HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Orang Aceh Baik dan Ramah-ramah, Pengakuan Mahasiswi Asal Jepang

Lentera 24.com | BANDA ACEH -- NATSUKO MIZUTSNI, mahasiswi dari Nagoya Jepang, sedang ikut program Darmasiswa di UIN Ar-Raniry, melaporkan ...

Lentera24.com | BANDA ACEH -- NATSUKO MIZUTSNI, mahasiswi dari Nagoya Jepang, sedang ikut program Darmasiswa di UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Banda Aceh.


Foto : Serambi
NAMA saya Natsuko Mizutani, umur 23 tahun, berasal dari Nagoya, Jepang.

Saat ini saya ikut beasiswa Darmasiswa Pemerintah Indonesia di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.

Sebelumnya tahun 2016/2017 saya ikut pertukaran mahasiswa di Universitas Almuslim (Umuslim) Matangglumpang Dua, Kabupaten Bireuen, selama dua semester.

Saya tahu Aceh ketika ikut study tour dengan rombongan mahasiswa Jepang ke Umuslim tahun 2015.

Sepulang dari sana saya suka Aceh, ingin belajar budaya Aceh dan bahasa Indonesia.

Kekaguman saya terhadap Aceh akhirnya terwujud, karena adanya muhibah seni Umuslim mewakili Indonesia ke Jepang.

Saat itu dilakukan perjanjian kerja sama (MoU) antara kampus tempat saya kuliah, Nagoya Gakuin University (NGU) Jepang dengan Umuslim yang ditandatangani Rektor Umuslim, Dr Amiruddin Idris SE, MSi dan President Nagoya Gakuin University (NGU), Prof Hisao Kibune.

Setelah adanya kerja sama tersebut, tahun 2016 saya ikut pertukaran mahasiswa di Umuslim.

Kami dua orang belajar di Umuslim selama dua semester, kemudian saya pulang ke Jepang dan terkenang-kenang karena telanjur jatuh cinta pada Aceh.

Saya ingin segera kembali ke Aceh lagi. Keinginan itu terwujud. Tahun 2018 kebetulan ada Program Beasiswa Darmasiswa dari Pemerintah Indonesia di UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Lalu saya ikut tes dan lulus, sehingga pada September 2018 saya kembali lagi ke Aceh dan belajar di UIN Ar-Raniry selama sepuluh bulan dan bulan Juli ini berakhir.

Jujur saja, sebelum tinggal di Aceh, saya sedikit takut terhadap Aceh dan Islam, karena di Jepang imej Islam sedikit tidak bagus.

Saya khawatir tinggal di Aceh karena tidak banyak orang asing di sini.

Tapi setelah tinggal di sini, saya terkejut karena sangat beda dengan yang saya dengar.

Aceh malah sangat menyenangkan bagi saya. Orang Aceh baik dan ramah-ramah.

Perbedaan yang paling saya rasakan antara Aceh dengan Nagoya adalah di Aceh tak ada kereta api sebagai moda transportasi umum.

Selama di Aceh kalau ingin ke mana-mana saya naik ojek yang disebut ‘Abang RBT’ atau sesekali saya minta diantar teman atau ibu angkat.

Saya juga sangat kagum pada kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Di Jepang juga ada muslim dan masjid, tetapi tidak ada suara azan dan tidak banyak masjid besar.

Di Jepang saya tidak biasa mendengar azan. Selama di Acehlah saya sering bangun cepat karena mendengar suara azan subuh, baik saat tinggal di rumah Ibu Chairul Bariah di Matangglumpang Dua maupun saat mondok di Asrama UIN Ar-Raniry saat ini.

Di Jepang makanan kami biasanya tidak pedas. Tapi makanan Aceh rata-rata pedas.

Sewaktu saya baru tiba di Aceh, saya tidak lancar berbahasa Indonesia, tetapi saya sudah bisa bilang “Ini pedas?” dan “Jangan pedas ya.”

Kedua kalimat pendek ini sangat penting bagi saya selama tinggal di Aceh. Kalau saya membeli nasi, cuma kata itu yang saya hafal.

Saya tertarik pda Islam dan saya berpuasa di sini. Pertama kali saya tidak mengerti kenapa orang muslim puasa sampai satu bulan? Puasa itu untuk apa?

Saya heran kenapa teman-teman di Aceh sering bilang tidak sabar rasanya menunggu tibanya Ramadhan.

Waktu pertama kali ikut Ramadhan tahun 2017, saya tinggal di rumah Bu Chairul Bariah, Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Umuslim Bireuen.

Beliaulah yang menjadi “okaasan” atau ibu angkat saya selama di Aceh.

Beliau banyak mengajari saya tata cara berpuasa. Awalnya sulit, tapi lama-lama saya sudah terbiasa dengan puasa.

Saat puasa, momen yang paling saya tunggu-tunggu adalah waktu berbuka, karena pasti banyak hidangan yang disajikan di meja makan.

Saya pun kadang bolak-balik ke meja makan. Tak sabar rasanya menuggu beduk berbunyi. Berbuka puasa bersama keluarga Bu Chairul rasanya menyenangkan sekali.

Ramadhan 2017, perkuliahan di Umuslim libur, sehingga tak mejadi kendala bagi saya berpuasa karena tidak ke mana-mana.

