Oleh : Syahzevianda Kabar duka kembali menyelimuti tanah endatu geutanyoe dari sektor pendidikan. Betapa tidak, hasil yang mengecewak...
Oleh : Syahzevianda
Penulis adalah Paralegal
pada LBH Perkumpulan Pendidikan Pendamping untuk Perempuan dan Masyarakat
(PP3M) Aceh.
Gambar : ahmadymeuraxa.blogspot.com
Kabar
duka kembali menyelimuti tanah endatu geutanyoe dari sektor pendidikan. Betapa
tidak, hasil yang mengecewakan itu kembali terulang dari tahun sebelumnya. Target
pencapaian yang belum juga mampu merubah posisi Aceh sebagai “juru kunci”
diantara 34 Provinsi, tingkat kepuasan
yang belum maksimal kembali terjadi ditahun 2014 pasca pengumuman hasil Ujian
Nasional tingkat SMA/ Sederajat di Aceh.
Jumlah
ketidaklulusan tahun ini sebanyak 785 siswa atau berada pada angka sekitar 1,38
persen, setelah diumumkan secara serentak diseluruh belahan Nusantara. Walaupun
ditahun 2014 ini terdapat penurunan angka pada persentasi yang sedikit yang
lebih sedikit dibandingkan tahun lalu yakni 3,11 persen, namun demikian tidak
juga menggeser posisi tertinggi pada jumlah kelulusan UN siswa SMA/Sederejat
pada tahun lalu.
Wajar
saja hal ini banyak menyita perhatian dari berbagai kalangan, elite politik dan
masyarakat di Aceh, pasalnya hasil yang dicapai tidak sebanding dengan nominal
angka berlimpah dialokasikan untuk mendanai pendidikan di Aceh yang jumlahnya
sangat fantastis tersebut. Berbagai pihak telah menyuarakan harapan besar
terkait hasil UN tahun lalu yang dinilai sangat memalukan dan memilukan
provinsi paling barat Indonesia ini, apalagi Aceh secara de-facto telah menyandang predikat “istimewa” dan otonomi khusus
ini.
Tetapi
setelah dilihat kapasitas dan bobot pendidikan di Aceh masih meragukan, apalagi
setelah diumumkan hasil UN siswa SMA/Sederejat untuk tahun 2014 ini beberapa
hari lalu, ternyata sama sekali belum “dapat” menyentuh kepada hasil yang
fantastik dan signifikan pula dihati para pencinta pendidikan, pengamat, maupun
para-stakeholder di Aceh, terbukti
dengan komentar-komentar yang mencuat ke media masa, walaupun persentasi angka
hasil UN tahun ini tak separah tahun lalu. Secara Nasional, dibanding dengan
provinsi-provinsi yang lain dengan segala kekhususan apa yang “ACEH” miliki, masih sangat jauh dari
harapan dan kenyataan yang sebenarnya dengan hasil ketidakkelulusan terbesar.
Tak
perlu analisis, tak perlu suvey, Tapi angka pasti rill telah menunjukkan jika kualitas pendidikan di Aceh belum
mengalami stagnasi yang berarti dibanding dengan provinsi lain di Indonesia.
Miris, siapa yang patut dipersalahkan? Nah disini mari bersama kita mencerna
hasil yang telah dituai oleh peserta-peserta didik di Aceh di tingkat sekolah
menengah beberapa hari lalu yang telah berhasil menurunkan persentasi
ketidaklulusan hasil UN Provinsi Aceh. Jangan lemahkan mental baja para
kandidat penerus bangsa ini kedepan dikarenakan oleh sikap acuh tak acuh,
apatis, tidak perduli “KITA” terhadap
dunia pendidikan. Tak perlu dikaji siapa yang salah dan dimana kesalahannya?
Ini adalah kesalahan kita bersama, yang perlu dikaji adalah bagaimana solusi
yang ditempuh yang mempunyai nilai tawar oleh berbagai pihak dan elemen di Aceh
untuk terus menumbuhkembangkan rasa keprihatinan kita bersama untuk menjadikan
kualitas pendidikan di Aceh mampu bersaing bahkan sampai ke taraf internasional
sekalipun.
Lalu
hal apa yang patut dijadikan langkah pasti untuk menyikapi permasalahan edukasi
di Aceh agar tempaan mental para peserta didik tidak menimbulkan perspektif
negatif secara simultan setiap tahunnya di Aceh secara khusus. Bukan saja hanya
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, Dinas-Dinas Terkait, Kepala Sekolah
maupun Guru pengampu mata pelajaran yang diujiankan yang harus mengemban
Tanggungjawab ini. Tapi dapat di telaah lebih dalam jika pendidikan di Aceh
merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menatap Aceh kedepan lebih
bermartabat dan dapat dibanggakan, masih banyak Pekerjaan Rumah Aceh kedepan
yang harus direduksikan secara perlahan kepada peserta didik agar mereka dapat
mengharumkan nama bangsa dan negara.
