesuai dengan apa yang diinginkan orang tua.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Artinya : “setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah”
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Artinya, setiap anak adalah baik. Selanjutnya tergantung kepada orang tua yang memilih apakah akan memupuk potensi baik yang dimiliki anak atau memilih mengalihkan potensi baik itu kepada keburukan.
Pengirim :
Hayana
Mahasiswa Semester 3 Jurusan Psikologi Islam UIN Imam Bonjol Padang
Email : yana190618@gmail.com
Berangkat dari persepsi orang tua, tidak jarang orang tua tersebut melakukan dua hal yang akan berpengaruh kepada perilaku anak, diantaranya, membandingkan dan memaksa. Orang tua sering membandingkan anak yang satu dengan anak lain yang menurut mereka lebih baik.
Bisa dibayangkan, seorang anak yang selalu dibandingkan dengan yang lain akan merasa tidak diterima dan tidak bahagia, sehingga anak akan mencari tempat lain yang bisa menerima mereka dan mencari sumber kebahagiaan lain.
Cenderung mereka akan mencari hal yang berbahaya demi mendapatkan sebuah kebahagiaan. Begitu juga halnya dengan pemaksaan orang tua kepada anak. Orang tua sering memaksa anak untuk melakukan apa yang diinginkan orang tua tanpa peduli akan apa yang diinginkan anak. Tidak peduli potensi yang dimiliki anak. Yang orang tua tahu hanyalah bagaimana anak melakukan dan memenuhi keinginan orang tua. Ini membuat anak akan protes dan memberontak dengan melakukan kenakalan dan penyimpangan perilaku.
Seperti pada kasus seorang remaja di Tenessee (AS) PADA Maret 2005, tiba-tiba menembak sampai mati supir bis sekolahnya setelah supir itu menyuruhnya turun dari bis gara-gara si remaja merokok dalam bis. Kata tetangganya remaja itu selalu patuh kepada oaring tuanya (Sarwono, 2018: 279). Ketika anak terpaksa melakukan segala yang diinginkan orang tua, anak akan melampiaskan dengan kenakalan di luar rumah demi mendapatkan kepuasan.
Paragraf di atas menunjukkan bahwa persepsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku. Persepsi itu sendiri adalah proses di mana kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan (Pieter, et al., 2011:24). Ketika persepsi yang terbentuk adalah positif, maka pemilihan bahasa dan cara komunikasi juga akan positif dan terwujud dalam perilaku yang positif. Orang tua yang selalu berpersepsi positif akan melabeli anaknya dengan label positif.
Jika anak mendengar label positif tentang dirinya, anak akan berusaha membuktikan bahwa apa yang dilabelkan atas dirinya adalah benar. “kamu anak yang pintar, nak”. Besar kemungkinan anak untuk benar-benar berusaha menjadi anak yang pintar.
Begitupun sebaliknya, ketika yang terbentuk adalah persepsi negatif, maka pemilihan bahasa dan cara komunikasi juga akan negatif dan terwujud dalam perilaku yang negatif. Label negatif pada anak, membuatnya merasa tidak dipecayai untuk melakukan hal positif. Anak merasa perilaku positif hanyalah hal sia-sia dan tidak akan dihargai. Seberapa keras usahanya untuk berperilaku positif, baginya label negatif akan tetap disematkan kepadanya. Ini membuat anak semakin melakukan hal negatif.
Ada pendapat mengatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal. Di Indonesia, banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasa-basi dengan tamunya, sehingga ketika anaknya muncul di ruang tamu, ia mengatakan pada tamunya, “ini loh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakalnya bukan mian”. Kalau terlalu sering anak diberi label seperti ini, maka ia jadi betul-betul nakal (Sarwono, 2018:256)
Begitu pentingnya peran orang tua dalam pembentukan perilaku anak. Dimulai dari bagaimana persepsi orang tua terhadap anak yang berpengaruh kepada label yang diberikan. Label positif akan membuat anak berperilaku positif, dan label negatif akan mendorong anak berperilaku sesuai dengan label negatif yang diberikan. Seharusnya orang tua selalu memberi label positif dan menghindari label negatif kepada anak agar perilaku yang ditampilkan anak juga positif.
Orang tua bisa memulai dengan memberi nama yang baik kepada anak dan memanggil anak dengan sebutan-sebutan baik yang merupakan doa dan pengharapan orang tua akan kebaikan anaknya. Orang tualah yang paling berpotensi membentuk anak sesuai dengan apa yang diinginkan orang tua.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Artinya : “setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah”
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Artinya, setiap anak adalah baik. Selanjutnya tergantung kepada orang tua yang memilih apakah akan memupuk potensi baik yang dimiliki anak atau memilih mengalihkan potensi baik itu kepada keburukan.
Pengirim :
Hayana
Mahasiswa Semester 3 Jurusan Psikologi Islam UIN Imam Bonjol Padang
Email : yana190618@gmail.com