Lentera 24.com , JAKARTA -- Saya juga pernah mengalami hal yang sama seperti Saudara Buni Yani, dijatuhi hukuman oleh Rezim dan Mafia Peradi...
Lentera24.com, JAKARTA -- Saya juga pernah mengalami hal yang sama seperti Saudara Buni Yani, dijatuhi hukuman oleh Rezim dan Mafia Peradilan. Bukti yang memberatkan saya ternyata hasil rekayasa. Ujar Sri Bintang Pamungkas (SBP) kepada media ini via WhatsApp nya Rabu (15/11) petang.
Lanjutnya, bukti berupa pernyataan tertulis seorang saksi yang dikirim dari Jerman sesuai petunjuk JPU lalu ditambahi Meterai di Jakarta, dipalsukan tandatangannya di atas Meterai, lalu Majelis Hakim menggunakannya sebagai bukti yang memberatkan. Saya dihukum 2 tahun 10 bulan. Itu terjadi pada Mei 1996, katanya.
Kebetulan saya tidak ditahan. Mungkin Rezim Soeharto khawatir dunia marah, karena TKP-nya terjadi di Jerman. Ketika Vonis akan jatuh, saya juga mengalami kekhawatiran segera masuk Cipinang. Pembela saya, Luhut Pangaribuan, meyakinkan saya berulangkali dengan mengatakan : "Kalau Pak SBP tidak ditahan waktu diadili, maka putusan juga tidak akan memutus pak SBP langsaung masuk Cipinang. Tidak ada putusan langsung masuk itu! Kalau Pak SBP ditahan, maka Pak SBP tetap ditahan", Saya menjadi tenang, urainya.
Yang menjadi kerisauan saya adalah Deklarasi PUDI, Partai Uni Demokrasi Indonesia, yang saya maksud untuk mengganggu Soeharto. Kalau saya langsung ditahan, PUDI akan saya deklarasikan segera sesudah vonis diucapkan di Pengadilan.
Kalau saya tidak segera ditahan, masih ada waktu untuk Deklarasi di tempat lain, yaitu di YLBHI, dengan lebih santai. Ternyata Bung Pangaribuan benar, saya tidak langsung ditahan. Dan segera dalam kondisi bebas melanjutkan perlawanan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Apa yang terjadi pada Buni Yani adalah persis seperti yang disampaikan oleh Luhut Pangaribuan. Tentunya juga Bang Adnan Buyung Nasution dan Mohamad Assegaf, dua Pengacaraku yang lain. Tetapi tidak begitu dengan Basuki Purnama "Ahok".
Putusan Majelis Hakim yang mengadili Ahok sungguh istimewa. Majelis tahu dan paham sekali, bahwa Ahok memang seharusnya sudah ditahan pada saat menjadi tersangka, seperti tersangka-tersangka Penghinaan Agama (blasphemy) lainnya, tidak ada yang tidak ditahan. Karena itu, ketika Vonis untuk Ahok jatuh, Ahok segera masuk tahanan sebagai narapidana.
Kasus saya diputus sama di Pengadilan Tinggi, lalu Kasasi saya pun ditolak MA. Sehingga saya harus masuk Cipinang Mei 1997. Saya dibebaskan pada Mei 1998, sesudah Soeharto jatuh, sebelum Vonis saya jalani penuh, baru kurang dari separuhnya.
Tahun 2000 saya ajukan Peninjauan Kembali. Di sidang PK, seorang Dokter Ahli forensik berpendapat, bahwa Saksi dari Jerman yang direkayasa itu tidak pernah disumpah jadi keterangannya tidak bisa dipakai sebagai bukti. Akhirnya saya dinyatakan tidak terbukti secara meyakinkan menghina presiden. Pada saat yang hampir bersamaan, seluruh Pasal Penghinaan Kepada Presiden/Wakil Presiden dibatalkan oleh MK, juga atas prakarsa saya dan kawan-kawan yang menjadi korban.
Karena itu Sdr. Buni Yani tidak perlu berkecil hati. Lambat atau cepat rezim pasti akan tersungkur. Sekarang saatnya menyampaikan banding ke PT. Kalau gagal, ajukan Kasasi ke MK. Kalau gagal lagi, ajukan PK ke MA dengan bukti baru.
