Foto : Ilustrasi/blogspot suara-tamiang.com , ACEH TAMIANG -- Ekosistem mangrove (bakau) di Pantai Kupang, Desa Lubuk Damar, Kecamatan...
![]() |
Foto : Ilustrasi/blogspot |
Akibatnya, penghasilan dari mencari ikan tidak lagi menjanjikan bagi nelayan kecil di daerah ini, semenjak ekosistem hutan bakau dicemari limbah perkebunan kelapa sawit yang diduga milik PT MR. Akhirnya, nelayan terpaksa mencari ikan sampai ke tengah laut untuk mendapatkan tangkapan sehari-hari.
Demikian disampaikan Samsul Bahri (60), nelayan yang dijumpai Analisa di Pantai Kupang, Lubuk Damar, baru-baru ini.
Pantauan Analisa di lapangan, ketika memasuki jalan blok dan jalan protokol di perkebunan MR di Afdeling I dan II, air parit di kiri kanan jalan terpantau berwarna keruh.
Kondisi serupa terjadi di parit isolasi batas hak guna usaha (HGU) PT MR dengan hutan bakau di Lubuk Damar. Air tampak berwarna hitam.
Sejumlah pamflet pengumuman milik Dishutbun Aceh Tamiang terpantau banyak dipasang di sejumlah titik. Pamlet itu bertuliskan mengenai Pasal 50 Ayat (3) Huruf (a) Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan.
Pohon bakau yang tumbuh di permukaan air dangkal akarnya berubah menjadi kuning akibat tercemar limbah. Tidak hanya akar, permukaan tanah juga berwarna kuning yang membuat hewan air di kawasan itu jadi langka.
Lebih lanjut dikatakan Samsul Bahri, seputaran Kuala Air Masin, Pantai Kupang, juga tercemar limbah.
Padahal, kalau tidak ada limbah, nelayan cukup mencari ikan di sekitar Pantai Kupang yang hasilnya sudah mencukupi untuk nafkah mereka.
“Sejak sering ada limbah, semua hewan yang kami cari menjadi langka. Apalagi kalau sudah kena limbah seperti bui sabun tamatlah sudah,” keluhnya.
Menurutnya, air limbah juga mengancam tambak di seputaran Kuala Air Masin. Pihaknya sangat khawatir jika air limbah masuk ke dalam tambak.
“Jika kita ingin memasukkan air ke tambak, air itu sudah bercampur limbah sehingga bisa mematikan peliharaan dalam tambak,” ungkapnya.
Akibat sukar mencari ikan, pria ini terpaksa mencari penghasilan tambahan sebagai penjaga tambak kepiting milik orang. Dia baru mendapatkan upah saat panen. “Upah saya 25 persen dari harga jual kepiting itu,” ucapnya.
Senada dengan Samsul Bahri, Herman dan Wak Ajo, nelayan lainnya mengatakan, akibat cemaran limbah itu, mereka sulit mencari hayati laut yang hidup di paluh (alur) di Lubuk Damar. Tidak sedikit juga nelayan Lubuk Damar yang hijrah mencari ikan sampai ke desa tetangga.
“Sejak tidak ada ikan lagi di paluh ini, saya pernah mencari ikan sampai ke perairan Desa Sungai Kuruk III, Seruway,” ucap keduanya.
Menurut keduanya, pencemaran limbah ini sudah berlangsung lama. Tak ayal, penghasilan mereka jadi menurun.
“Dulu, untuk mencari penghasilan Rp100-150 ribu, tidak harus ke tengah laut, cukup di paluh ini dengan memasang perangkap, jaring dan memancing,” ujar Wak Ajo sembari menduga bahwa pemerintah sudah tahu kondisi ini.
Ditemui di Kantornya, Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Aceh Tamiang, melalui Kabid Standarisasi, Penataan dan KSDA, T Ibnu Hibban menjelaskan, jika kondisi air sudah berubah warna dan berbui, kuat dugaan sudah tercemar limbah.
Bila menemukan kondisi seperti ini, perusahaan wajib melaporkan kegiatan swapantau sebagai pengawasan tidak langsung, minimal enam bulan sekali.
Dibeberkan, masalah limbah di Lubuk Damar merupakan persoalan lama. Pada pertengahan 2015, limbah cair pernah masuk ke tambak petani, membuat seisi tambak seperti kepiting sangkak dan ikan mati. Namun, kasus itu sudah selesai berujung damai karena perusahaan bersedia mengganti rugi.
“Limbah itu bukan dari pabrik kelapa sawit (PKS), kemungkinan akibat ulah perkebunan yang menggunakan bahan kimia mengingat letak Desa Lubuk Damar memang bersebelahan dengan areal HGU perkebunan PT MR,” ungkapnya.
Kendati PT MR sudah memiliki izin pembuangan limbah ke sumber air dan rutin melaporkan perkembangan ke BLHK setempat, namun untuk menindaklanjuti informasi ini menurutnya tidak cukup hanya dengan data visual lapangan. Perlu dilakukan uji laborotarium sebagai barang bukti menjadi acuan untuk ditindak lanjuti.
Pada 2015, pihaknya sudah melakukan pengawasan pemantauan lingkungan terhadap PKS terkait limbah dan polusi. Termasuk kualitas pencemaran air sungai.
Lebih lanjut Ibnu menyarankan, sebaiknya masyarakat membuat laporan resmi dengan minimal diketahui kepala desa dan camat setempat. Berdasarkan laporan tersebut BLHK bersama tim terkait akan turun ke lapangan.
Asisten Kebun Afdeling I PT Mopoli Raya, Lubuk Damar, Surif, saat dihubungi Analisa terkait persoalan limbah dimaksud melalui sambungan telepon, Senin (4/1) mengaku sedang rapat bersama bawahannya sehingga belum sempat memberikan keterangan. Saat dihubungi kedua kalinya, Surif tidak mengangkat panggilan masuk.
Saat dihubungi melalui pesan singkat (SMS), dia mengaku sedang beristirahat waktu ditelepon dan dikirimi SMS.
“Mengenai apa yang mau ditanyakan, saya pikir akan lebih baik bertemu langsung di kebun,” katanya dalam SMS. (dhs/analisa)