HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Utak Atik Nasib Pendukung Capres Usai Putusan MK

Oleh : Saiful Alam, SE Sejak era reformasi bahkan sejak orde lama hingga orde baru, ini pertamakalinya hasil Pilpres digugat ke Mahkamah...

Oleh : Saiful Alam, SE

Sejak era reformasi bahkan sejak orde lama hingga orde baru, ini pertamakalinya hasil Pilpres digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian ini adalah pertama kalinya sejak Pilpres langsung oleh rakyat pesertanya hanya dua pasangan calon. Catatan lain yaitu tingginya antusias rakyat atau pemilih menggunakan hak pilihnya dibandingkan Pilpres sebelumnya. 

Pada Pilpres 2014 ini juga Golkar yang merupakan partai paling sarat pengalaman pertama kalinya tidak mengusung calon sendiri. Padahal Golkar adalah peraih suara terbanyak kedua di bawah PDIP pada Pemilihan Umum Legeslatif lalu. Catatan yang tak kalah penting, Pilpres 2014 diwarnai rencana pembentukan Pansus di DPR. Hanya dua pasangan calon yang menjadi peserta Pilpres memiliki plus minus. Ya, dengan hanya dua pasangan yang ikut biaya pelaksanaan Pilpres tentu akan lebih ringan. Karena Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran. 

Namun, dengan hanya dua pasangan yang menjadi peserta persaingan pun menjadi lebih panas dan menjadi tidak sehat. Ini sudah terlihat sebelum Pilpres digelar. Isu-isu negatif yang tak jelas kebenarannya digunakan untuk menjatuhkan salah satu kubu. Bahkan isu-isu yang dilontarkan sudah mengarah ke fitnah dengan tujuan merusak image dan nama baik pasangan tertentu. Ambisi salah satu kubu untuk memenangkan Pilpres memicu ini terjadi. 

Pernyataan siap menang dan siap kalah sebelum Pilpres digelar terbukti hanya janji manis belaka. Berbagai alasan yang dilontarkan untuk membenarkan sikap ini terlihat terlalu dicari-cari. Bahkan ada yang terlihat sangat tidak logis atau masuk akal. Apa yang terjadi tak ubahnya seperti sebuah sinetron yang mendominasi tv-tv di negara ini. Hampir semua sinetron yang disajikan selalu menampilkan tokoh yang akan melakukan apa saja untuk menjatuhkan atau menyingkirkan saingannya. 

Namun lucunya cara-cara yang digunakan kadang terlalu vulgar, gampang, dan kasar, seakan-akan tidak ada yang membatasi dan takut lagi pada siapapun. Nah ini juga yang terlihat dalam Pilpres kali ini. Berakhirnya Pilpres hingga ke MK bahkan ke Pansus, sebenarnya juga sudah mulai tercium sebelum Pilpres digelar dan terus berlanjut. Sebelum Pilpres salah satu kubu yang merasa elektabilitasnya tertinggal melancarkan berbagai serangan berbau SARA kepada pribadi pasangan calon lawan. 

Dan kebanyakan tidak terbukti. Ini jelas bertujuan menurunkan tingkat elektabilitas pasangan tersebut. Ini dilanjutkan dengan tuntutan penundaan pengumuman rekapitulasi dan puncaknya Prabowo-Hatta 'menarik diri' dari Pilprres saat KPU akan mengumumkan hasil resmi Pilpres. Iya dengan berbagai alasan yang kebanyakan adalah tudingan telah terjadi kecurangan, kubu Prabowo-Hatta akhirnya menggugat hasil Pilpres dan KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Dengan persiapan yang sangat minim dan bukti yang tidak kuat kubu Prabowo-Hatta tetap maju. Meski hasil Pilpres sedang disidangkan di MK, serangan-serangan kepada pasangan Jokowi-Jk oleh para pendukung yang ada di sekitar Prabowo terus dilontarkan bahkan makin menyesatkan. Kenapa ini bisa terjadi? Kengototan dan tak rela kalahnya kubu Prabowo-Hatta tentunya ada yang melatarbelakanginya. Jika kita melihat siapa saja yang ada kedua kubu, terutama kubu Prabowo-Hatta sebenarnya cukup menjelaskan kondisi ini. 

Dengan mengikuti perjalanan dari awal terbentuknya dua kubu pasangan calon, penulis setuju dengan pendapat yang dilontarkan sejumlah pengamat politik, yang melihat sebenarnya ada dua pihak berbeda di kubu Prabowo-Hatta. Pertama adalah mereka yang hanya mempunyai pilihan menang. Kelompok ini terdiri dari Prabowo sendiri, Aburizal Bakrie, PKS, Suryadharma Ali, MS Kaban dan lain-lainnya. Sedangkan grup kedua yaitu mereka yang siap menerima kekalahan. 

Nah kelompok ini terdiri dari Hatta Rajasa, Mahfud MD, dan PPP selain Suryadharma Ali. Sudah pasti ada alasan kenapa kelompok pertama tidak mau atau tidak bisa menerima kekalahan. Bagaimanapun caranya harus menang! Karena jika sampai kalah, Prabowo, adiknya Hasyim dan pendukung dekat mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar jika melihat besarnya dana yang mereka keluarkan untuk menjadikan Prabowo Presiden. 

Dukungan finansial yang sangat besar diberikan karena Pilpres ini bisa dikatakan kesempatan terbesar dan terakhir Prabowo. Jika kita melihat sekilas ke belakang, Prabowo sempat menjadi calon presiden terkuat, sebelum nama Jokowi masuk bursa pencalonan. Kesuksesan Jokowi menjadi Wali Kota Solo, terutama caranya mengatasi berbagai persoalan dengan cara berbeda dan tidak seperti pemimpin lainnya mulai mengangkat namanya. Namun, saat itu ia belum terlalu diperhitungkan. Sebenarnya Prabowo sudah menyadari potensi Jokowi yang bisa menjadi batu sandungan baginya merebut kursi RI. 

