Foto : Ilustrasi/batamtoday.com Oleh Khairil Miswar suara-tamiang.com -- KITA miris membaca berita; Sebanyak 92 warga biasa yang dij...
Foto : Ilustrasi/batamtoday.com |
suara-tamiang.com -- KITA miris membaca berita; Sebanyak 92 warga biasa yang dijadikan pegawai negeri sipil (PNS) palsu membobol kredit bank di Aceh Tamiang sebesar Rp 12,8 miliar (Serambi, 20/1/16).
Kisah tentang pembobolan bank di Aceh juga pernah terjadi pada 2014, di mana ketika itu kononnya terjadi penggelapan uang kredit di Bank Aceh Capem Balai Kota Banda Aceh yang mencapai 4 miliar (Serambi, 9/1/14).
Pasca pembobolan bank yang melibatkan beberapa pihak di Aceh Tamiang baru-baru ini, Serambi Indonesia dalam editorialnya mengangkat kasus ini untuk didiskusikan.
“Sebetulnya pemerintah hingga kini tidak cukup memiliki alat pengawas serta audit terhadap gaya hidup para PNS dan pegawai BUMN.
Lihatlah, selama ini ada pegawai bank atau bendahara SMP yang baru bekerja tiga tahun sudah punya mobil. Ini kan pantas dicurigai, dari mana duitnya?” (Salam Serambi, 27/6/16).
Tentu sudah tidak aneh, jika selama ini kita sering menyaksikan pegawai golongan kecil yang dengan “gagahnya” mengendarai mobil berharga ratusan juta rupiah.
Terlepas mobil tersebut dibeli secara cash atau pun kredit, yang jelas untuk ukuran pegawai negeri sipil golongan empat sekali pun, dilihat dari jumlah gaji yang didapat per bulan, tidak akan mampu membeli mobil yang harganya ratusan juta rupiah itu.
Tidak hanya itu, kadang kita juga dibuat hangeup (terkesima) ketika menyaksikan rumah-rumah mewah dengan harga hampir milyaran yang pemiliknya adalah pegawai negeri sipil.
Dalam hal ini, saya mengecualikan para pegawai negeri sipil yang memang berasal dari kalangan kaya baynah (hartawan).
Namun fenomena yang saya sebutkan di atas cenderung terjadi pada pegawai negeri sipil yang secara kasat mata gasin baynah alias dari golongan masaakin (bukan orang kaya).
Budaya ‘let model’
Namun demikian, beberapa peukateun yang saya sebutkan di atas tidaklah menjadi monopoli PNS. Budaya let model semacam ini juga menimpa segala kalangan di Aceh.
Saya ingat betul ketika Aceh memasuki era damai pasca 2005, ketika itu banyak bermunculan orang kaya baru yang tampil dengan gaya necis.
Padahal sebelum 2005 tidak ada satu riwayat pun yang menunjukkan mereka sebagai kaya baynah, tetapi pasca 2005 mereka terlihat seperti “model iklan”, dengan kaca mata hitam plus kalung emas. Mereka berjalan penuh gaya dengan HP model terbaru di tangan kanan dan kiri.
Di tempat lainnya, kita juga melihat para pelajar yang gonta-ganti sepeda motor, berbagai jenis/merek. Tidak hanya itu, kita juga melihat remaja yang demam Android, hari ini begini, besok begitu.
Belum lagi gonta-ganti jilbab gaul pada remaja putri dan juga ibu-ibu. Uniknya lagi, ada pula ibu-ibu yang giginya tinggal dua tapi masih berhajat memakai “kacamata” Syahrini. Singkatnya, budaya let model telah mulai menggurita di Aceh.
Jika mencermati ulasan di atas, maka secara tidak sadar, kita telah terjebak dalam budaya konsumerisme yang menganggap kemewahan sebagai indikator kebahagiaan.
DA Lyon sebagaimana dikutip Eko Haryanto (Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 2012) mendefinisikan konsumerisme sebagai suatu proses transaksi konsumtif individual maupun sosial yang melampaui kebutuhan primer.
Sementara Kenneth R Himes mendefinisikan konsumerisme dalam tiga acuan, yaitu sebagai gerakan sosial, sebagai ideologi, dan sebagai gaya hidup (a way of life).
Secara khsusus, Himes (dalam Haryanto) menyoroti kaidah moral konsumerisme sebagai gaya hidup. Konsumerisme bersifat adiktif sehingga menimbulkan perilaku belanja yang berlebihan.
Menurut Haryanto, konsumerisme menawarkan kepuasan (satisfaction) untuk segala kebutuhan konsumen, namun ironisnya kepuasan itu tidak akan pernah tercapai sebab konsumerisme selalu menyatakan segala sesuatu yang diinginkan konsumen sebagai kebutuhan.
Dalam konteks Aceh, nampaknya konsumerisme telah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat kita.
Dalam kondisi tertentu, budaya konsumerisme ini akan membuat kita sulit membedakan antara kebutuhan dan kemauan sehingga kita terus terdorong oleh nafsu yang tanpa batas itu.
Keinginan untuk mengikuti trend yang berkembang (let model) tentunya akan berimbas pada rusaknya perekonomian keluarga, di mana kebutuhan primer terkalahkan oleh kebutuhan hura-hura.
Terkadang, hanya sekadar untuk let model sebagian kita tidak segan-segan untuk berhutang demi mendapatkan barang-barang mewah pemuas hati.
Untuk mendapatkan sepeda motor atau pun mobil baru kita terdorong untuk mengajukan kredit, apalagi di zaman ini “proyek kredit” ini telah menjamur di mana-mana.
Bahkan para penyedia layanan kredit ini tidak segan-segan merayu konsumennya dengan kredit tanpa DP. Tanpa sadar kita pun masuk dalam “perangkap tikus”.
Memicu kejahatan
Dalam kondisi tertentu budaya konsumerisme juga akan memicu terjadinya berbagai tindak kejahatan, mulai dari menipu, mencuri, merampok, membobol bank dan bahkan korupsi.
Lihat saja beberapa oknum pejabat negara dan oknum anggota DPR RI yang memiliki gaji lumayan tinggi tapi masih juga melakukan korupsi. Penyebutan lumayan di sini jika dibandingkan dengan gaji buruh dan pegawai rendah.
Meskipun dibutuhkan penelitian lebih lanjut, namun untuk sementara patut diduga bahwa munculnya perilaku koruptif sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh budaya konsumerisme.
Pada tahapan kronis, para “penderita” konsumerisme akhirnya akan terpenjara dalam hedonisme.
Hedonisme sebagaimana disebut oleh Praja dan Damayanti (Jurnal Sociologie, Vol. 1 No.3) adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup.
Para penderita hedonisme beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya.
Di akhir tulisan ini kita cuma bisa berharap agar masyarakat Aceh yang terkenal fanatik dengan Islam untuk membebaskan diri dari budaya konsumerisme yang berujung pada hedonisme.
Dalam Alquran Allah Swt telah memperingatkan: “Janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An'am: 141). Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS.al-Isra’: 26).
Semoga saja tidak ada lagi oknum pejabat kita di Aceh yang melakukan korupsi dan tidak ada lagi oknum karyawan bank atau oknum PNS yang membobol bank untuk tujuan-tujuan yang justru semakin mempersubur budaya konsumerisme. Wallahul musta’an.
* Khairil Miswar, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: abisameer@yahoo.com (serambinews)