suara-tamiang.com , Banda Aceh | Tim Polda Aceh menahan tujuh warga Aceh Tamiang di Mapolda Aceh, Banda Aceh sejak Minggu (15/2). ...
suara-tamiang.com, Banda Aceh | Tim
Polda Aceh menahan tujuh warga Aceh Tamiang di Mapolda Aceh, Banda Aceh sejak
Minggu (15/2).
Mereka diduga tersangka utama penguasaan lahan sawit 1.108,6
hektare milik Perseroan Terbatas Raya Padang Langkat (PT Rapala) di Desa Paya
Rahat, Kecamatan Banda Mulia, Desa Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I dan Tanjung
Lipat II, Kecamatan Bendahara, Tamiang.
Kabid
Humas Polda Aceh, Kombes Pol Gustav Leo menyampaikan hal ini ketika menjawab
Serambi, Selasa (17/2).
Ia menyebutkan dari tujuh tersangka yang ditahan itu,
enam di antaranya warga empat desa yang masuk dalam 1.000 hektare lebih lahan
sawit milik PT Rapala itu.
Mereka adalah OK Sanusi, M Nur, Basri, Zainudin,
Zulkifli, dan Zulkifli alias Bang Li. Sedangkan seorang lagi Rusli, warga Opak,
Kecamatan Bendahara.
Didampingi
Kasubdit II Harda Bangta, AKBP Bambang Eko Subandono, Kabid Humas mengatakan
pihak PT Rapala sudah sejak 2 Juni 2014 melapor kasus penguasaan lahan tanpa
izin milik mereka oleh sebagian warga empat desa itu ke Mapolda Aceh.
Menurut
Kabid Humas, kasus ini berawal setelah pihak PT Rapala membeli kebun sawit itu
dari PT Parasawita pada 2014, sehingga PT Rapala mendapat perpanjangan izin Hak
Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI terhadap lahan
tersebut 1.142 hektare lebih.
“Namun,
34 hektare di antaranya sudah dikeluarkan PT Rapala untuk kebutuhan masyarakat
setempat, misalnya untuk pembangunan sekolah, jalan, dan lain-lain.
Tetapi
warga empat desa itu menuntut pengembalian 144 hektare lahan tersebut karena
alasan peninggalan orang tua mereka dulu,” kata Kabid Humas.
Sedangkan
menurut pengakuan PT Parasawita yang sudah menguasai lahan tersebut sejak tahun
80-an, mereka sudah membayar ganti rugi lahan ini, termasuk biaya tebas hutan
kepada warga setempat ketika itu, sehingga mereka memperoleh HGU terhadap
perkebunan ini. Sedangkan warga mengklaim ketika itu mereka dipaksa menerima
ganti rugi itu.
Mereka juga berdemo ke Kantor Bupati Tamiang terkait hal ini, sehingga bupati memohon pengembalian 144 hektare HGU itu ke BPN RI,” ujarnya.
Karena pemohonan Bupati ini, maka warga semakin bersemangat menguasai kebun ini, tetapi akhirnya BPN RI juga tetap tak bisa mengeluarkan HGU yang dimohon Bupati.
Warga masih tetap menguasai lahan ini dengan berjaga-jaga menggunakan parang untuk melarang pihak PT Rapala masuk ke kebun tersebut, sehingga pihak PT Rapala tak bisa memanen sawit di kebun yang sudah mereka miliki HGU ini.
“Atas dasar ini pihak PT Rapala melapor ke Polda. Penyidik Polda sudah memeriksa sejumlah saksi dan menetapkan tujuh orang itu sebagai tersangka, mereka awalnya sudah dipanggil, tapi tak hadir, sehingga dijemput ke Tamiang dan kini ditahan di Mapolda untuk penyidikan lebih lanjut,” jelas Kombes Gustav.
Sementara itu, dalam konferensi pers di Banda Aceh kemarin, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, dan KontraS Aceh menduga ada diskriminasi dalam penangkapan ketujuh masyarakat dari dua kecamatan di Aceh Tamiang itu. Bahkan, mereka mengklaim pasal yang disangkakan polisi masih sangat luas dan kabur.
Di sisi lain, Koordinator tim kuasa hukum masyarakat, Chandra Darusman mengatakan dalam konflik ini masyarakat hanya ingin mempertahankan lahan seluas 144 hektar.
Dalam upaya penyelesaiannya, PT Rapala menyampaikan tiga opsi kepada masyarakat melalui forum pertemuan antara masyarakat, PT Rapala, dan Pemkab. Ketiga opsi tersebut adalah, petama masyarakat akan diberikan lahan sebesar 50 persen dari 144 hektare.
Kedua masyarakat ditawarkan menerima ganti rugi Rp 350 juta dengan harapan masyarakat tak lagi menduduki perkebunan dan melarang pengangkutan hasil panen.
Ketiga, jika dua tawaran ini tidak diterima masyarakat, maka perusahaan akan melakukan upaya hukum.
“Karena masyarakat yakin yang diperjuangkan adalah hak mereka, maka mereka tetap bertahan dan mengambil risiko ini,” demikian Chandra.
Kuasa Hukum PT Rapala, Refman Basri SH dalam siaran persnya dikirim ke Serambi tadi malam menyebutkan, sebenarnya PT Rapala tidak ada persoalan dengan masyarakat. Karena areal perkebunan itu telah ada HGUnya.
Tapi karena PT Rapala punya iktikat baik untuk menyelesaikan masalah itu secara baik dan bermartabat, maka telah dilakukan mediasi sebanyak 14 kali dengan masyarakat dan pemerintah daerah.
Selain itu, kata Refman Basri dalam siaran pers yang juga ditandatangani Humas PT Rapala Edi Mulyono itu, perusahaan perkebunan itu juga telah memenuhi kewajibanya soal CSR untuk lingkungan perusahaan, termasuk bantuan untuk masjid, serta lembaga pendidikan yang ada.
Disebutkan, sudah sembilan bulan para karyawan PT Rapala tidak bisa bekerja, sehingga kebun jadi telantar karena dilarang oleh masyarakat masuk ke areal tersebut. Selain itu, kebun juga dirusak oleh masyarakat.
“Ini sangat merugikan klain kami, dan perusahaan sudah menahan diri hingga sembilan bulan, sehingga kami melaporkan hal itu ke Polda Aceh,” tulis Refman Basri SH.
Selain itu, Refman juga mengatakan, pelaporan ke Polda itu juga agar investor tak segan-segan berinvestasi di Aceh Tamiang, seperti janji Gubernur Aceh bahwa investor dijamin keamanannya jika menanam modal di Aceh.
“Ini persoalan hukum, maka PT Rapala telah menyerahkan hal itu ke Polda Aceh untuk menyelesaikan sesuai hukum yang berlaku,”ujar Refman Basri. (sal/mz/mis/rel/serambinews)
Foto : Ilusreasi/blogspot