Tetapi Ramadhan kali ini (2019) saya kuliah di UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Dalam Ramadhan pun tetap kuliah, sehingga sulit bagi saya menjalani puasa. Terkadang ingin minum karena haus.

Tahun 2019 udara di Aceh panas sekali, berbeda dengan tahun 2017, hal ini menjadi salah satu kendala saat saya berpuasa, karena saya tak dapat menahan haus dan konsentrasi belajar saya terganggu.

Tapi kalau menahan lapar bagi saya tak masalah, cuma haus yang saya tidak tahan.

Saya juga sering menghadiri undangan buka puasa bersama yang dibuat teman-teman kuliah, tapi kalau lagi sakit saya tak puasa. Juga tak sanggup menghadiri undangan berbuka puasa.

Selama tinggal di Aceh, ada juga pengalaman yang tidak menyenangkan.

Misalnya, ada cowok yang usil dan menganggu saya, tetapi lebih banyak yang menyenangkan dan membahagiakan, karena orang Aceh itu baik dan ramah-ramah. Apalagi saya sudah dua kali ikut Lebaran Idulfitri di rumah Ibu Chairul Bariah di Matangglumpang Dua.

Pada malam Lebaran saya memasukkan kue ke dalam toples. Ibu angkat memperlakukan saya seperti anggota keluarga lainnya.

Untuk saya dijahit kan baju seragam keluarga, saya ikut berziarah ke makam orang tua ibu dan ayah angkat saya.

Kemudian, saya juga bersilaturahmi ke rumah tetangga, bahkan ikut open house pada hari kedua Lebaran ke rumah Rektor Umuslim, Bapak Amiruddin Idris.

Kemudian saya bertamu ke tempat saudara ibu dan ayah dari ibu angkat saya.

Hebatnya lagi saya juga dapat THR dari beliau. Kalau di negara saya, kami hanya dapat salam tempel pada saat tahun baru saja.

Di sini saya sangat senang, semua tetangga yang saya kunjungi sangat baik dan ramah saat menyambut saya.

Saya juga dibawa bertamu ke tempat keluarga Bu Chairul di Takengon sambil menikmati alam dan tempat wisata yang sangat menakjubkan.

Alamnya sejuk dan indah sekali.

Di Bireuen saya juga pernah pergi ke monumen perang antara Aceh dan tentara Jepang, yakni di Krueng Panjoe.

Saya juga pergi ke gua Jepang di Kota Lhokseumawe. Saat berada di Banda Aceh, saya juga tamasya ke Lampuuk, Lhoknga, bahkan menyeberang ke Sabang.

Saat pergi kuliah di Umuslim dan UIN Ar-Raniry, saya pernah ditegur seseorang sambil marah, “Kenapa tidak pakai jilbab?”

Saat itu saya diam saja tak tahu mau jawab apa. Saya merasa sedih, tetapi saya tahu 99% orang Aceh baik.

Setelah mereka tahu saya bukan Islam, malah mereka sangat baik, menerima saya dan mau mengajari saya tentang Islam dan budaya Aceh.

Pada Juli nanti, saya harus kembali ke Jepang, tapi saya tidak pernah melupakan Aceh, karena telah menjadi kampung kedua saya.

Suatu saat nanti saya pasti kembali lagi ke sini.

Terima kasih untuk Rektor Umuslim Bapak Amiruddin Idris dan istrinya, orang tua angkat saya, Bu Chairul, dosen, karyawan, teman-teman baik di Umuslim maupun di UIN Ar-Raniry, juga orang tua teman saya yang telah memperlakukan saya seperti anak sendiri.

Semuanya sangat baik. Kalau saya jalan di kampung banyak orang senyum dan memanggil nama saya, mulai orang tua sampai anak-anak.

Mereka tampaknya sangat senang kalau berjumpa saya.

Waktu tinggal di Matangglumpang pun saya pernah dikasih kado ulang tahun oleh anak-anak, yaitu Dek Zahwa Aqilla Riva, umurnya baru 12 tahun, juga Dek Aulia Azwir.

Ini sungguh pengalaman yang tidak bisa saya lupakan.

Saya sudah lama tidak berjumpa dengan orang tua kandung saya di Jepang, tetapi karena orang tua teman-teman saya di Aceh sangat baik, memperlakukan saya seperti anak sendiri, menampung saya menginap di rumahnya--baik di Matang maupun di Banda Aceh--saya serasa punya keluarga kandung di sini.

Mereka juga mengajari saya bahasa Aceh, memasak masakan Aceh.

Saya tak bisa makan pedas, tetapi suka masakan Aceh. Terima kasih semua masyarakat Aceh yang telah mengajari saya tentang budaya, bahasa, dan agama Islam.

Aceh sangat indah. Selama saya di Aceh banyak tempat wisata sudah saya kunjungi, misalnya di Takengon, Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Bireuen, dan Lhokseumawe.

Saya akan cerita dan promosikan Aceh kepada teman-teman di Jepang, apalagi bulan Juni ini datang satu rombongan mahasiswa Jepang ke Kampus Umuslim Bireuen.

Terima kasih Aceh, masyarakatnya baik dan ramah-ramah. Selamat tinggal Aceh yang indah. Sayonara Aceh... sampai jumpa lagi. [] SERAMBI