ACEH TAMIANG | STC - Warga empat desa, yaitu Tengku Tinggi, Paya Rehat, Tanjung Lipat dan Senebok Aceh kembali berdemo untuk melarang pih...
ACEH TAMIANG | STC - Warga empat desa, yaitu Tengku Tinggi, Paya Rehat, Tanjung Lipat dan Senebok Aceh kembali berdemo untuk melarang pihak memanet sawit di lahan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang diklaimnya hak mereka, Senin (19/5).
Untuk mengantisipasi hal-hal tak diinginkan,PT Rapala meminta bantuan aparat Polres Aceh Tamiang dan dua pleton Brimob 2B Polda Aceh, Aramiah guna mengamankan ke lokasi itu.
Namun, hingga kemarin, petinggi Polres Aceh Tamiang masih bernegosiasi agar warga mengizinkan PT Rapala memanen sawit di kebun itu karena secara hukum lahan yang dipermasalahkan itu masuk dalam HGU perusahaan tersebut.
Tokoh masyarakat mewakili pendemo, Zainuddin mengatakan warga melarang perusahaan memanen sawit karena hingga kini belum ada kejelasan penyelesaian lahan yang mereka minta dikeluarkan dari HGU itu.
Ia meminta Pemkab harus bertanggung jawab mengembalikan lahan untuk warga, karena perwakilan warga sudah berbicara dengan Bupati sekitar Februari lalu dan ketika itu Bupati menjawab PT Parasawita dan PT Rapala sama sekali belum memperpanjang HGU.
“Masyarakat juga khawatir terbalik fakta, bahasa pergantian lahan Rp 5.000 ketika itu. Mereka tidak pikir bagaimana masyarakat rugi dan kami minta dikeluarkan lahan dari HGU ketika HGU mau habis.
Alasan lain, sampai kini Pemkab belum membentuk tim hasil dari kesepakatan di Polres Aceh Tamiang baru-baru ini,” Zainuddin.
Di lapangan, warga sudah mulai berkumpul sejak pukul 07.00 Wib di beberapa tenda yang dibangun warga sebagai titik kosentrasi pendemo di lahan kebun yang mereka namakan tanah garapan.
Sebagian dari pendemo kaum ibu-ibu, anak-anak. Mereka membawa perbekalan makan siang dan sebagian nginap ditenda.Amatan Serambi kemarin di lokasi kebun, para pemanen sawit dari perusahaan itu sejak pagi pukul 07.00 WIB sudah kumpul di blok 10 PT Rapala.
Mereka tidak langsung ke lokasi lahan yang dipermasalahkan warga karena warga melarang mereka memanen sawit itu.
Manajer Kebun, Syafrul mengatakan langkah penyelesaian masalah ini sudah dibantu pihak Pemkab dan Polres. “Kita menyerahkan penyelesainnya ke Pemkab, kita menunggu penyelesaian itu,” kata Syafrul menjawab Serambi kemarin.
Sementara itu, Asisten kebun, Sukirman mengatakan sawit di lahan 144 hektare ini seharusnya sudah empat hari lalu bisa dipanen, namun karena warga melarang sehingga belum dilakukan.
Hasil sawit di lahan itu mencapai 15 ton sekali panen setiap seminggu sekali.Bupati Aceh Tamiang, Hamdan Sati mengatakan Pemkab akan membentuk tim pencari fakta terkait sengketa ini.
Ia menceritakan dulu ada dua kali pembayaran oleh PT Parasawita tahun 1998 kepada warga empat desa itu. Lahan dikeluarkan dari HGU, sah jika untuk fasilitas umum.
Bupati juga menegaskan sejauh ini tak mengeluarkan rekomendasi agar hal ini juga menjadi bahan untuk tim pencari fakta.
