Syahzevianda, S.H Oleh : Syahzevianda, S.H. Ketika membaca potongan judul diatas, tentu pembaca terbenak terhadap stigma yang berma...
Syahzevianda, S.H |
Oleh
: Syahzevianda, S.H.
Ketika membaca potongan judul
diatas, tentu pembaca terbenak terhadap stigma yang bermacam-macam dan langsung
menimbulkan arah pemikiran menyangkut kejadian yang ter-publish yang menjadi tranding tofic di Aceh. Sudah barang
tentu dari segala sudut pandang apapun Aceh memang bak artis yang sedang naik
daun. Apalagi saat ini aceh sedang menjadi sorotan tentang terjadi kasus
pembunuhan beberapa waktu lalu.
Tidak hanya menjadi sorotan
masyarakat Aceh dan Rakyat Indonesia saja, tapi saat mata dunia juga sedang
tertuju/menyimak perkembangan semua sektor di Aceh baik sosial, politik,
ekonomi, budaya dan lainnya. Apalagi Aceh yang baru sepuluh tahun berdamai yang
di raih dengan usaha yang tidak mudah harus ternoda dengan perbuatan oknum
pengacau yang tidak bertanggung jawab. Sungguh disayangkan hal yang kurang etis
dan sadis itu kembali terdengar dari Tanah Rencong, ditengah-tengah masyarakat
yang sedang asyik menikmati indahnya perdamaian Aceh kini tiba-tiba berubah
menjadi sebuah paradigma yang mencoreng nilai-nilai perdamaian yang sudah
berumur satu dasawarsa.
Ternyata masih ada riak-riak air
keruh yang sengaja diperkeruh atau memang keruh itu. Tak mudah mencapai sebuah
keinginan kuat tanpa ada gangguan yang hebat pula. Cita-cita Aceh menjadi
sebuah daerah yang makmur itu merupakan cita-cita bersama, bukan cita-cita
kelompok atau bebarap saja. Itu juga dicapai dengan semangat kebersamaan dan
daya dukung yang kuat pula. Mari kita lihat Track
Record perdamaian di Aceh jika ditunjau dari apa saja yang telah menjadi
kesepakatan pada saat MoU Helsinki dahulu. Tentu keduabelah pihak harus
sama-sama mentaati perjanjian yang telah disepakati karena telah mengikat
antara satu sama lain (Pacta Sunt
Servanda)tapi kenyataan yang terjadi dikehidupan masyarakat Aceh saat ini
dapat kita rasakan seperti apa yang sudah terjadi dan sudahkah sesuai harapan.
Dalam kurun waktu hampir sepuluh
tahun ini, segala unsur-unsur yang melekat dan terkandung didalam nota
kesepahaman antara Aceh dengan Pemerintah RI masih dalam tahapan proses bagi
masing-masing pihak. Pun demikian Aceh diberikan kewenangan yang
sekhusus-khususnya untuk mengurusi rumah tangganya sendiri yang dimotori oleh
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Disitu telah
tertuang berbagai pengaturan terkait mengenai hak dan kewajiban Aceh pasca
Perdamaian tahun 2005 silam, termasuk didalamnya diatur sistem Perpolitikan
yang diselenggarakan di Aceh.
Sangat erat kaitannya antara
perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh dengan keterlibatan politik Aceh
saat ini dalam menggiring pelaksanaan perdamaian yang berlangsung sinergis.
Lalu, bagaimana reaksi masyarakat Aceh sendiri jika menanggapi Label Damai hanya disuarakan dan
pajangan disetiap sudut, tapi pada realistisnya masih menyisakan percikan
noda-noda terhadap perdamaian ini, apakah “DAMAI ITU INDAH” hanya sekedar
maklumat saja, atau memang hanya label saja tapi dengan rasa yang berbeda alias
“TIPU”.
Elemen sosial masyakat punya
peran penting dalam menciptakan iklim dan gejala sosial yang baik itu sendiri,
walaupun hal tersebut tak terlepas dari peran penting dari sang-legislator yang
membantu membuat arah kebijakan yang keberpihakannya ada pada Raykat Aceh.
Impian itu muncul ketika dinamika politik kita kian membaik dari waktu ke-waktu,
tapi pada kenyataannya hampir kontradiksi dikehidupan aslinya. Kesiapan Aceh
dalam menghadapi perpolitikan serasa ternilai belum sampai pada tingkat
kematangan dan kedewasaan yang memadai jika dikaitkan dengan dimensi sosial
masyarakat yang terjadi kini. Hal tersebut banyak didominasi oleh faktor-faktor
“X” yang masih mencampuri yang bukan merupakan domain dan kompetensinya sebagai
instumen politik.
