HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Indonesia Negeri Tropis, Tapi Krisis Air Bersih di Kawasan Pesisir Terjadi?

Lentera 24.com | JAKARTA -- Ketersediaan air bersih di kawasan pesisir seperti wilayah Jakarta Utara, dari waktu ke waktu menjadi permasala...

Lentera24.com | JAKARTA -- Ketersediaan air bersih di kawasan pesisir seperti wilayah Jakarta Utara, dari waktu ke waktu menjadi permasalahan yang belum terpecahkan. Warga yang didominasi oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah, dipaksa untuk menentukan pilihan dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Pilihan tersebut, yaitu dengan membuat sumur air tanah atau membeli dari perusahaan daerah air minum (PDAM).

Foto : Mongabay.co.id
Pilihan tersebut, bagi warga miskin dan ekonomi menengah ke bawah, bukanlah pilihan yang mudah. Mengingat, jika menggali sumur air tanah, warga harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Sementara, jika membeli dari PDAM, biaya berlangganan setiap bulan juga bisa dibilang tidak murah. Oleh itu, bisa dipastikan, rerata warga memilih membangun sumur karena biayanya hanya sekali saja.

Tetapi, menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan, pilihan membuat sumur air tanah bukanlah pilihan yang baik, walau bagi masyarakat itu dinilai lebih murah. Mengambil air dari sumur, jika dilakukan terus menerus, itu juga akan mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah.

“Permasalahan air bersih di Jakarta Utara ini memang kompleks. Harus ada solusi yang tepat mengatasinya. Warga miskin tetap mendapatkan hak air bersih dan juga bagaimana permukaan tanah tidak terus turun,” jelasnya di Jakarta, Senin (19/3/2018).

Menurutnya, selain masalah air bersih, permasalahan lain di Jakarta saat ini adalah masih rendahnya penanganan air limbah yang hanya mencakup 2 persen dari seluruh limbah yang ada di Jakarta. Untuk itu, perlu kebijakan strategis dan sinergis antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan publik untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem di pesisir Jakarta.

“Ancaman kerusakan eksosistim pesisir di Jakarta makin mengkhawatirkan dan mengganggu penyediaan air bersih bagi warga. Tekanan terhadap kondisi pesisir disebabkan oleh aktvitas pembangunan itu sendiri,” jelasnya.

Abdi menerangkan, diantara ancaman yang terus ada adalah masih berlangsungnya praktik ocean sprawl seperti pembangunan pelabuhan New Tanjung Priok dan reklamasi Teluk Jakarta. Contoh tersebut bisa mengubah habitat laut menjadi ruang baru merupakan salah satu ancaman ekosistem Jakarta.

Dengan kata lain, Abdi Suhufan menyebut, ada kontribusi yang hampir sama antara masyarakat yang memerlukan air bersih dengan pembangunan yang difasilitasi negara secara massif. Kedua kontribusi itu, secara nyata sudah mempercepat proses kerusakan ekosistem yang ada di sekitar Teluk Jakarta.

Desa Pesisir

Di sisi lain, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoal tentang keberadaan desa pesisir di seluruh Indonesia yang jumlahnya mencapai 12.827 desa. Dari jumlah tersebut, desa yang sudah mendapatkan akses air bersih untuk kebutuhan sanitasi baru mencapai 66,54 persen. Sementara, sisanya hingga saat ini masih belum memiliki akses air bersih.

“Padahal di Indonesia ini air melimpah dan itu diakui oleh dunia internasional. Nyatanya, air yang melimpah ini tidak bisa dinikmati oleh masyarakat pesisir secara bebas,” tutur Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, Kamis (22/3/2018).

Untuk memenuhi kebutuhan air minum, dia menyebut, desa-desa di pesisir mengambil air dari beragam sumber, diantaranya: air kemasan (1.106 desa), air tadah hujan (1.002 desa), mata air (2.761 desa), sumur (4.703 desa), sungai/kolam (374 desa), dan PAM (1.330).

Belum adanya akses air bersih di pesisir, menurut Susan, dipengaruhi juga oleh proyek reklamasi pesisir yang jumlahnya ada di 37 titik di seluruh Indonesia. Proyek seperti reklamasi di wilayah pesisir, dari data yang dikumpulkan KIARA, terbukti sudah menghancurkan kawasan mangrove yang berfungsi sebagai penjaga intrusi air laut ke dalam air tanah.

Contoh paling mudah diingat, kata Susan, adalah proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang sudah menghancurkan kawasan hutan mangrove di sana dan menyisakan hanya 25 hektare saja dari total 1.145 ha yang ada sebelumnya. Kerusakan mangrove tersebut, sambung dia, mengakibatkan air laut bisa dengan mudah masuk ke dalam tanah dan bercampur dengan air tanah.

“Akibatnya, sumber air di kawasan Teluk Jakarta sudah rusak dan tidak layak digunakan, baik untuk kebutuhan sehari-hari apalagi untuk air minum. Hal serupa dapat ditemukan di kawasan pesisir lain di Indonesia yang telah direklamasi,” paparnya.

Bersamaan dengan itu, sumber daya air tanah di Jakarta juga terus mengalami penurunan dalam jumlah yang sangat massif. Hal ini disebabkan oleh pengambilan air tanah secara besar-besaran oleh gedung-gedung pencakar langit. Akibatnya, Jakarta mengalami penurunan muka tanah setinggi 11,5 centimeter setiap tahunnya.

