suara-tamiang.com , KARANG BARU -- Kelompok masyarakat dari sejumlah desa di Kabupaten Aceh Tamiang, bersama LSM, tokoh adat, kelompok t...
suara-tamiang.com, KARANG BARU -- Kelompok masyarakat dari sejumlah desa di Kabupaten Aceh Tamiang, bersama LSM, tokoh adat, kelompok tani dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Aceh Tamiang, Jum’at, (20/02) mengelar diskusi publik tentang Kontradiksi Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tamiang dengan SK Menteri Kehutanan No. 865 tahun 2014.
Diskusi berlangsung selama empat jam di aula Sekdakab Aceh Tamiang, dan menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk segera ditindaklanjuti. Diantaranya adalah meminta Kemenhut segera mencabut SK No.865 tahun 2014. Mengusut siapa dalang dibalik terbitnya SK No. 865 tersebut dan segera mengambil langkah hukum jika SK tersebut tidak segera dicabut oleh Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan monitoring STC, hasil diskusi akan segera dilaporkan kepada bupati dan diminta segera untuk ditindaklanjuti. Hampir seratusan orang dari berbagai unsur yaitu tokoh masyarakat adat, LSM, kelompok tani, jurnalis (Pers) dan SPKD Kabupaten Aceh Tamiang terlibat mengeluarkan pendapat pada diskusi publik tersebut yang berkaitan dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 865 tahun 2014, yang bertentangan dengan RTRW Aceh Tamiang.
Diskusi ini difasilitasi oleh Yayasan Sheep Indonesia bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), yang mengungkapkan bahwa hutan Aceh Tamiang diambang kehancuran akibat dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 865/Mehut-II/2014 tentang kawasan hutan dan konservasi perairan di propinsi Aceh. SK Menhut ini mengurangi hampir seluruh hutan lindung di Aceh Tamiang.
Sementara Pemkab Aceh Tamiang dan Propinsi mengaku tidak pernah mengusulkan perubahan fungsi kawasan tersebut. Perubahan fungsi tersebut diduga erat kaitannya dengan rencana eksploitasi tambang dan kayu. Padahal manfaat ekonomi yang didapat dari eksploitasi hutan tersebut tidak sebanding dengan resiko yang dihadapi masyarakat dan pembangunan tamiang.
Eksploitasi hutan akibat SK Menhut ini mengancam 286.226 jiwa penduduk Aceh Tamiang dan pembangunan tamiang diambang kehancuran. Saat ini Hutan lindung di wilayah tamiang hanya tersisa 615 hektardari 82.498 hektar wilayah hutan tamiang.
Menajer konservasi Yayasan HAKA Rudi H Putra, menjelaskan Luas kawasan wilayah hutan tamiang berdasarkan RTRW Aceh Tamiang tahun 2012 – 2032 adalah 37,2% dari luas total kabupaten Aceh Tamiang. Sedangkan luas tutupan hutan tahun 2010 hanya 31,4% dari luas daratan Aceh Tamiang. Melihat dari letak Aceh Tamiang yang berada di muara sungai Tamiang, jumlah tutupan hutan ini sangat kecil sekali. Aceh Tamiang sangat rentan dengan banjir dan longsor.
“Banjir tahun 2006 lalu menurut data dari World Bank, 2007 mengalami kerugian mencapai Rp 1 trilyun, setara dengan besarnya APBK Aceh Tamiang 2,5 tahun saat itu. Hal ini akibat berkurangnya tutupan hutan secara signifikan di wilayah hulu DAS Tamiang”. Ujar Rudi.
Kerusakan wilayah Aceh Tamiang dan konflik di masyarakat saat ini tengah terjadi di Aceh Tamiang. Pada pertemuan para Datok (KepalaDesa-red) dan Mukim (Ketua Lembaga Adat-red) se Aceh Tamiang dengan bupati dan kepala dinas Aceh Tamiang (17/02) lalu di pendopo bupati, terungkap tetang adanya konflik masalah tapal batas wilayah dan hutan. Kerusakan tanggul sungai, DAS Tamiang, erosi, rusaknya sejumlah ruas jalan akibat banjir dan longsor di sejumlah titik.
Yayasan Sheep Indonesia juga menemukan sejumlah permasalahan pada 9 desa yang didampingi di wilayah Aceh Tamiang, yaitu konflik pertanahan antara perusahaan dan masyarakat karena perebutan lahan. Konflik masalah tapal batas desa. Dibeberapa desa terjadi penjualan dan penguasaan lahan untuk pembukaan perkebunan baru yang melibatkan oknum dan beberapa orang yang dianggap tokoh masyarakat yang hanya diputuskan sepihak oleh oknum pemerintah desa.
