Foto : Ilustrasi/tourism.com Oleh Fahmi M. Nasir suara-tamiang.com , -- SEJAK enam tahun lalu, ada dua peristiwa yang bisa kita jadika...
Foto : Ilustrasi/tourism.com |
suara-tamiang.com, -- SEJAK enam tahun lalu, ada dua peristiwa yang bisa kita jadikan sebagai momentum baru pengelolaan wakaf di Aceh.
Pertama, kasus saling klaim kepemilikan tanah Blang Padang di Banda Aceh, antara Pemda Aceh dan Kodam Iskandar Muda.
Saya rasa kasus ini merupakan fenomena gunung es kaburnya status dan beralihnya kepemilikan harta wakaf di Aceh.
Dan, kedua, pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden RI pada 8 Januari 2010 di Jakarta sebagai upaya untuk mendorong perkembangan dan pengelolaan wakaf di Indonesia, yang kemudian diharapkan menjadi satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan umat.
Kedua peristiwa di atas saya rasa merupakan sebuah kesempatan emas yang harus kita manfaatkan untuk menghidupkan kembali budaya wakaf, sekaligus melakukan pembenahan terhadap institusi wakaf di Aceh untuk menapaktilasi kegemilangan wakaf Aceh masa silam seperti Baitul Asyi (1809) di Mekkah, Masjid Melayu Lebuh Aceh (1808) di Pulau Pinang, dan Sekolah Attarbuyah Adiniyah Anlamiyah (1938) di Kampung Aceh, Yan, Kedah, Malaysia.
Langkah strategis
Ada beberapa langkah strategis yang harus diambil sebagai terobosan dalam merevitalisasi lembaga wakaf di Aceh. Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah melakukan survei terhadap seluruh aset wakaf di Aceh.
Hal ini penting untuk mengetahui secara pasti aset-aset wakaf yang ada, mengingat selama ini belum pernah dilakukan sebuah survei yang sistematis terhadap keberadaan harta wakaf tersebut. Kita hanya bisa bertanya-tanya; berapa besar potensi wakaf Aceh?
Apakah mayoritas wakaf di Aceh hanya berupa mesjid, meunasah dan tanah perkuburan yang tentunya tidak memiliki potensi ekonomi yang besar? Surveilah yang akan memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang bentuk-bentuk aset wakaf di Aceh, nilai aset tersebut, pendapatan dari harta wakaf (kalau ada), serta potensi dan kondisi finansial aset wakaf.
Survei ini pula yang akan menjadi cikal bakal pangkalan data (database) harta wakaf di Aceh. Database ini sangat krusial untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan wakaf ke depan.
Tahapan selanjutnya adalah menetapkan daftar prioritas pengembangan aset wakaf berdasarkan hasil studi kelayakan.
Studi kelayakan terhadap aset wakaf yang diyakini memiliki potensi untuk dikembangkan merupakan hal yang sangat penting dan esensial untuk dilakukan.
Studi kelayakan akan memberikan gambaran berapa besarnya dana yang perlu diinvestasikan dalam pengembangan aset wakaf tersebut, berapa biaya operasionalnya dan berapa keuntungan yang diproyeksikan.
Mengingat proyeksi keuntungan merupakan sesuatu yang diharapkan pada masa akan datang, maka studi kelayakan ini harus dilakukan dengan hati-hati.
Lebih baik kiranya terlebih dulu dilakukan “pra-studi kelayakan” dan baru dilakukan studi kelayakan secara penuh jika ternyata aset wakaf tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan dan mendapatkan pemasukan.
Oleh karena itu, sebuah daftar prioritas pengembangan harta wakaf harus dipersiapkan dan disusun berdasarkan kemungkinan memperoleh pendapatan.
Badan wakaf
Langkah yang juga sangat signifikan adalah membentuk Badan Wakaf Aceh (BWA). Selama ini tanggung jawab untuk mengelola dan mengembangkan wakaf di Aceh ada pada Baitul Mal.
Namun karena banyaknya kesibukan dan tanggung jawab lain dalam mengelola dan mengembangkan zakat, maka kita lihat Baitul Mal sepertinya tidak memiliki waktu dan kemauan yang cukup untuk mengelola dan memajukan wakaf di Aceh.
Oleh karena itu, lebih baik memiliki lembaga yang khusus bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan wakaf Aceh.
