Lentera 24.com | GAYA HIDUP -- Entah dari mana asal muasalnya, tiba-tiba saja kata Pelakor atau perebut lelaki orang menjadi tren di media s...
Lentera24.com | GAYA HIDUP -- Entah dari mana asal muasalnya, tiba-tiba saja kata Pelakor atau perebut lelaki orang menjadi tren di media sosial.
Mungkin saja kata-kata itu merebak dan terus digunakan sejak video pesohor Jennifer Dunn yang sedang dilabrak oleh putri dari lelaki yang berselingkuh dengannya. Warganet pun menyebutnya sebagai pelakor
Setelah peristiwa tersebut, video serupa banyak bermunculan, tidak hanya pesohor yang jadi sorotan publik, orang biasa juga ikut memvideokan aksi labrak-melabrak sang pelakor, video itu diviralkan lewat media sosial dan berujung hujatan dan cacian dari warganet.
Seakan-akan tindakan tersebut adalah hukuman yang pantas bagi perempuan yang menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan.
Label pelakor kemudian disandangkan kepada perempuan itu, seolah laki-laki yang terlibat dalah hubungan tersebut bebas dari dosa.
Bagai peristiwa yang pantas dikonsumsi oleh publik, media massa konvensional juga ikut menyuguhkan berbagai macam cerita serta penyebutan pelakor dalam menulis kejadian itu.
Peneliti bidang kajian gender Sabilla Tri Ananda mengatakan melabeli perempuan dengan sebutan pelakor termasuk bentuk kekerasan verbal dan misogini. Misogini adalah rasa benci atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan.
Istilah 'pelakor' menjadi bias, seakan-akan lelaki yang diambil oleh orang lain adalah pasif, sementara perempuan menjadi pelaku aktif dalam perselingkuan, padahal selingkuh dapat terjadi karena dua belah pihak.
"Perempuan kerap disalahkan dalam sebuah perselingkuhan, jika istri berselingkuh maka perempuan akan disalahkan, jika suami berselingkuh maka orang ketiga yaitu perempuan juga akan disalahkan.
Mirisnya perundungan dengan menyebut perempuan orang ketiga dalam suatu hubungan sebagai "pelakor" yang marak di media sosial kerap dilakukan oleh perempuan juga.
Bahkan perundungan tersebut juga sampai ke dunia nyata, misalnya kasus pengiriman karangan bunga yang isinya hujatan yang dialamatkan ke kantor perempuang orang ketiga tersebut.
Menurut dia, hal tersebut dapat terjadi karena perempuan yang selama ini "terjajah" dalam budaya patriarki ternyata ikut melanggengkan nilai patriarki tersebut dengan menilai, mengopresi dan menindas perempuan lain.
Perempuan yang selama ini menjadi objek penindasan dalam dunia maskulin, mencoba berdiri sebagai subjek dengan mengadopsi nilai maskulin dan mkelakukan kekerasan terhadap perempuan lain.
"Jadi terjadi peniruan oleh kelompok terjajah (dalam hal ini perempuan) terhadap kebiasaan, perilaku, ide dari kelompok penjajah (dalam hal ini laki-laki). Kemudian kelompok terjajah tersebut mempraktikan kebiasaan tersebut ke sesama kelompoknya," kata peneliti lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tersebut. [] OKEZONE.COM
Foto : Okezone.com |
Setelah peristiwa tersebut, video serupa banyak bermunculan, tidak hanya pesohor yang jadi sorotan publik, orang biasa juga ikut memvideokan aksi labrak-melabrak sang pelakor, video itu diviralkan lewat media sosial dan berujung hujatan dan cacian dari warganet.
Seakan-akan tindakan tersebut adalah hukuman yang pantas bagi perempuan yang menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan.
Label pelakor kemudian disandangkan kepada perempuan itu, seolah laki-laki yang terlibat dalah hubungan tersebut bebas dari dosa.
Bagai peristiwa yang pantas dikonsumsi oleh publik, media massa konvensional juga ikut menyuguhkan berbagai macam cerita serta penyebutan pelakor dalam menulis kejadian itu.
Peneliti bidang kajian gender Sabilla Tri Ananda mengatakan melabeli perempuan dengan sebutan pelakor termasuk bentuk kekerasan verbal dan misogini. Misogini adalah rasa benci atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan.
Istilah 'pelakor' menjadi bias, seakan-akan lelaki yang diambil oleh orang lain adalah pasif, sementara perempuan menjadi pelaku aktif dalam perselingkuan, padahal selingkuh dapat terjadi karena dua belah pihak.
"Perempuan kerap disalahkan dalam sebuah perselingkuhan, jika istri berselingkuh maka perempuan akan disalahkan, jika suami berselingkuh maka orang ketiga yaitu perempuan juga akan disalahkan.
Mirisnya perundungan dengan menyebut perempuan orang ketiga dalam suatu hubungan sebagai "pelakor" yang marak di media sosial kerap dilakukan oleh perempuan juga.
Bahkan perundungan tersebut juga sampai ke dunia nyata, misalnya kasus pengiriman karangan bunga yang isinya hujatan yang dialamatkan ke kantor perempuang orang ketiga tersebut.
Menurut dia, hal tersebut dapat terjadi karena perempuan yang selama ini "terjajah" dalam budaya patriarki ternyata ikut melanggengkan nilai patriarki tersebut dengan menilai, mengopresi dan menindas perempuan lain.
Perempuan yang selama ini menjadi objek penindasan dalam dunia maskulin, mencoba berdiri sebagai subjek dengan mengadopsi nilai maskulin dan mkelakukan kekerasan terhadap perempuan lain.
"Jadi terjadi peniruan oleh kelompok terjajah (dalam hal ini perempuan) terhadap kebiasaan, perilaku, ide dari kelompok penjajah (dalam hal ini laki-laki). Kemudian kelompok terjajah tersebut mempraktikan kebiasaan tersebut ke sesama kelompoknya," kata peneliti lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tersebut. [] OKEZONE.COM