HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pilkada Melalui DPRK Diantara Kepentingan Wakil Partai

Oleh : Saiful Alam, SE Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada antara Pemerintah dengan DPR akan menemui kesepakatan pada ...



Oleh : Saiful Alam, SE

Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada antara Pemerintah dengan DPR akan menemui kesepakatan pada 23 September ini. Selanjutnya RUU Pilkada ini akan dibawa ke Paripuna DPR untuk disahkan pada 25 September. Saat ini pembahasannya masih berjalan alot. Ada dua kubu yang berseberangan dalam pembahsan RUU Pilkada ini. Kubu pertama dari PDIP, PKB dan Hanura, kubu ini menginginkan pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota tetap seperti sebelumnya yaitu dipilih langsung oleh Rakyat

Sementara Kubu kedua dari Partai Koalisi Merah Putih (KMP) yakni Golkar, Gerindra, PKS, PAN, PPP dan Demokrat ( partai partai kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres ) ini menginginkan pemilihan kepala daerah diambil alih DPRK sama seperti zaman orde baru, namun dalam perkembangan terakhir, Demokrat merubah sikapnya dengan mendukung Pilkada Langsung oleh Rakyat. KMP lainnya yang kemungkinan akan mengikuti jejak Demokrat yaitu PPP.

Selain opsi yang menjadi kontrovensi itu, pemerintah juga mengusulkan opsi lainnya yaitu pemilihan Gubernur Langsung sedangkan Bupati/Walikota dipilih melalui DPRK. Opsi yang juga diajukan Pemerintah yaitu Pilkada tidak satu paket, yang dipilih langsung hanya Gubernur dan Bupati/Walikota sementara wakilnya akan ditunjuk oleh kepala daerah terpilih melalui persetujuan DPRK.

Alasan opsi yang diajukan pemerintah ini karena sering tidak akurnya kepala daerah menjelang berakhirnya masa jabatan mereka disebabkan sama sama ingin mencalonkan diri. Hal inilah membuat pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik yang akhirnya merugikan masyarakat. Dengan ditunjuk oleh kepala daerah terpilih kemungkinan pecah kongsi dapat dihindari.

Alasan opsi Bupati/Walikota tidak dipilih langsung, agar tidak ditemukan lagi Bupati/Walikota yang berani melawan atau tidak mengakui keberadaan Gubernur, yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Ini bertujuan agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tidak tunduknya Bupati/Walikota tidak kepada Gubernur karena mereka merasa dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh gubernur.

Alasan yang diutarakan pemerintah ini memang ada benarnya, namun mungkin lebih tepat jika gubernur sebagai pemerintah Tingkat I yang merupakan wakil pemerintah pusat yang diangkat atau dipilih presiden dengan persetujuan DPRK setempat. Karena sebagai wakil pemerintah pusat gubernur hanya bertugas mengawal dan berkoordinasi supaya pembangunan di daerah tersebut sesuai dengan kebijakan pusat. Gubernur tidak memiliki akses langsung ke masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Sedangkan Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu Bupati dan Walikota, sesuai semangat otonomi daerah adalah ujung tombak pembangunan daerah, merekalah yang langsung berhubungan langsung dengan rakyat dan mengetahui kondisi masyarakat. Dengan demikian mereka bisa membuat perencanaan yang tepat dalam membangun daerah dan rakyatnya. Dengan kondisi ini kepala daerah tingkat II atau bupati/walikota lebih tepat dipilih langsung oleh rakyat, karena rakyat bisa langsung menilai siapa pemimpin yang layak bagi mereka.

Apa yang diusulkan pemerintah dalam RUU Pilkada ada plus minusnya, namun bagaimanapun juga pilkada langsung untuk gubernur maupun bupati/walikota tetap lebih baik karena mengikut sertakan rakyat dalam membuat keputusan. Kekurangan yang ada selama ini terjadi sebenarnya bisa diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan, seperti dibuat peraturan spesifik tentang hubungan kerja gubernur dengan bupati/walikota, begitu juga hubungan kerja antara pasangan kepala daerah agar tidak ada lagi yang pecah kongsi di tengah jalan.