Tak hanya pesisir Jakarta, Susan menambahkan, sumber daya air di kawasan pulau-pulau kecil pun menghadapi ancaman yang sangat serius. Dengan kawasan seluas 4,2 juta ha, hutan di pulau-pulau kecil di Indonesia harus berhadapan dengan proyek ekstraktif dan eksploitatif secara besar-besaran. Luasan hutan di pulau-pulau kecil terdiri dari 55 persen kawasan konsesi tambang, 16 persen perkebunan sawit, 17 persen hak pengusahaan hutan (HPH), dan 10 persen hutan tanam industri (HTI).

“Padahal, luasan hutan di pulau-pulau kecil ini memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai penyimpanan cadangan air, penjaga intrusi air laut, serta penjaga keseimbangan ekologi pulau-pulau kecil,” tandas dia.

Pemanfaatan Air

Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rachmat Fajar Lubis pada Kamis (22/3/2018) mengatakan, persoalan air di Indonesia sampai kapanpun akan terus ada selama Pemerintah dan masyarakat tidak mau belajar untuk memanfaatkan sumber-sumber air yang ada. Jika hanya mengandalkan sumber air tanah saja, itu juga akan ada batasnya.

“Air itu ada yang dari tanah dan ada dari hujan. Tapi, 80 persen air yang ada di bumi ini adalah berasal dari hujan. Jadi sudah jelas, air tanah sangat terbatas. Tapi, air hujan yang melimpah juga jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka akan sia-sia,” ungkapnya.

Pemanfaatan air dari berbagai sumber, menurut Rachmat, mutlak harus dilakukan karena saat ini sejumlah kota besar di Indonesia mulai menghadapi persoalan air bersih. Dia mencontohkan, masalah tersebut kini sedang dihadapi oleh DKI Jakarta, ibu kota Negara yang sangat menggantungkan pasokan air bersihnya dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat.

Di DKI Jakarta, menurut Rachmat, persoalan air semakin bertambah pelik karena permukaan tanah di saat bersamaan juga terus mengalami penurunan. Persoalan tersebut bisa terjadi, karena penduduk di Jakarta juga mengeksplorasi air tanah yang jumlahnya sangat terbatas. Sementara, posisi Jakarta juga berada di pinggir Teluk Jakarta yang sudah mengalami kerusakan.

Untuk itu, Rachmat menjabarkan, agar Jakarta dan kota lain di Indonesia bisa memenuhi kebutuhan airnya dengan baik tanpa menimbulkan masalah baru, maka segera manfaatkan sumber air yang berasal dari waduk, danau, dan sungai. Ketiga sumber air tersebut, dipastikan mendapatkan pasokan air saat terjadi hujan.

“Selain ketiga sumber itu, kebutuhan air bersih juga bisa dimanfaatkan dari air bekas (used water) yang prosesnya harus melalui teknologi dulu. Tetapi, teknologi tersebut juga murah, jadi bisa diadopsi oleh kota mana saja,” jelasnya.

Untuk DKI Jakarta saja, Rachmat menyebutkan, kebutuhan air bersih pada 2030 diperkirakan mencapai 1.280.770 meter kubik. Namun, di saat yang sama, Jakarta juga bisa menghasilkan sumber air hingga mencapai jumlah 2.340.916 meter kubik. Dengan fakta tersebut, kebutuhan air bersih Jakarta sebenarnya bisa disuplai dari sumber air yang ada di dalam kota.

Foto : Mongabay.co.id
Adapun, teknologi yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan sumber air yang ada, menurut Kepala Balai Pengembangan Instrumental LIPI Anto Tri Sugiarto, diantaranya adalah pemanfaatan teknologi nano bubble untuk pengolahan air limbah dan peningkatan kualitas air. Teknologi tersebut, adalah dengan memasukkan gelembung oksigen berukuran nano ke dalam sumber air yang akan diolah.

“Dengan oksigen lebih banyak di dalam air, maka kualitas ekosistem juga akan meningkat. Tanah juga menjadi lebih baik lagi kualitasnya. Teknologi ini bisa dipakai di waduk, danau, sungai, dan air limbah, juga di Teluk Jakarta yang sudah mengalami kerusakan parah,” jelasnya.

Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cynthia Henny menambahkan, dalam mengelola sumber air dari waduk, sungai, dan danau, perlu dilakukan cara khusus untuk menghasilkan kualitas air yang layak pakai dan minum. Cara tersebut, adalah dengan mempelajari topografi sungai, waduk, dan danau yang ada.

Setelah itu, kata Cynthia, sumber air tersebut bisa diberikan perawatan terlebih dahulu melalui teknologi wetland yang bisa ditempatkan di pinggir danau/waduk/sungai atau ditempatkan dengan cara terapung. Fungsi dari wetland, adalah untuk menyaring sampah dan berbagai kotoran yang ada di sungai, dan membiarkan bakteri bekerja untuk membersihkan kotoran di bawah air.

“Pendekatan yang dilakukan adalah bagaimana mengembalikan ekosistem menjadi sehat lagi. Pada akhirnya, air pun kualitasnya akan kembali baik. Ini bisa diterapkan di mana saja, termasuk di Jakarta. Selain itu, teknologi wetland juga biayanya murah. Jadi pasti semua daerah bisa mengadopsinya,” tandasnya. [] MONGABAY.CO.ID