Foto : Ilustrasi/zakatsedekah.com suara-tamiang.com , -- ZAKAT bagi setiap muslim merupakan bentuk pelaksanaan ajaran Islam dalam hal m...
Foto : Ilustrasi/zakatsedekah.com |
Pelaksanaan zakat dapat dilakukan secara pribadi atau melalui lembaga, baik dibentuk pemerintah pusat (sebagai wewenang pusat di bidang agama) atau melalui lembaga zakat lain.
Menurut Pasal 1 (1) UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Ringkasnya pengelolaan zakat mulai dari persiapan hingga penyaluran kepada mustahiq.
Menarik mengkaji bagaimana pengelolaan zakat saat ini, karena atas nama zakat, dana akan sangat mudah didapat, sehingga pemerintah membuat regulasi sendiri tentang pengelolaan zakat.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, menghendaki agar setiap muslim saling berbagi kepada sesama, dengan demikian setiap muslim memperoleh kesejahteraan.
Konsep zakat merupakan bentuk humanisnya Islam terhadap sesama, bahkan perlahan penyaluran zakat berubah dari konsumtif menjadi zakat produktif.
Di Indonesia sendiri pengelolaan zakat diatur dalam UU No.23 Tahun 2011, beberapa pasal di dalamnya juga sudah diuji yaitu terkait pihak yang boleh mengelola zakat.
Dalam hal ini zakat boleh dikelola siapapun walaupun bukan organisasi, syaratnya hanya harus melaporkan pengelolaan zakat pada pihak berwenang, karena pengelolaan zakat juga merupakan ibadah, jika harus dikelola oleh pihak tertentu saja maka hak-hak beribadah telah dilanggar.
Arab Saudi sendiri mengelola zakat di bawah kementerian keuangan yang disebut Maslahat Az-Zakat Wa Ad-Dakhl, atau Departement of Income Tax.
Namun bagi pihak yang telah membayar zakat tidak lagi dikenakan pajak, sehingga tidak menimbulkan pajak ganda bagi pihak tersebut.
Zakat di Arab Saudi masuk dalam pendapatan negara, dan pengelolaanya di bawah perintah raja. Selama 2011, Badan Zakat dan Pajak Arab Saudi berhasil mengumpulkan dana sebesar SR 20 miliar. Dari jumlah itu, SR 10 miliar (setara Rp 25 triliun lebih) di antaranya berasal dari sektor zakat.
Dengan demikian pengelolaan zakat praktis meningkatkan pendapatan, termasuk pendapatan asli daerah (PAD) tentunya.
Zakat sumber PAD
Satu daerah di Indonesia yang menerapkan pajak sebagai sumber PAD adalah Aceh, bahkan zakat termasuk satu sumber PAD.
Ketentuan zakat sebagai PAD mulai diterapkan sejak disahkan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya, dikukuhkan kembali dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Pasal 180 (1) huruf d.
Ketentuan selanjutnya zakat sebagai PAD diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Qanun No.10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Disebutkan bahwa semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh merupakan sumber PAD Aceh yang harus disetor ke Kas Umum Daerah Aceh.
Konsep zakat sebagai satu sumber PAD dibenarkan dengan peraturan di atas, hanya saja kendala utamanya adalah realisasi (baca: penyaluran) terkendala pengesahan APBA yang merupakan agenda rapat tahunan, sedangkan realisasi zakat tidak dapat menunggu konsensi tahunan tersebut.
Melihat zakat dalam balutan birokrasi akan semakin sulit untuk direalisasikan, sehingga menyebabkan zakat menjadi sekarat, karena para asnaf harus menunggu waktu yang lama.
Masukan zakat agar dikelola dalam PAD khusus juga ditolak karena prasa dalam UU hanya mengatakan
“PAD” tidak ada “PAD Khusus”.
Sebenarnya perlu kearifan dan melihat dengan jelas pengelolaan zakat dalam PAD. Sejatinya zakat yang dimasukkan sebagai PAD hanya “numpang lewat”, tanpa substansi yang jelas kemana arah kegunaan zakat tersebut.
Jika zakat sebagai PAD, maka zakat harus digunakan untuk segala keperluan daerah, baik itu belanja wajib, atau biaya birokrasi yang lain.
Kemudian jika zakat (dalam PAD) tetap disalurkan pada mustahiq, maka konsep zakat PAD hanya “numpang nginap” di kas daerah, dan secara substansi tidak ada yang berubah dalam konsep zakat pada umumnya.
Kedua hal di atas hanya masalah penempatan zakat, tanpa mempertimbangkan apa sebenarnya makna PAD itu sendiri.
PAD merupakan pendapatan daerah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerah pada tahun anggaran.
Penghitungan PAD dilakukan satu kali setahun pada rapat pengesahan APBA. Sedangkan zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Sasaran pengelolaan dana PAD dan zakat sebenarnya sudah berbeda, dan jika digabungkan malah menimbulkan beban baru birokrasi, yang sama sekali tidak ada efeknya terhadap pemasukan daerah, karena objek penerima zakat sudah pasti bukan birokrasi.
Bila konsep zakat yang diterapkan di Aceh saat ini merujuk pada konsep pengelolaan zakat Arab Saudi, tentu ada yang perlu diketahui yaitu pengelolaan zakat di Arab Saudi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendapatan negara, dan penggunaannya juga untuk masalah negara seperti konsep pajak pada umumnya.
Kemudian, para pihak yang telah membayar zakat, tidak akan dikenakan pajak guna menghindari pajak ganda.
Terkena pajak ganda
Di Aceh, konsep zakat masih menitik-beratkan pada biaya wajib untuk diberikan pada yang berhak menerima, bukan biaya birokrasi.
Dan pembayar zakat di Aceh masih dikenakan pajak yang lain, sehingga pembayar zakat juga terkena pajak ganda karena harus membayar pajak sebagai bagian dari kewajiban warga negara di samping zakat sebagai kewajiban umat Islam.
Dualisme pemungutan ini menjadi masalah serius, karena akan melahirkan masalah baru di samping masalah zakat birokrasi.
Jika konsep zakat menjadi bagian dari PAD, seharusnya ada mekanisme baru di mana para pihak yang telah membayar zakat bisa menjadi bagian pengurangan membayar pajak.
Kemudian objek realisasi zakat harus jelas, apakah untuk para mustahiq (pada umumnya konsep zakat) atau kegunaan dana zakat dapat diperluas maknanya sebagai bagian dari pendapatan daerah yang dapat digunakan untuk keperluan daerah.
Dengan konsep zakat bagian dari PAD, seharusnya dana zakat dalam tahun berjalan dibagikan kepada mustahiq secara langsung, dan bukan dikumpulkan terlebih dulu baru dibagikan pada tahun berikutnya.
Apabila dana zakat mengendap selama setahun sebagai silfa, ini bisa saja digunakan untuk keperluan lainnya pada tahun berjalan sebelum dana zakat tersebut dibagikan pada tahun berikutnya.
Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme yang mengatur tentang dana zakat sebagai PAD serta mengelolaannya.
Akhirnya, semua konsep yang sudah diberlakukan ini semakin absurd pengelolaan, kegunaan dan tujuannya.
Karena sumber bukan pajak (zakat) dikelola dalam satu neraca dengan pajak sebagai PAD. Nah! (serambinews)
* Dr. Muammar Khaddafi, Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe. Email: muammar.dhafi@gmail.com