Bentuk dan struktur BWA bisa saja diadopsi dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) ataupun dari lembaga wakaf lainnya yang sudah terbukti keberhasilannya.
BWI misalnya, memiliki lima divisi yaitu Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat, dan Divisi Penelitian dan Pengembangan Wakaf.
Tentunya struktur BWA bisa disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Namun staf BWA nantinya harus memiliki kapasitas dan skill yang tinggi.
Staf BWA juga haruslah diambil dari berbagai latar belakang dan keahlian yang berbeda serta terdiri dari pakar keuangan, pakar dalam bidang syariah, ekonomi, hukum, manajemen, teknik dan lain-lain.
Salah satu contoh sukses pengelolaan wakaf melalui pembentukan lembaga khusus yang menangani wakaf adalah Singapura.
Di negara tersebut, wewenang terhadap harta wakaf berada pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Untuk mengelola wakaf, MUIS membuat anak perusahaan yang diberi nama Warees (Wakaf Real Estate Singapore).
Warees kemudian menjadi perusahaan yang berupaya memaksimalkan aset wakaf. Warees tidak hanya melakukan pembangunan aset wakaf dalam bentuk fisik, tetapi juga menjadi konsultan manajemen dan bisnis untuk pengembangan aset wakaf di Singapura.
Keberadaan Warees ini meningkatkan aset wakaf di Singapura secara drastis. Pada 1968 hanya 6 aset wakaf yang terdaftar di MUIS, pada 2000 meningkat 100 wakaf di seluruh Singapura.
Kemudian nilai total aset wakaf Singapura ini pada akhir 2006 saja tercatat sebesar 250 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 1,66 triliun.
Hal ini merupakan keberhasilan yang sangat menakjubkan mengingat Warees baru beroperasi pada 2001. Kesuksesan Warees ini saya rasa bisa kita wujudkan di Aceh melalui BWA.
Pembiayaan wakaf
Tahapan lain yang juga sangat penting dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf adalah pembiayaan.
Tentunya kita bertanya darimanakah sumber keuangan untuk mengembangkan aset wakaf secara produktif? Selama ini di Aceh jarang sekali kita lihat bank atau lembaga keuangan lainnya yang membiayai pengembangan harta wakaf.
Hal ini bisa jadi karena persepsi negatif yang muncul terhadap keberadaan harta wakaf maupun karena tidak adanya satu contoh sukses pembiayaan wakaf di Aceh.
Belakangan ini seiring dengan perkembangan dan kesuksesan pengembangan wakaf di berbagai negara, kita dapati adanya berbagai macam model pembiayaan untuk mengembangkan harta wakaf baik berupa wakaf uang, musyarakah, sukuk, ijarah dan lain-lain.
Banyak juga lembaga seperti IBD (Islamic Development Bank), KAPF (Kuwait Awqaf Public Foundation) yang siap mengucurkan dana untuk membiayai pengembangan harta wakaf.
Melihat realitas harta wakaf di Aceh yang mayoritasnya berada dalam kondisi yang menyedihkan dan tidak produktif, serta tidak bisa memberikan kontribusi optimal untuk masyarakat, maka sudah saatnya kita membuka lembaran baru pengelolaan wakaf di Aceh.
Pengembangan wakaf di Aceh harus dilakukan secara profesional, melalui proses perencanaan yang matang dan implementasi yang tepat, dengan kemampuan manajerial yang handal layaknya dunia usaha.
Pengelolaan dan pengembangan harta wakaf di Aceh haruslah dapat mengoptimalkan peluang pembiayaan yang ditawarkan oleh berbagai lembaga dari dalam maupun luar negari.
Model-model pembiayaan tersebut harus bisa kita manfaatkan dalam merevitalisasi lembaga wakaf di Aceh agar bisa menapaktilasi kejayaan wakaf Aceh di masa lalu.
Jika ini bisa kita lakukan, kebangkitan kembali wakaf di Aceh hanya tinggal menunggu waktu dan dengan sendirinya lembaga wakaf akan memainkan peran penting dalam berbagai bidang, seperti pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan serta pendidikan yang pada akhirnya bermuara pada terwujudnya kesejahteraan umat. Semoga! (serambinews)
* Fahmi M. Nasir, peneliti, The Aceh Club Kuala Lumpur dan Mahasiswa S3 pada Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia. Email: fahmi78@gmail.com