HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Mangrove di Pesisir Tamiang Makin Kritis

ACEH TAMIANG | STC - Berdasarkan peta arahan fungsi hutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan peta penunjukan kawasa...

ACEH TAMIANG | STC - Berdasarkan peta arahan fungsi hutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan peta penunjukan kawasan hutan perairan Provinsi Aceh, sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 170/kpts-II/2000 tanggal 29 Juni tahun 2000, terinci luas hutan bakau (mangrove) yang dimiliki Kabupaten Aceh Tamiang terbagi di antaranya seluas 5.000 hektare hutan lindung mangrove, 12.000 hektare hutan produksi tetap dan 1.300 hektare areal penggunaan lain (APL) yang tersebar pada empat kecamatan yaitu Manyak Payed, Banda Mulia, Bendahara dan Seruway. 

Hutan penahan abrasi di kawasan pesisir telah gagal diselamatkan Pemkab Aceh Tamiang, dilatarbelakangi lemahnya fungsi pengawasan serta penindakan oleh dinas terkait.

"Kegagalan Pemkab Aceh Tamiang bukan tidak beralasan, terbukti dalam kurun delapan tahun terakhir instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan belum mampu menindak dalam fungsi penyelamatan keberlangsungan mangrove tersebut," kata Direktur Eksekutif LembAHtari Sayed Zainal M SH di Karang Baru, Selasa (10/6).

Buktinya, menurut Sayed, khusus di empat kecamatan pesisir tersebut luasan hutan mangrove terus jauh berkurang dari tahun ke tahun akibat sejumlah indikasi yakni dirambah secara massal dengan dalih mata pencarian, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran, dan ulah pengusaha hitam yang telah membabat habis mangrove untuk dijadikan petakan tambak.

Sementara berdasarkan data penutupan lahan hasil foto Citra Landsat pada tahun 2007 yang dilakukan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, hutan mangrove sekunder hanya tinggal 6.983 hektare, 94 hektare semak belukar, seluas 8,60 hektare belukar rawa, areal tambak mencapai 4.811,44 hektare dan lahan perkebunan seluas 584,73 hektare. 

"Dari data ini menunjukkan, bahwa telah jauh berkurang hutan mangrove di daerah pesisir Seruway, Manyak Payed, Banda Mulia dan Bendahara, dalam kondisi kritis setiap tahun," tambahnya.

Untuk itu LembAHtari sangat menyesalkan sikap pemerintah daerah yang tidak komit terhadap pengelolaan, pembinaan dan penyelamatan sumber daya alam sesuai yang tertera dalam visi dan misi bupati dan wakil bupati, terutama menyangkut penyelamatan hutan. 

Di sisi lain, kata aktivis lingkungan ini, aturan tegas sudah diberlakukan bagi siapa saja yang melakukan alih fungsi hutan mangrove, mengerjakan, menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan tersebut, maka dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar dengan dasar pelanggaran terhadap Undang-undang Kehutanan pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo pasal 78 ayat (2) UU Nomor 41/1999.

Sayed Zainal juga mempertanyakan posisi Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang yang menurutnya sudah terlalu langgeng menduduki jabatan tersebut, namun belum bisa menunjukkan kinerjanya secara maksimal bahkan nyaris lumpuh di setiap program-program yang dicanangkan. 

"Sudah tujuh tahun Syahri SP menjadi Kadishutbun, namun masih belum menorehkan prestasi kerja," singgung Sayed.

Dijumpai di kantornya kemarin, Syahri mengatakan, usai Pilpres 2014 pihaknya mewacanakan duduk setikar dengan segenap elemen masyarakat termasuk pegiat arang, instansi vertikal, LSM bahkan unsur pers yang bertujuan mencari solusi terkasi permasalahan lingkungan itu.

"Terkait isu arang bakau, dinas sudah pernah melakukan penindakan di lapangan, namun ujung-ujungnya terjadi bentrok fisik antara petugas dengan masyarakat penggiat arang, hal ini menjadi permasaalahan yang dilematis bila ditinjau dari sudut pandang sosial ekonomi masyarakat," kata Syahri yang didampingi Kabid Konservasi dan Perlindungan Hutan Edwar Latief.(Medanbisnis/ck05)

Foto: Ilustrasi/cam.ac.uk