HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Empat Kampong di Tamiang Krisis Air

Foto : Ilustrasi/saibumi.com  suara-tamiang.com , ACEH TAMIANG -- Sebanyak empat desa/kampong di Aceh Tamiang, selalu mengalami krisis ...

Foto : Ilustrasi/saibumi.com 
suara-tamiang.com, ACEH TAMIANG -- Sebanyak empat desa/kampong di Aceh Tamiang, selalu mengalami krisis air bersih saat musim kemarau, akibat berubahnya fungsi lahan dari hutan/kawasan penyimpan air, menjadi kebun sawit. 

Perubahan fungjsi lahan ini terjadi sejak tahun 2008 di Kecamatan Tamiang Hulu dan Bandar Pusaka, yang berdampak pada mengeringnya alur yang dulunya menjadi sumber air warga di kecamatan tersebut.

Seperti yang saat ini dialami warga Kampong Wonosari, Kampong Harum Sari, Kampong Bandar Setia (Kecamatan Tamiang Hulu), dan Kampong Jambo Rambong di Kecamatan Bandar Pusaka. 

Tiga kampong (sebutan desa di tamiang) dengan jumlah penduduk sebanyak 1.657 kepala keluarga atau 5.947 jiwa, awal musim kemarau tahun ini sulit mendapat air bersih, baik bersumber dari sumur gali maupun dari alur (sungai kecil) yang melintasi kawasan tersebut.

Tokoh masyarakat Kampong Wonosari, Nano (44), kepada Serambi, Minggu (13/3) mengatakan, sudah hampir sebulan Kampong Wonosari mengalami krisis air. 

Alur yang sebelumnya dialiri air dari hutan sekitar Wonosari, saat ini mengalami kekeringan karena hutan tersebut telah beralih menjadi lahan kebun sawit. Begitu juga dengan air tanah juga tak lagi keluar dari sumur-sumur warga,” katanya.

Selain untuk kebutuhan hidup warga, air untuk menyirami tanaman kebun warga juga tak lagi tersedia. 

Sehingga hasil perkebunan warga setempat seperti karet, dan tanaman lainnya, menurun drastis. “Luas tanaman karet warga di Desa Wonosari mencapai 300 Ha. 

Biasanya kami menghasilkan 15 ton karet dalam 15 hari. Namun sejak mengalami kekeringan sebulan terakhir, hasilnya menurun menjadi 7 ton

Menurut Nano, sebelumnya, keempat kampong ini tidak pernah mengalami kekeringan, karena hutan di sekitar kampong masih mampu menyimpan cadangan air meski di musim kemarau. 

“Namun, sejak hutan yang menjadi daerah resapan air di kawasan ini dijadikan lahan sawit perusahaan swasta pada tahun 2008 lalu, dengan luas 200 hektare, kawasan ini pun terus mengalami kekeringan dan tahun ini kondisinya semakin parah,” ungkapnya.

Sebaliknya, saat musim penghujan, sejumlah kampong di dua kecamatan ini mengalami banjir, akibat tidak ada hutan yang berfungsi untuk menyimpan air.

Kebijakan Pemkab setempat dengan mengalihkan fungsi hutan menjadi kebun sawit yang dilakukan delapan tahun lalu itu, turut membuat pejabat Pemkab saat ini kerepotan. 

Seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tamiang, yang kini harus memasok air bersih hingga puluhan ton setiap harinya ke empat kampong yang mengalami kekeringan, atas desakan warga.

“Sejak Rabu (9/3) sampai Minggu (13/3), kami terpaksa memasok air bersih menggunakan empat mobil tanki, dengan kapasitas 30 ton dalam satu kali jalan,” ujarnya. 

Padahal, jika pemerintah bijak dalam memberi izin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, dengan tidak menghilangkan fungsi hutan sebagai daerah resapan air, ribuan warga di dua kecamatan ini tidak akan mengalami kekeringan parah seperti saat ini. (md/serambinews)