Penyusunan rencana ruang tidak atau kurang mempertimbangkan status kepemilikan tanah masyarakat. Pada pertemuan dengan bupati di pendopo sejumlah datok sempat mengungkapkan kekhawatiran Aceh Tamiang akan menjadi “meusuji kedua” karena konflik perebutan lahan dan tapal batas.
Hasil monitoring HAKA tahun 2013-2014 ditemukan laju kerusakan hutan Aceh Tamiang semakin parah. Hal tersebut dilakukan para perambah hutan dan pelaku illegal logging. 235 kasus illegal logging, 318 kasus perambahan dengan luas hutan mencapai 3.343 hektar. 14 ruas pembangunan jalan di dalam kawasan hutan yang kelak digunakan untuk merusak hutan.
Pengrusakan hutan Aceh Tamiang tidak hanya dilakukan secara illegal. Akibat SK Menhut No. 865/Menhut-II/2014, yang telah merubah fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi telah memberi peluang bagi siapa saja untuk ekspolitasi pertambangan, pengusaha kayu, perkebunan dan perizinan lain di dalam kawasan yang telah dirubah tersebut.
Kementerian Kehutanan melalui SK Menhut No. 941/Menhut–II/2013 juga telah menyetujui perubahan fungsi kawasan hutan di propinsi Aceh, dengan melepas hutan Aceh Tamiang seluas 2.048 hektar untuk menjadi area penggunaan lain dengan alasan untuk pemukiman. Padahal sebagian besar areal hutan tersebut dikuasai oleh segelintir orang untuk membangun perkebunan monokultur.
Tezar Pahlevie, Kordinator Yayasan HAKA wilayah Aceh Timur dan Tamiang, mengatakan ancaman lain kerusakan hutan Aceh Tamiang adalah pemberian sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan yang akan melakukan eksplorasi bahan semen dan eksplorasi tambang bijih besi. Survey bahan tambang batubara dan bijih besi saat ini sudah sering dilakukan di dalam kawasan hutan Aceh Tamiang.
“Saat ini, hampir 50% luas kawasan hutan areal penggunaan lain di Aceh Tamiang sudah dikusai oleh para pemegang HPH. 54 izin HGU sudah menguasai 52.000 hektar atau setara dengan 24% luas total daratan. Saat ini tiga perusahaan lain sedang mengupayakan mendapatkan HGU dengan luas 1030 hektar. Hanya kurang dari 30% luas daratan Aceh Tamiang yang digunakan untuk menompang kehidupan 286.226 jiwa penduduk Aceh Tamiang”, ungkap Tezar.
Dengan kondisi yang terjadi saat ini dipastikan dalam waktu dekat hutan di Aceh Tamiang akan habis diekspolitasi dan dikonversi menjadi non hutan.
Kabid Perencanaan BAPPEDA Aceh Tamiang, Dedi Nurfadli dan Agus Rinaldi, Kasi Inventarisasi Penatagunaan Hutan dan Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, sebagai narasumber dalam diskusi, mengaku sangat terkejut dan bingung atas keluarnya SK Menhut No.865 Tahun 2014 tersebut. Mereka mengungkapkan pihak pemerintah daerah Aceh Tamiang sudah menyurati Kementerian Kehutanan untuk meminta klarifikasi terkait isi SK tersebut.
“Kami sudah menyurati Kementerian Kehutanan, namun sampai saat ini belum ada jawaban atas permintaan klarifikasiisi SK tersebut”, ucap Dedi dan Agus dalam diskusi.
Para peserta diskusi merekomendasikan agar Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang dan SKPD terkait mengawasi dan bertindak tegas terhadap pelaku pelanggaran dan pengrusakan hutan Aceh Tamiang. Masyarakat dan kelompok tani juga LSM dan tokoh adat setempat siap menjadi relawan dalam membantu pemerintah daerah Aceh Tamiang untuk menyelamatkan hutan di Aceh Tamiang.
Rencananya para peserta diskusi akan membuat pertemuan lanjutan dengan sejumlah kelompok masyarakat yang lebih banyak lagi untuk memperjuangkan agar SK Menhut No.865 tahun 2014 tersebut segera dicabut dan mengusut tuntas siapa dalang dibelakang terbitnya SK itu. (Rico/ST)