Dapat dikatakan pengetahuan
politik yang masih seumur jagung tapi tidak sesuai dengan kenyataan
dimasyarakat. Kini masyarakat semakin tau dengan prilaku politik yang
membosankanitu-itu saja, dia-dia saja dan semua sama saja yang tidak mampu
menjaga kondusifitas, ketentraman dan serta kenyamanan yang benar-benar
terjamin ditengah masyarakat, konon jaminan kemakmuran masyarakat Aceh
seutuhnya.
Politik merupakan perluasan dari
etika (Aristoteles), indikator seseorang sudah sampai pada kematangan
politiknya tercermin pada ada kebijakan dan regulasi yang diciptakannya pula.
Termasuk didalamnya menciptakan rasa aman, damai dan nyaman di tengah kehidupan
masyarakat luas dan terintegritas yang tentunya berpedoman dengan nilai-nilai
sosiologis di Aceh.
Pengaruh eksistensi perdamaian di
Aceh selama ini semakin goyang dengan aksi-aksi yang menegangkan oleh oknum
yang mungkin kurang senang dengan perdamaian ini, atau memang ada oknum yang
merasa kecewa dengan apa yang sudah sistem perpolitikan yang sudah terinduksi
oleh kerakusan-kerakusan sehingga lupa akan apa yang dahulu sudah menjadi
komitmen bersama. Lalu mengapa eksesnya langsung terimplikasi kepada masyarakat
yang sama sekali tidak tau-menau apa yang sudah dibuat “DISANA”?. Problematika
internal hendaknya cukup diakomodir dipihak tertentu saja, tak perlu ada yang
dilibatkan apalagi masyarakat yang tak berdosa yang sedang menikmati perdamaian
yang sedang berlangsung. Citra perdamaian dapat saja tercoreng akibat fenomena
sosial politik yang tidak merujuk pada sumber-sumber etis dan hukum, sehingga
menimbulkan penafsiran yang kabur bagi kalangan elite, simpatisan dan
masyarakat.
Politik dan perdamaian di Aceh
koheren dengan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Aceh. Bagaimana tidak,
rasa tidak aman dapat mempengaruhi kenyamanan masyarakat dalam memenuhi
kehidupan sanak-keluarga. Keberlangsungan hidup bergantung pada rasa aman yang
tercipta. Hal tersebut tak perlu lagi dijabarkan lagi secara rinci karena betapa
menyedihkan dikurun waktu hampir 29
tahun Aceh dilanda konflik pertumpahan darah. Pengharapan kami tak lain adalah,
jangan usik perdamaian yang hampir berjalan sepuluh tahun ini dikarenakan
hal-hal ketidaksenangan dan ketidakpuasan. Semoga jaminan kondusifitas/rasa
aman ini mampu terjawab oleh kita semua, dan mampu memastikan kepada insan
publik diberbagai belahan bahwasanya Aceh saat ini masih dalam keadaan aman dan
tidak terjadi suatu hal apapun terkait pertikaian yang bisa melunturkan nilai
perdamaian.
Jangan sampai ada pihak manapun
menimbulkan rasa keragu-raguan, kegundahan dan cemas untuk datang/berkunjung
apalagi berinvestasi di Aceh, karena inilah yang menjadi kerisauan terbesar
kita ketika segilir oknum tidak bertanggungjawab membuat kekacaun terhadap
perdamaian Aceh. Dampak yang besar ini pula yang paling menyiksa kehidupan
masyarakat Aceh khususnya.
Untuk menjaga keutuhan perdamaian
merupakan tanggung jawab semua pihak di Aceh, bukan hanya tanggung jawab trias
politika, individu dan kelompok tertentu saja. Sebab imbasnya langsung terasa
ditengah kehidupan sosial dan ketentraman masyarakat. Di samping pembenahan
politik yang harus dibenahi secara ekstra, aspek keadilan juga sangat riskan
bagi para pencari keadilan di tanah rencong. Luka konflik yang masih membekas
sangat sensitif terhadap isu-isu yang dapat mempengaruhi mental dan psikologis
masyarakat. Hal tersebut sangat tercermin terhadap apa yang menjadi harapan
yang diemban kepada pemanggu kekuasaan di Aceh. Semoga mereka semakin amanah
dan paham apa yang menjadi pengharapan selama ini.
* Syahzevianda, S.H., Pegiat sosial dan Paralegal Pada LBH PP3M Aceh. Email: zevie.sy@gmail.com