HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Warga Alue Punti Harapkan Listrik dan Air Bersih

Foto : Ilustrasi/google  suara-tamiang.com, ACEH TAMIANG -- Warga Alue Punti yang merupakan transmigrasi lokal dalam wilayah Kampung P...

Foto : Ilustrasi/google 
suara-tamiang.com, ACEH TAMIANG -- Warga Alue Punti yang merupakan transmigrasi lokal dalam wilayah Kampung Paya Tampah, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, mengharapkan memperoleh sarana dan prasarana berupa jaringan listrik dan air bersih. Selain itu pelayanan kesehatan yang maksimal serta pendidikan.

Berkisar enam bulan sudah warga transmigrasi lokal itu menempati rumah bantuan Pemerintah Aceh. Tepatnya pada awal Desember 2014 sebanyak 40 unit rumah diresmikan penempatannya oleh Wakil Bupati Aceh Tamiang Drs H Iskandar Zulkarnaen.

Namun warga Alue Punti, Edi Syam (42) mengeluh belum adanya jaringan listrik di sana. Selama ini pada malam hari untuk penerangan mereka menggunakan mesin genset bantuan prbadi warga. "Untuk biaya bahan bakarnya setiap warga membayar Rp 12.500/bulan," ujar Syam.

Sarana air bersih juga menjadi persoalan serius, untuk kebutuhan mandi dan mencuci dapat menggunakan air dari waduk yang telah dibangun Pemerintah Aceh. Namun air waduk tersebut tidak dapat dikonsumsi dikarenakan warna airnya kuning, kotor serta bercampur lumpur.

"Uuntuk minum dan memasak, setiap hari membeli air isi ulang seharga Rp 8.000/galon. Terkadang mengambil air parit di bawah bukit dengan jarak yang lumayan jauh. Itu pun airnya tidak sebaik air isi ulang yang dibeli, akan tetapi lebih baik dari air waduk," ungkap Syam.

Permasalahan tersebut pun disampaikan warga kepada tim Pansus VI DPRA yang mengunjubgi permukiman mereka, Jumat (22/5). 

Saat itu tim Pansus terdiri dari Zulfikar Lidan, Tgk Mahyaruddin Yusuf, Nurzahri dan Tambi, meninjau langsung proyek pembangunan 40 unit rumah warga transmigrasi yang menggunakan anggaran Rp 5 miliar tersebut. 

Selain melihat kondisi bangunan rumah, talud penahan rumah, jalan dan bak penampungan air, anggota dewan juga menyerap keluhan warga transmigrasi.

Usai berkomunikasi dengan warga, anggota DPRA Nurzahri mengaku kecewa melihat kondisi bangunan rumah yang tidak diplaster dan talud penahan abrasi yang roboh.

"Anggaran pembangunan rumah sebanyak Rp 60 juta/unit, berdinding bahan batako. Harga standar rumah tipe sederhana Rp 70 juta, seharusnya diajukan penambahan sehingga rumah dapat diplaster sehingga terlihat indah," ujarnya.

Terhadap temuan itu, pihaknya akan menelusuri kembali proyek pemukiman transmigrasi. Karena masih ada data yang kurang seperti kontrak kerja.

Sementara Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Sosial dan Transmigrasi Aceh Makmun, didampingi Kabid Transmigrasi Aceh Tamiang Tantowi, mengatakan, pembangunan pemukiman transmigrasi berbeda dengan proyek pembangunan lain. 

Dijelaskannya, rumah yang dibangun di tengah hutan dengan akses mengangkut material berjarak 35 kilometer disertai kondisi jalan rusak dan berbukit.

Kemudian, sambung Makmun, badan jalan yang awalnya hanya "jalan tikus" harus dilebarkan dan beberapa bukit harus dipotong guna melebarkan badan jalan.

"Pembanguna rumah transmigrasi menggunakan batako agar tahan lama dan lebih aman dibandingkan menggunakan kayu," jelas Makmun.

Mengenai talud penahan tanah yang ambruk, terjadi di saat tingginya curah hujan pada Januri lalu sehingga tidak sanggup menahan tekanan dari atas bukit. 

"Curah hujan tersebut sempat membuat Tamiang, Aceh Timur dan Aceh Utara banjir beberapa waktu lalu," ujar Makmur. (indra/stc)