Konversi Bendera dan Lambang Aceh Oleh : Zahrila Ismail “Kita tidak sanggup memakmurkan Aceh, jika kita berpecah-belah.” (Hasan Ti...
Konversi Bendera dan Lambang Aceh |
Oleh : Zahrila Ismail
“Kita
tidak sanggup memakmurkan Aceh, jika kita berpecah-belah.” (Hasan Tiro, 1968)
Membaca
berita seputar bendera Aceh yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Aceh Muzakir
Manaf (Serambi, 1/3/2015), kita rakyat seakan kembali dibuat deg-degan.
Soalnya, Muzakir Manaf yang akrab disapa dengan panggilan Mualem, kembali
berharap bendera Aceh tidak diubah dan disetujui dalam bentuk dasar oleh
pemerintah pusat, seperti yang diimpikannya. Pernyataan Mualem terkait bendera
ini, berbeda dengan apa yang pernah disampaikannya sebelumnya.
Saat itu,
Muzakir Manaf menyebutkan bahwa ia menyarankan kepada Gubernur Aceh dan Ketua
DPRA untuk mengubah sedikit bendera Aceh, supaya tidak persis sama dengan
bendera GAM (Serambi, 20/11/2014). Pada sisi lain, pemerintah pusat bersikeras
harus ada “barter” antara perubahan bendera Aceh dengan pengesahan turunan Undang-Undang
No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Jika kedua pihak tidak
sepakat, maka kembali rakyat Aceh “gigit jari” karena blunder negosiasi
politisi Partai Aceh.
Jika
logika terbalik Muzakir Manaf terus menerus seperti itu, rasanya rakyat akan
bersikap terbalik juga suatu ketika. Retaknya hubungan antara dirinya (Muzakir
Manaf) dengan Gubernur Aceh, dengan Irwandi Yusuf dan dengan sejumlah Panglima
GAM masa perang, ia tonjolkan di depan publik dan media massa. Seharusnya,
sebagai seorang mantan panglima perang dan ketua partai politik terbesar di
Aceh, sudah selayaknya bersikap elegan. Supaya rakyat Aceh, tidak ikut
terpecah-pecah karena konflik internal mereka.
Integritas
moral pascakonflik menjadi hal penting. Karena secara filosofis, integritas
moral harus didukung oleh ideologi (Jacques Bertrand, 2012). Muzakir Manaf
selaku politisi, seharusnya harus memiliki integritas moral dari setiap
pernyataannya, dan kompak untuk menjaga marwah sesama eks komponen GAM.
Seperti Bolakaki
Khususnya dalam soal bendera, Muzakir Manaf terkesan seperti bolakaki yang bisa dioper kemana-mana oleh pelatihnya. Kadang-kadang Muzakir Manaf menjadi “algojo” untuk menendang pinalti, adakalanya Muzakir Manaf seperti seorang striker yang sering membuat offset di area permainan lawan. Namun yang paling diharapkan adalah Muzakir Manaf harus menjadi playmaker, untuk mengatur irama permainan yang bersih dan cantik.
Khususnya dalam soal bendera, Muzakir Manaf terkesan seperti bolakaki yang bisa dioper kemana-mana oleh pelatihnya. Kadang-kadang Muzakir Manaf menjadi “algojo” untuk menendang pinalti, adakalanya Muzakir Manaf seperti seorang striker yang sering membuat offset di area permainan lawan. Namun yang paling diharapkan adalah Muzakir Manaf harus menjadi playmaker, untuk mengatur irama permainan yang bersih dan cantik.
Sudah
seharusnya, Muzakir Manaf mengikuti idiologi Hasan Tiro dalam membela
kepentingan rakyat. Hasan Tiro, dalam buku Atjeh Bak Mata Donja, 1968.
Mengatakan bahwa “Kita sekarang seperti generasi yang sangat bodoh. Kita sudah
menjadikan diri kita lagee leumo kap situek (ikut-ikutan karena tidak paham),
seperti bangsa yang tidak punya sejarah”. Politik bendera akan menjadi salah
challenge Muzakir Manaf. Untuk berfikir lebih subtantif, ketimbang simbolik.
Supaya tidak menjadi generasi lagee leumo kap situek seperti yang digambarkan
oleh Hasan Tiro.
Bagi
rakyat Aceh saat ini, bendera klub seni pun jadi sebagai simbol. Asalkan rakyat
sejahtera dan bisa seperti Singapura. Di sinilah peran Muzakir Manaf, untuk
menjadi tokoh baru pada 2017 yang santun dan elegan. Apalagi Gubernur Zaini
Abdullah telah mendeklarasikan pada media awal 2014 lalu, untuk mundur pada
2017 nanti.