“Kita juga sudah buat surat permohonan ke BPN, minta lahan 144 dikeluarkan, karena waktu itu kita tidak tahu SK HGU belum ke luar,” timpal Wabup Iskandar Zulkarnain yang mendampingi bupati usai rapat paripurna di DPRK Tamiang. (Serambinews/md)
Foto: Ilustrasi/blogspot.com
Untuk mengantisipasi hal-hal tak diinginkan,PT Rapala meminta bantuan aparat Polres Aceh Tamiang dan dua pleton Brimob 2B Polda Aceh, Aramiah guna mengamankan ke lokasi itu.
Namun, hingga kemarin, petinggi Polres Aceh Tamiang masih bernegosiasi agar warga mengizinkan PT Rapala memanen sawit di kebun itu karena secara hukum lahan yang dipermasalahkan itu masuk dalam HGU perusahaan tersebut.
Tokoh masyarakat mewakili pendemo, Zainuddin mengatakan warga melarang perusahaan memanen sawit karena hingga kini belum ada kejelasan penyelesaian lahan yang mereka minta dikeluarkan dari HGU itu.
Ia meminta Pemkab harus bertanggung jawab mengembalikan lahan untuk warga, karena perwakilan warga sudah berbicara dengan Bupati sekitar Februari lalu dan ketika itu Bupati menjawab PT Parasawita dan PT Rapala sama sekali belum memperpanjang HGU.
“Masyarakat juga khawatir terbalik fakta, bahasa pergantian lahan Rp 5.000 ketika itu. Mereka tidak pikir bagaimana masyarakat rugi dan kami minta dikeluarkan lahan dari HGU ketika HGU mau habis.
Alasan lain, sampai kini Pemkab belum membentuk tim hasil dari kesepakatan di Polres Aceh Tamiang baru-baru ini,” Zainuddin.
Di lapangan, warga sudah mulai berkumpul sejak pukul 07.00 Wib di beberapa tenda yang dibangun warga sebagai titik kosentrasi pendemo di lahan kebun yang mereka namakan tanah garapan.
Sebagian dari pendemo kaum ibu-ibu, anak-anak. Mereka membawa perbekalan makan siang dan sebagian nginap ditenda.Amatan Serambi kemarin di lokasi kebun, para pemanen sawit dari perusahaan itu sejak pagi pukul 07.00 WIB sudah kumpul di blok 10 PT Rapala.
Mereka tidak langsung ke lokasi lahan yang dipermasalahkan warga karena warga melarang mereka memanen sawit itu.
Manajer Kebun, Syafrul mengatakan langkah penyelesaian masalah ini sudah dibantu pihak Pemkab dan Polres. “Kita menyerahkan penyelesainnya ke Pemkab, kita menunggu penyelesaian itu,” kata Syafrul menjawab Serambi kemarin.
Sementara itu, Asisten kebun, Sukirman mengatakan sawit di lahan 144 hektare ini seharusnya sudah empat hari lalu bisa dipanen, namun karena warga melarang sehingga belum dilakukan.
Hasil sawit di lahan itu mencapai 15 ton sekali panen setiap seminggu sekali.Bupati Aceh Tamiang, Hamdan Sati mengatakan Pemkab akan membentuk tim pencari fakta terkait sengketa ini.
Ia menceritakan dulu ada dua kali pembayaran oleh PT Parasawita tahun 1998 kepada warga empat desa itu. Lahan dikeluarkan dari HGU, sah jika untuk fasilitas umum.
Bupati juga menegaskan sejauh ini tak mengeluarkan rekomendasi agar hal ini juga menjadi bahan untuk tim pencari fakta.
“Kita juga sudah buat surat permohonan ke BPN, minta lahan 144 dikeluarkan, karena waktu itu kita tidak tahu SK HGU belum ke luar,” timpal Wabup Iskandar Zulkarnain yang mendampingi bupati usai rapat paripurna di DPRK Tamiang. (Serambinews/md)
Foto: Ilustrasi/blogspot.com