Langkah Prabowo saat menduetkan Jokowi-Ahok sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta mungkin bertujuan agar bisa mengikat Jokowi. Dengan posisi Gubernur DKI yang baru dijabat, Jokowi tentu memiliki sangat banyak tugas yang harus dilaksanakan mengingat kompleksnya permasalahan di Jakarta. Dengan begitu, Jokowi diharapkan tidak akan ikut Pilpres. Namun rencana ini tidak berjalan sesuai dengan harapan. Meski Jokowi awalnya menyatakan komitmennya tidak akan ikut Pilpres dan fokus menjalankan tugasnya sebagai gubernur, dalam perjalanannya ini berubah. 

Desakan terus menerus dari sejumlah pihak terutama sebagian besar rakyat Indonesia yang ingin Jokowi ikut Pilpres makin-hari makin tak terbendung. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP pun sempat dibuat sewot karena terus didesak untuk segera mengumumkan dan mendeklrasikan pencalonan Jokowi sebagai presiden. Melihat arus dukungan yang kuat untuk Jokowi dan peluang besar kader PDIP kembali menjadi presiden, Megawati pun menunjuk dan mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden. Jadi sebenarnya Jokowi tidak salah atau melanggar janjinya. 

Sebagai kader partai yang baik, mau tak mau ia harus mengikuti keputusan partai demi kepentingan yang lebih besar yaitu Indonesia, bukan hanya Jakarta. Prabowo langsung menyerang Megawati karena PDIP mencalonkan Jokowi presiden. Alasannya pada Pemilu sebelumnya ketika mereka berpasangan Megawati calon presiden dan Prabowo calon wakil presiden, ada perjanjian jika kalah maka pada Pemilu selanjutnya PDIP akan mendukung Prabowo sebagai presiden. Nah ternyata pada Pemilu 2014 ini PDIP mencalonkan kadernya sendiri yaitu Jokowi. 

Sama dengan Prabowo Aburizal Bakrie (Ical), yang dalam beberapa tahun terakhir bisnisnya mengalami berbagai persoalan. Salah satunya Lapindo yang telah menyedot banyak ang dan tenaganya. Ini ditambah kasus pajak yang dialami perusahaan-perusahaannya. Kalah dalam pilpres berarti habis! Ajang pilpres 2014 sangat diharap menjadi momen 'kebangkitan' bagi Ical. Baik secara politik maupun bisnis. Banyak yang menduga, Ical akan mengalami kebangkrutan setelah kegagalan pilpres ini. Jabatannya sebagai ketum Golkar juga dipastikan akan lepas.Pilpres ini seperti harapan terakhir bagi Ical. Jadi bisa dipahami mengapa dia menjadi bagian dari kelompok yang tidak bisa menerima kekalahan. 

Sedangkan PKS tidak memiliki pilihan lain karena jelas kubu sebelah tidak menerima mereka. Karena ingin terus menikmati keuntungan seperti saat bergabung dengan koalisi pemerintah. Makanya mereka tidak ada memiliki pilihan untuk kalah. Jika kalah mereka nantinya tidak akan mendapatkan apa-apa. Maka tidak heran jika mereka menjadi ujung tombak suara-suara ketidak puasan, tuduhan-tuduhan palsu dan pembentukan opini sesat akibat kekalahan pilpres. Sedangkan di pihak yang mempunyai pilihan kalah salah satunya Hatta Rajasa. Sikap ini terlihat saat ia tidak ikut menandatangi penarikan diri dari KPU. Selain itu ia juga jarang terlihat mendampingi Prabowo. 

Untuk Mahfud MD, ia tentu tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuat nama baiknya selama ini tercoreng. Dalam hal ini ia tetap memegang prinsip-prinsipnya dan membatasi diri dalam koridor tertentu agar tidak ikut kebablasan. Selain yang disebutkan di atas masih ada beberapa nama yang juga terancam jika Prabowo-Hatta kalah. Fadli Zon, Fahri Hamzah, Idrus Marham, dan lain-lainnya. Peranyataan-pernyataan atau lebih sebagi tuduhan sesat sering dilontarkan mereka. Ini tak lain usaha agar Prabowo menang. Usaha yang terlihat sudah melampaui batas ini dilakukan karena mereka sadar apa dampak dari kekalahan Prabowo-Hatta pada mereka. Bahkan skenario jika seandainya kalah di MK telah dipersiapkan kubu Prabowo yaitu mengadakan pansus Pilpres. 

Dalam Pansus ini nantinya akan diputuskan bahwa penyelenggaraan pilpres 2014 adalah tidak sah secara politik. Maka pilpres pun batal demi hukum. Ujungnya pansus merekomendasikan kepada MPR untuk tidak melantik Jokowi-JK sebagai presiden. Kubu ini cukup yakin akan berhasil lewat Pansus karena memiliki koalisi yang besar di DPR. Sebagai rakyat Indonesia tentu kita tidak mengharapkan kondisi ini. Seharusnya usai Pilpres, kubu yang bersaing bisa kembali bersatu demi kepentingan bangsa dan negara. Semoga para elite politik sadar apa yang mereka perjuangkan hanya kepentingan yang kecil. Untuk itu seharusnya mereka sadar dan mau berkorban demi kepentingan yang lebih besar yaitu rakyat Indonesia.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Politik Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia 2014, berdomisili di Aceh Tamiang