Hal sebenarnya yang menjadi masalah dalam RUU Pilkada ini adalah adanya agenda yang diusung  KMP untuk mengembalikan pilkada kepada DPR, langkah ini benar benar kontroversi, ganjil dan mengejutkan, kejanggalan ini juga bisa dilihat dari manuver sejumlah parpol di DPR yang sebelumnya getol menginginkan pilkada lewat DPRK. Seperti yang diungkapkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan dibeberapa media belum lama ini, sebelum pilpres hanya Demokrat dan PPP yang mendukung opsi Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota lewat DPRK. Namun setelah hasil pilpres diketahui dan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan pemenangnya, semua tiba tiba berubah arah, rasanya bukan hanya orang yang mempunyai wawasan tinggi mengerti ke mana arahnya, anak SD saja tahu ada udang di balik peyek.

Ada sejumlah alasan untuk memuluskan opsi pilkada lewat DPRK, seperti besarnya biaya dan pecahnya konflik antar para pendukung calon yang telah cukup banyak memakan korban nyawa dan materi. Ini memang fakta tidak bisa dibantah, namun harus diingat itu suatu proses yang harus dilalui agar bangsa kita menjadi negara yang benar benar demokratis. Setiap rencana dan target tidak bisa dicapai dengan tiba tiba dan tanpa hambatan. Tentu ada proses harus dilalui agar sesuatu itu sampai pada titik yang kita inginkan atau sempurna.

Kita bisa mengambil contoh negara negara lain, khususnya negara maju. Amerika Serikat misalnya. Perjalanan demokrasi Negara Paman Sam hingga saat ini. Sebelumnya telah mengorbankan nyawa dan materi tak terhingga, bahkan Presiden AS pun ikut menjadi korban. Hingga kini di Amerika Serikat semua Gubernur negara bagian dipilih langsung oleh rakyat, tetapi ditingkat kota dan municipality pemilihan kepala daerah tidak seragam.

Mereka dan negara negara lain telah membuktikan pemilihan langsung oleh rakyat bagaimanapun juga lebih baik karena melibatkan langsung rakyat. Jadi sangatlah naif jika negara kita kembali ke sistem pemilihan oleh DPRK. Ini merupakan kemunduran besar yang sangat merugikan negara kita.

Jika Pilkada dikembalikan ke DPRK, sekalian saja pilpres dikembalikan pada DPR dengan begitu sia-sia perjuan reformasi yang telah mengorbankan begitu banyak nyawa dan materi. Karena inti dari reformasi adalah mengembalikan kedaulatan negara kepada rakyat. DPR dan DPRK memang wakil rakyat, tapi partailah yang memengang kendali mereka. Pencalonan mereka lewat partai . partai yang memiliki kewenangan menetapkan calonnya bukan rakyat, rakyat hanya diberi pilihan nama-nama yang kadang kala mereka tidak kenal. Semua sudah tahu mereka yang bermodal besar lebih berpeluang lolos menjadi anggota DPRK dan DPR. Hanya segelintir saja yang beruntung, terpilih karena kerja keras dan diterima serta disenangi rakyat. Jadi apakah benar-benar DPRK atau DPR itu wakil rakyat ? yang tetap mereka wakil partai.

Tidak setujunya rakyat Indonesia pilkada dikembalikan ke DPRK dapat dilihat dari hasil jajak pendapat salah satu koran terbesar di tanah air beberapa hari lalu. Dalam jajak pendapat tersebut 91% responden setuju pelaksanaan pilkada langsung ketimbang melalui pemilihan di DPRK, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kebanyakan beralasan pilkada melalui DPRK tidak demokratis dan menghapus hak konstitusi. Alasan lain, pilkada langsung harus dilakukan karena rakyat lebih mengetahui siapa patut menjadi pemimpin mereka ketimbang anggota parlemen.

Penulis adalah Ketua Panwaslu Kabupaten Aceh Tamiang