Suara-Tamiang.com - Pembalakan liar terus terjadi di Aceh. Sebulan terakhir aparat Kepolisian Daerah Aceh telah menyita ratusan balok ka...
Suara-Tamiang.com - Pembalakan liar terus terjadi di Aceh. Sebulan terakhir aparat
Kepolisian Daerah Aceh telah menyita ratusan balok kayu ilegal dan
mengamankan puluhan pelaku pembalakan liar atau illegal logging.
Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Effendi Isma mengatakan selama 2015 KPHA mencatat kegiatan pembalakan liar dilakukan di 345 titik di 19 kabupaten/kota di Aceh.
Sebanyak 245 kasus pembalakan terjadi di area penggunaan lain, sementara 95 titik berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Aceh. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan 2014 yang terjadi di 69 titik.
Dalam sejumlah kasus, Effendi menyebutkan pelaku pembalakan liar juga melibatkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan seperti di Tangse, Pidie, dan Aceh Besar. Sementara di daerah Aceh Tamiang, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara yang hutannya jauh dari pemukiman warga, ada bantuan dari orang-orang luar.
"Ada orang khusus yang dibayar," kata dia, saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat (26/2/2016).
Dia menyebutkan, dalam kasus pembalakan liar, keuntungan yang diraup lebih dari yang dihasilkan para cukong kayu. Sementara masyarakat yang menebang kayu hanya dibayar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu rupiah.
Maraknya pembalakan liar, menurut Effendi, terjadi karena lemahnya proses penegakan hukum bagi pelaku. Selain itu, kejahatan hutan masih dianggap kasus biasa di Aceh. Sehingga pemerintah dan aparat kepolisian belum fokus menangani kasus-kasus yang ada. "Hal ini diperparah dengan tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah," kata Effendi.
Dia meminta aparat kepolisian lebih tegas menindak pelaku pembalakan liar di Aceh. Menurutnya, sejumlah bencana yang melanda Aceh diduga berkaitan erat dengan perubahan fungsi kawasan hutan dan kegiatan penebangan kayu di hulu sungai yang merupakan kawasan hutan lindung. UWA
Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Effendi Isma mengatakan selama 2015 KPHA mencatat kegiatan pembalakan liar dilakukan di 345 titik di 19 kabupaten/kota di Aceh.
Sebanyak 245 kasus pembalakan terjadi di area penggunaan lain, sementara 95 titik berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Aceh. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan 2014 yang terjadi di 69 titik.
Dalam sejumlah kasus, Effendi menyebutkan pelaku pembalakan liar juga melibatkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan seperti di Tangse, Pidie, dan Aceh Besar. Sementara di daerah Aceh Tamiang, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara yang hutannya jauh dari pemukiman warga, ada bantuan dari orang-orang luar.
"Ada orang khusus yang dibayar," kata dia, saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat (26/2/2016).
Dia menyebutkan, dalam kasus pembalakan liar, keuntungan yang diraup lebih dari yang dihasilkan para cukong kayu. Sementara masyarakat yang menebang kayu hanya dibayar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu rupiah.
Maraknya pembalakan liar, menurut Effendi, terjadi karena lemahnya proses penegakan hukum bagi pelaku. Selain itu, kejahatan hutan masih dianggap kasus biasa di Aceh. Sehingga pemerintah dan aparat kepolisian belum fokus menangani kasus-kasus yang ada. "Hal ini diperparah dengan tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah," kata Effendi.
Dia meminta aparat kepolisian lebih tegas menindak pelaku pembalakan liar di Aceh. Menurutnya, sejumlah bencana yang melanda Aceh diduga berkaitan erat dengan perubahan fungsi kawasan hutan dan kegiatan penebangan kayu di hulu sungai yang merupakan kawasan hutan lindung. UWA