Sementara itu para Pengacara juga harus ramai-ramai meminta MK untuk uji materi Pasal-pasal UU ITE, yang diduga menjadi sumber Kriminalisasi terhadap para aktivis, tutup SBP. [] L24-007
Lanjutnya, bukti berupa pernyataan tertulis seorang saksi yang dikirim dari Jerman sesuai petunjuk JPU lalu ditambahi Meterai di Jakarta, dipalsukan tandatangannya di atas Meterai, lalu Majelis Hakim menggunakannya sebagai bukti yang memberatkan. Saya dihukum 2 tahun 10 bulan. Itu terjadi pada Mei 1996, katanya.
Kebetulan saya tidak ditahan. Mungkin Rezim Soeharto khawatir dunia marah, karena TKP-nya terjadi di Jerman. Ketika Vonis akan jatuh, saya juga mengalami kekhawatiran segera masuk Cipinang. Pembela saya, Luhut Pangaribuan, meyakinkan saya berulangkali dengan mengatakan : "Kalau Pak SBP tidak ditahan waktu diadili, maka putusan juga tidak akan memutus pak SBP langsaung masuk Cipinang. Tidak ada putusan langsung masuk itu! Kalau Pak SBP ditahan, maka Pak SBP tetap ditahan", Saya menjadi tenang, urainya.
Yang menjadi kerisauan saya adalah Deklarasi PUDI, Partai Uni Demokrasi Indonesia, yang saya maksud untuk mengganggu Soeharto. Kalau saya langsung ditahan, PUDI akan saya deklarasikan segera sesudah vonis diucapkan di Pengadilan.
Kalau saya tidak segera ditahan, masih ada waktu untuk Deklarasi di tempat lain, yaitu di YLBHI, dengan lebih santai. Ternyata Bung Pangaribuan benar, saya tidak langsung ditahan. Dan segera dalam kondisi bebas melanjutkan perlawanan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Apa yang terjadi pada Buni Yani adalah persis seperti yang disampaikan oleh Luhut Pangaribuan. Tentunya juga Bang Adnan Buyung Nasution dan Mohamad Assegaf, dua Pengacaraku yang lain. Tetapi tidak begitu dengan Basuki Purnama "Ahok".
Putusan Majelis Hakim yang mengadili Ahok sungguh istimewa. Majelis tahu dan paham sekali, bahwa Ahok memang seharusnya sudah ditahan pada saat menjadi tersangka, seperti tersangka-tersangka Penghinaan Agama (blasphemy) lainnya, tidak ada yang tidak ditahan. Karena itu, ketika Vonis untuk Ahok jatuh, Ahok segera masuk tahanan sebagai narapidana.
Kasus saya diputus sama di Pengadilan Tinggi, lalu Kasasi saya pun ditolak MA. Sehingga saya harus masuk Cipinang Mei 1997. Saya dibebaskan pada Mei 1998, sesudah Soeharto jatuh, sebelum Vonis saya jalani penuh, baru kurang dari separuhnya.
Tahun 2000 saya ajukan Peninjauan Kembali. Di sidang PK, seorang Dokter Ahli forensik berpendapat, bahwa Saksi dari Jerman yang direkayasa itu tidak pernah disumpah jadi keterangannya tidak bisa dipakai sebagai bukti. Akhirnya saya dinyatakan tidak terbukti secara meyakinkan menghina presiden. Pada saat yang hampir bersamaan, seluruh Pasal Penghinaan Kepada Presiden/Wakil Presiden dibatalkan oleh MK, juga atas prakarsa saya dan kawan-kawan yang menjadi korban.
Karena itu Sdr. Buni Yani tidak perlu berkecil hati. Lambat atau cepat rezim pasti akan tersungkur. Sekarang saatnya menyampaikan banding ke PT. Kalau gagal, ajukan Kasasi ke MK. Kalau gagal lagi, ajukan PK ke MA dengan bukti baru.
Sementara itu para Pengacara juga harus ramai-ramai meminta MK untuk uji materi Pasal-pasal UU ITE, yang diduga menjadi sumber Kriminalisasi terhadap para aktivis, tutup SBP. [] L24-007