HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Mengolah Pelepah Sawit Jadi Pundi Rupiah

suara-tamiang.com , Aceh Tamiang |   Waktu adalah uang, begitu dikatakan orang bijak. Ketika kita dapat memanfaatkan waktu dengan baik, te...

suara-tamiang.com, Aceh Tamiang |  Waktu adalah uang, begitu dikatakan orang bijak. Ketika kita dapat memanfaatkan waktu dengan baik, tentu dapat menambah penghasilan.

Tak ubahnya yang dilakukan Satiman (48), warga Desa Madang Ara, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, yang dalam dua tahun terakhir memanfaatkan waktu luangnya untuk menganyam pelepah daun kelapa sawit menjadi produk yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.

Bahan baku yang melimpah dan mudah didapat di perkebunan sekitar rumahnya, jadi peluang bagi Satiman. Dengan mengasah keterampilan, dia akhirnya bisa mengolah pelepah kelapa sawit tersebut menjadi anyaman tepas.

Pekerjaan itu dilakukannya di sela waktu mengerjakan tugas utamanya sebagai karyawan perkebunan swasta, PT Sucofindo.Usai bekerja, sekitar pukul 14.00 WIB, pria paruh baya ini langsung menggelar bahan anyaman dari pelepah, dia bekerja di perkarangan rumahnya.

Dalam sehari, Satiman yang dibantu dua rekannya mampu membuat empat sampai enam lembar tepas.Harga tepas dari pelepah kelapa sawit itu bervariasi, tergantung tampilan atau motif, berkisar Rp 38.000 sampai Rp 48.000 per lembar.

"Motif yang tersedia saat ini ada empat, yakni biasa, jarik, serta batik kecil dan besar. Yang paling mahal motif batik kecil, sekitar Rp 50.000/keping dengan ukuran 2x2 meter atau menyamai ukuran triplek," papar Satiman saat disambangi, di komplek perumahan PT Sucofindo, Jalan Lintas Medan-Banda Aceh kawasan Medang Ara, Karang Baru, Selasa (14/10).

Satiman mengaku saat ini kewalahan menghadapi pesanan pelanggan, terkadang dia harus lembur sampai larut malam demi menyelesaikan pesanan.

"Jika pesanan banyak, terkadang kami merajut tepas hingga pukul dua malam," sambungnya.Namun begitu, bapak lima orang anak ini tidak pernah mengabaikan tugas pokoknya.

Baginya, kewajibanya sebagai seorang karyawan tetap dinomorsatukan.Diceritakan, selain pesanan dari daerah sekitar, dia juga mendapat order dari luar daerah seperti Langsa dan Peurelak, Aceh Timur.

Dulu, sewaktu dia masih tinggal di komplek Pondok Dalam, pesanan dinding tepas itu terbilang minim, sehingga dia dan sejumlah rekan malas memproduksinya karena jarang ada pembeli.

"Mungkin karena lokasinya di dalam jadi banyak orang tidak tahu. Semenjak kami pindah rumah di pinggir jalan raya, pesanan datang bertubi-tubi sampai membuat kami keteter," lanjut Satiman yang diamini rekannya, Yudi dan Legimin.

Baru-baru ini Satiman menyelesaikan pesanan pelanggan dari daerah Peurelak sebanyak 40 keping dan pelanggan asal Medan, Sumatera Utara, sebanyak 10 keping.Menurutnya, sejumlah mahasiswa dari salah satu universitas di Kota Langsa juga pernah PKL di bengkel kerajinan tangannya ini.

Mereka belajar bagaimana cara membuat tepas dari pelepah kelapa sawit sampai terlibat menjualnya. Rata-rata mahasiswa itu belajar motif batik kecil yang tingkat kesulitanya tinggi.lelaki kelahiran Tebingtinggi, Sumatera Utara, ini mengaku sudah menggeluti kerajinan anyaman tepas sekitar 10 tahun. Sejauh ini dia mampu mempekerjakan dua orang khusus untuk mencari bahan baku, dan satu lagi membantunya menganyam.

Terkadang jika pesanan ramai, istri Satiman ikut ambil bagian menyelesaikan orderan tersebut. "Untuk menyelesaikan satu keping tepas, memerlukan bahan baku sebanyak 42 sampai 45 pelepah kelapa sawit. Sedangkan harga pelepah siap anyam Rp 350/kg," katanya.

Hasil dari penjualan tepas tersebut digunakan untuk biaya anak sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di luar gajinya sebagai karyawan. (dede/stc)

Foto : Ilustrasi/amy-amy.com