Jika
dikaji dari sisi regulasinya, sudah sangat sepantasnya untuk kualitas
pendidikan di Aceh mendapatkan predikat terbaik, dengan mengantongi regulasi
yang ada, sangat jelas jika diperhatikan secara seksama bahwa Undang-Undang
nomor 24 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, seharusnya lebih sangat leluasa
bagi Aceh untuk mengurusi bidang pendidikan di Aceh yang tak dimiliki oleh
semua Provinsi-Provinsi yang ada di Indonesia. Pada pasal 3 ayat (2)
undang-undang tersebut tercantum bahwa penyelenggaraan Keistimewaan Aceh meliputi : 1). penyelenggaraan kehidupan
beragama; 2) penyelenggaraan kehidupan adat; 3) penyelenggaraan pendidikan; dan
4) peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Belum lagi jika di kaitkan
dengan undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Nah, disana
jika pemerintah dan berbagai elemen merapatkan barisan untuk menyikapi
problematika pendidikan Aceh yang kian hari semakin memilukan, sudah saatnya
mendapat penangangan yang lebih serius lagi, bukan tidak mungkin pelaksanaan
sistem pendidikan dengan segala kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Aceh
menjadi tolak ukur pendidikan oleh provinsi-provinsi lain di Indonesia. Apalagi
Aceh sudah mengantongi hak istimewa dalam mengatur dan mengelola sistem pendidikannya
sendiri.
Kini
saatnya kita mulai mencerahkan kekusutan-kekusutan wajah dunia pendidikan di
Aceh dengan mengambil langkah pasti, untuk saling menutupi kekurangan dan
menutupi celah serta kebocoran yang selama ini masih memungkinkan untuk
ditanggulangi agar tidak menjadi semakin parah dan semakin memalukan yang
menjadi kendala dalam hasil kelulusan UN siswa SMA/Sederejat. Bukan tidak mungkin jika dibiarkan
terus-menerus akan menjadi batu sandungan bagi kita semua terdiam melawan kebodohan. Kita tidak perlu
banyak pengamat pendidikan atau sejenisnya, yang diperlukan saat ini adalah
solusi tepat yang mampu meningkatkan citra pendidikan Aceh, daripada itu
diperlukan das sollen (yang
mengharuskan kita untuk berpikir) dan das sein (merupakan implementasi) yang harus
saling melengkapi agar sebuah keinginan cita-cita yang membawa kedalam hasil
yang signifikan.
Secara
fasilitas dan sarana pendidikan di Aceh rasanya bukan menjadi alasan
sebagaikendala yang berarti, bahkan dapat dikategorikan layak. Hanya saja yang
sangat-sangat dibutuhkan adalah motivasi belajar yang kuat dari orang tua
menjadi sangat penting dan prioritas bagi keberlangsungan prestasi anak dalam
belajar. Paling tidak selain tenaga pengajar disekolah, motivasi orang tua
dapat dijadikan hal penting untuk dijadikan dorongan bagi siswa demi mencapai
hasil yang gemilang dari pendidikan ananda tercinta. Tapi kalau dorongan
terkecil itu tidak sama sekali datang dari rumah, maka para guru disekolah
mendapat kesulitan ketika motivasi awal dari ruang lingkup terkecil saja sudah
tidak mendapatkan motivasi dirumah.
Bukan
hanya menuruti dan mengabulkan semua keinginan anak yang tidak terlalu penting
sebagai penunjang proses belajar anak, sehingga membuat anak terbuai dengan
fasilitas mewah dari orang tua. Orang tua bukan tidak boleh menuruti keinginan
sang-anak, tapi harus diimbangin dengan kontrol agar anak-anaknya tidak lalai.
Di usia sekolah, orang tua tidak perlu bangga dan gengsi akan pemberian
fasilitas mewah yang serba mahal dan canggih kepada anak-anaknya, mestinya
orang tua harus bangga dengan prestasi yang diraih anak-anaknya. Menumbuhkan
minat belajar siswa agar lebih terpacu memang berawal dari rumah bersama orang
tua/wali, dari itulah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk
menumbuhkembangkan prestasi anak dalam menggapai impian masa depannya kelak.
Semoga
ditahun yang akan datang tidak terulang kembali hasil yang dapat mencoreng
wajah pendidikan Aceh, berkat doa dan usaha bersama kita dapat merubah hasil
ini semua ke arah yang lebih gemilang serta memuaskan. Semoga Allah S.W.T.
selalu melimpahkan keberkahan untuk kemajuan pendidikan Aceh disetiap jenjang
pendidikan masing-masing. Amin. (***)
Gambar : ahmadymeuraxa.blogspot.com