Tak elok,
bila Muzakir Manaf memosisikan Zaini Abdullah, Irwandi Yusuf, Zakaria Saman,
puluhan Panglima GAM masa perang sebagai kubu “sebelah” karena mendukung
Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 lalu. Untuk itu, saat ini masih ada peluang,
supaya keharmonisas Gubernur, Wakil Gubernur, Irwandi Yusuf, eks panglima GAM,
DPRA dan Malik Mahmud dipertontonkan kepada publik. Bukan malah saling sindir
lagee aneuk miet ngambek di media massa.
Para eks
GAM harus bersatu, bukan saja untuk kepentingan bendera dan turunan UUPA. Tapi
kesatuan mereka diperlukan untuk kemajuan rakyat Aceh, dan untuk eksistensi
damai Aceh. Kalau eks GAM, dengan mudah mampu disusupi oleh orang-orang
outsider yang berseberangan dengan geunareh politik mereka, tentu ini akan
mempercepat kandasnya hegemoni kekuasan mereka. Belakangan terlihat strategi
ini berjalan.
Memang ini
tidak mudah, tapi ini bagian dari tantangan (challenge) Muzakir Manaf untuk
bersikap bijak, arif, dan tidak sombong karena merasa memiliki kekuasaan
sebagai Wakil Gubernur, sebagai Ketua Partai Aceh dan sebagai Penasehat Partai
Gerindra. Karena sesungguhnya, seperti yang dikatakan oleh Hasan Tiro dalam
bukunya Aceh Bak Mata Donja, “Masa lalu adalah obor yang bisa memberi petunjuk
untuk masa depan”.
Politik Birokrat
Secara umum, kesuksesan politisi dalam menjalankan kekuasan seperti Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf dan Malik Mahmud terdapat kontribusi birokrat di dalamnya, seperti Sekda, para Kepala Dinas, Kepala Biro sampai dengan Kepala Bidang di struktur pemerintahannya. Dan mereka ini, bisa jadi bersentuhan dengan GAM atau malah tidak sama sekali.
Secara umum, kesuksesan politisi dalam menjalankan kekuasan seperti Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf dan Malik Mahmud terdapat kontribusi birokrat di dalamnya, seperti Sekda, para Kepala Dinas, Kepala Biro sampai dengan Kepala Bidang di struktur pemerintahannya. Dan mereka ini, bisa jadi bersentuhan dengan GAM atau malah tidak sama sekali.
Merekalah
para birokrat memainkan unsur-unsur “politik belah bambu”, antarsatu politisi
dengan politisi lainnya, dalam implimentasi anggaran belanja daerah. Karena,
sesungguhnya eksekutor program pembangunan di Aceh, baik dari hulu maupun
hilir, terdapat kontribusi “mematikan” dari seorang birokrat (baca: pejabat
PNS). Sukses atau matinya program populer seorang Gubernur, Wakil Gubernur, tak
bisa lepas dari peran politik birokrat.
Begitu
juga retak hubungan antara Gubernur, Wakil Gubernur terdapat peran tak terlihat
(impossible hand) dari birokrat. Seorang politisi, tak akan bertaji bila
birokrat yang menjadi bawahannya untuk mendesain, melaksanakan dan memonitor
program untuk kemaslahatan konstituen politik atasannya, dilakukan setengah
hati. Malah kadang kalanya, membuka “toko dalam toko”. Akibatnya serapan
anggaran belanja Aceh tidak berdampak pada geliat ekonomi rakyat.
Makanya,
tidak mengherankan, hampir mayoritas pejabat setingkat Sekda, para Kepala
Dinas, Kepala Biro dan Kepala Bidang pada level provinsi dan kabupaten/kota di
Aceh menjadi “orang kaya” di sekitar domisilinya. Menjadi pandangan umum pula
di Aceh, bila seorang birokrat pensiun dari kerjanya, mereka kesepian di tengah
keramaian. Untuk itu, eks komponen GAM, harus hati-hati, kalau tidak rakyat
akan meninggalkan Partai Aceh pada Pemilu 2017 nantinya.
Akhirnya,
saya mengakhiri tulisan ini dengan kutipan Hasan Tiro, dalam sebuah tulisannya;
“Generasi sekarang sudah hilang pedoman hidup (meuneumat), tidak ada lagi tali
hubungan yang bisa menyambung kita dengan generasi-generasi yang telah lalu,
generasi-generasi pemberani yang sudah syahid, kitab-kitab yang ditinggalkan
sudah dibakar oleh penjajah”. Semoga tidak terpecah belah, terutama eksponen
GAM harus bersatu, supaya Aceh kembali memiliki nilai tawar.
* Zahrila
Ismail, M.A., Alumnus MUQ Bustanul Ulum Langsa dan
Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: zahrila85@gmail.com