Ilustrasi "Ironi Pemimpin Negeri Kabut Asap" Oleh: M. Anwar Siregar Petaka kabut asap berulang kembali, 100 hektar lahan ...
Ilustrasi "Ironi Pemimpin Negeri Kabut Asap" |
Petaka kabut asap berulang kembali, 100 hektar lahan terbakar lagi di Riau awal tahun ini dan pembelajaran kabut asap ternyata manis di bibir, ucapan para pemimpin yang seringkali menyebutkan kata-kata ”kabut asap ini yang jangan berulang kembali”, atau kejadian bencana kabut asap harus diambil hikmahnya agar tidak berdampak lebih luas, dan sejumlah kata-kata manis dari para pemimpin di Propinsi kabut asap seperti Kaltim, Kalteng, Jambi, Sumsel dan Riau.
Tidak mengherankan bencana kabut ini sebenarnya lebih difokuskan pada “fundamental” yang lembek, karena semua Propinsi tersebut sangat kaya dengan sumber daya alam dan bersentuhan langsung dengan berbagai aspek ekonomi yang ada di kawasan hutan sebagai sumber peningkatan taraf hidup ekonomi dan kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi, hancur lebur dan berasap dimana-mana.
Pidana Tumpul
Jumlah hot spot di Sumatera dan Kalimantan terus meningkat sehingga indeks standar polutan (PSI) telah dalam angka membahayakan di beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan dan imbasnya sebetar lagi negara tetangga mengalami “kiriman asap” pahit, dampak dari pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pelaku usaha industri pekebunan, pertambangan, perambah dan pembukaan lahan bisa menjadi sumber utama penyebab bencana kabut asap, yang menghancurkan dan mengancam manusia dan keberlangsungan mata rantai kehidupan serta harus dimasukan kedalam kejahatan luar biasa yang patut ditangani secara khusus.
Tragisnya, walau sudah ditangani secara khusus hingga Presiden turun langsung ke lapangan namun bencana kabut asap masih tetap berulang, penyebabnya apa? Karena tumpulnya hukum pidana lingkungan, semua aturan mengenai lingkungan hidup sudah diatur dalam UU No 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH).
Hukum lingkungan sampai sekarang belum memberikan efek jera pidana bagi pelaku perusakan lingkungan terutama bencana kabut asap, dimana ketentuan dalam UU-PPLH ancaman pidana termuat dalam pasal 97-pasal 120 yang aturan pidana dan denda itu belum memberikan keadilan.
Akibatnya bukan sedikit perkara pencemaran lingkungan oleh kabut asap berakhir dengan vonis bebas bagi pelaku, akibat ketidakpahaman penyelidik hukum dan hakim dalam memberi vonis tuntutan hukum serta implikasi yang ditimbulkan bagi makhluk hidup di bumi.
Ironi Pemimpin Asap
Riau merupakan daerah yang paling sering membuat “ulah” kabut asap, disebabkan fundemental para pemimpinnya juga berulah, terlihat dari beberapa periode pergantian pemimpin gubernur/kab/kota di Riau, semua tidak mampu mengatasi ulah pelaku pembangkangan kabut asap dan mereka juga membuat semakin ironis Negeri Lancang Kuning itu dengan melakukan tindakan pidana di bidang kehutanan dan pemanfaatan alih fungsi lahan hijau yang melibatkan dana suap ratusan milyar.
Setiap kali terjadi bencana kabut asap melanda Riau dan Propinsi tetangganya maka kabut asap akan selalu menjadi situasi darurat di negeri jiran. Uniknya, yang melakukan tindakan pembakaran yang menimbulkan kabut asap antar lintas negara itu justrunya pelaku bisnis yang menguasai hutan-hutan di Riau dan Kaltim berasal dari Negara yang terkena imbas kabut asap yaitu Singapura dan Malaysia.
Perusahaan dan pelaku pembakaran dari kedua Negara ini belum cukup melakukan pembakaran juga melakukan penyeludupan kayu-kayu ke negara mereka dan juga terlibat penyuapan bagi pemimpin Riau melalui pihak ketiga untuk mengubah tata ruang hutan menjadi lahan pembukaan perkebunan yang maha luas.
Ironis itu semakin nampak jelas ketika Gubernur yang non aktif saat ini, Annas Maamun tidak mampu mengatasi predikat Riau sebagai negeri kabut asap selama masa memerintah singkat kekuasaan sejak tahun 2013-2014.
Riau tetap mengalami pembakaran lahan yang memuncak pada tahun 2013, Lebih parah lagi, ketika bencana kabut asap 2013 dan 2014 para pemimpin dari negeri kabut asap banyak tidak hadir rapat untuk melaporkan kejadian yang dialami Riau, Kaltim, Sumsel dan Jambi kepada Presiden sehingga mengundang reaksi keras presiden mengingat pentingnya seorang Gubernur khususnya Riau melapor langsung kepada Presiden ketika iru sesuai dengan sistim birokrasi kepemerintahan di Indonesia.
Yang dilakukan para pemimpin negeri kabut asap sejak tahun 2010 hingga ke tahun era presiden Joko Widodo, itu tindakan yang berlawanan, seakan tidak belajar dari pengalaman saat kebakaran dan lahan mengakibatkan bencana kabut asap nasional pada tahun 2013-2014. Bahkan, saat itu beberapa para pemimpin negeri kabut asap tidak mampu mengatasinya dan malah terlibat bencana suap.
Kabut asap itu mencapai Siangpura dan Malaysia yang memaksa mantan Presiden SBY meminta maaf. “Kerja gubernur dan bupati/wali kota, dari dimensi pencegahan, sangat kurang sehingga ini terjadi lagi,” kata Presiden. Dan bukti ucapan itu masih berulang kembali, dengan ditemukan sejumlah hot spot baru oleh satelit NOAA di daratan Pulau Sumatera pada tahun 2015.
Mantan Presiden mengaku telah menerima sekitar 9.000 berita mengenai kondisi bencana kabut asap dan kebakaran lahan di hutan Riau, Sumsel, Jambi lewat berbagai media sosial, Presiden mengatakan banyak menerima pesan yang mayoritas berisi kemarahan warga Riau terhadap buruknya kinerja para pemimpin mereka dalam penanganan kebakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan bencana asap berulang.
Memang untuk tahun 2014 kebakaran yang menyebabkan kabut asap sekarang ini diambil alih oleh Propinsi Sumsel. Tetap saja Riau sebagai negeri penghasil kabut asap, kemampuan mengatasi kabut asap justrunya terlibat skandal suap milyaran rupiah akibat dari permainan alih fungsi lahan sehingga mengundang reaksi keras presiden, yang terlihat kurang puas. Dan sekarang Presiden Jokowi melanjut rasa dampak tersebut.
Dan harus jadi pembelajaran bagi para pemimpin propinsi kabut asap agar tidak mudah teriming kasus suap, tidak gampang memberikan izin begitu saja jika pada akhir hanya membangkitkan kemarahan rakyat akibat adanya pembakaran lahan menimbulkan kabut asap setiap tahun.***
Penulis adalah pemerhati masalah Tata Ruang dan Lingkungan, Energi Geosfer.