HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Aceh dalam Skenario Pilpres

Oleh : Chairul Fahmi, MA P emilu legislatif 9 April 2014 lalu sudah dilalui. Banyak cerita mistik, darah yang mengalir, nyawa yang ...

Oleh : Chairul Fahmi, MA
Pemilu legislatif 9 April 2014 lalu sudah dilalui. Banyak cerita mistik, darah yang mengalir, nyawa yang melayang, rumah yang dibakar, suara yang dirusak, kecurangan yang merajalela, intimidasi yang menakutkan setiap yang terintimidasi. Semua itu menjadi prilaku pencari kursi, atau orang yang disuruh, atau tidak disuruh tapi karena benci. Semuanya sudah berlalu, sepertinya juga sudah dilupakan. Karena kuburan bayi umar 1,5 tahun yang ditembak di Bireuen sudah mulai menggering dan rumputpun sudah mulai menghijau. Tidak ada lagi desas desus itu. Seperti angin yang berlalu saja. Sekarang episode baru, memilih presiden, ya itu adalah orang nomor 1 di Indonesia, ia bisa merubah wajah negeri ini, dari hitam jadi putih, atau dari putih jadi merah. semua berbicara tentang dua anak manusia yang lahir di tanah Jawa, tapi kehebohan terjadi diseluruh nusantara. Akankah Aceh kembali bergolak untuk pertarungan kedua anak manusia yang lahir di tanah jawa itu.. entahkan... hanya doa kepada Tuhan agar memperlihatkan kekuasaan-Nya, melembutkan setiap hati manusia dari keangkuhan, kebencian, dan kemarahan kepada manusia lainnya, karena itu bukanlah sifatnya.. semoga tidak ada lagi anak manusia yang masih balita terbunuh oleh keiblisan politik di Indonesia


PESTA demokrasi belum berakhir, 9 Juli 2014 akan ada pesta baru, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Pastinya, gonjang-ganjing dan perang strategi untuk memenangkan perebutan kekuasaan presiden dan wakil presiden akan terjadi. Aceh sebagai bagian dari NKRI juga tidak akan terlepas dari persaingan tersebut, meskipun tidak signifikan dan strategis dalam mendulung suara, karena pemilih di Aceh hanya sekitar 3.337.545 pemilih (KIP, 2013).
Namun demikian, siapa pun yang terpilih menjadi Presiden RI ke depan, akan berdampak pada dinamika politik, sosial dan ekonomi Aceh serta perdamaian Aceh. Stabilitas perdamaian Aceh sangat ditentukan siapa yang akan menjadi Presiden RI ke depan, baik perdamaian dalam relasi vertikal dengan Jakarta, maupun dalam relasi horizontal di internal Aceh.

Probowo atau Jokowi?

Berbagai hasil survey, menunjukkan bahwa terdapat dua kandidat kuat sebagai presiden masa depan yaitu Prabowo dan Jokowi. Kedua kandidat ini juga yang terpolarisasi dalam berbagai dukungan di tingkat lokal Aceh.

Salah satu kelompok partai yang secara resmi sudah menyatakan dukungannya terhadap Prabowo adalah Partai Aceh (PA), dan juga beberapa kelompok sipil pendukung Prabowo. Di sisi lain, kelompok sipil yang dipelopori oleh beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi memproklamirkan barisan pemenangan Jokowi sebagai presiden.

Menarik untuk ditelisik, apa motif dan latar belakang dukungan PA terhadap Gerindra, baik dalam hal dukungan untuk caleg DPR-RI dari Gerindra, maupun pencalonan Prabowo sebagai calon presiden. Begitu juga kenapa kelompok sipil yang dipelopori oleh Seknas Jokowi mendukung Jokowi, bahkan ada istilah yang dipopulerkan yaitu Jokowi ibarat “imam mahdi” untuk Indonesia.

Memang, tidak ada penjelasan ke publik tentang kiblat politik PA terhadap Gerindra dan Prabowo. Karena hal ini terjadi di tingkat elite dan tidak ada penjelasan ke publik. Namun menurut penulis, dukungan PA terhadap Gerindra dan Prabowo merupakan murni keputusan politis transaksional dan mutualisme, dimana PA mendapat sokongan baik materil maupun “spiritual” dari Prabowo, dan beberapa mantan jenderal lainnya seperti Mayjen (Purn) Soenarko, yaitu mantan Pangdam Iskandar Muda.

Dukungan tersebut terbukti pada Pemilukada 2012 lalu, dimana Zikir terpilih mencapai 55 persen suara (satu putaran). Sedangkan Pemilu Legislatif 9 April 2014 lebih variatif, dimana PA secara organisatoris mendukung Caleg DPR-RI. Sementara secara praktis, beberapa mantan panglima wilayah juga “bermain” dengan caleg DPR-RI dari partai lainnya, seperti dukungan KPA wilayah Pasee terhadap Firmandez dari Golkar, terbukti juga terpilih.

Sedangkan dukungan Gerindra dan Prabowo terhadap PA tidak untuk mendulung suara untuk Pilpres, melainkan untuk menjamin kelangsungan bisnisnya di Aceh. Beberapa proyek bisnis keluarga Prabowo antara lain, PT Tusam Hutani Lestari yang mempunyai HPH sekitar 97.300 hektare di Aceh Tengah dan Bener Meriah, pernah dilarang karena kebijakan Gubernur Irwandi Yusuf saat itu terkait program Aceh Green, dan Pergub illegal logging.

Selain itu Nations Petrolium milik adik prabowo, yaitu Hashim Jojohadikusomo di sepanjang Bukit Barisan. Sayangnya, rencana ini tertunda karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Migas belum diteken oleh Presiden SBY, meskipun perusahaan ini sudah melakukan berbagai survey di lapangan.

Sedangkan Jokowi adalah pendatang baru untuk perpolitikan di Aceh, meskipun secara nasional merupakan tokoh nasional yang fenomenal. Tidak ada catatan hitam Jowoki untuk Aceh, namun PDI-P sebagai pengusung Jokowi serta beberapa jenderal purnawirawan di belakangnya, sangat erat dengan masa depan Aceh.

Setidaknya ada 22 mantan Jenderal di belakang Jokowi, antara lain Jend TNI (Purn) Wiranto, Letjen TNI (Purn) Luhut Panjaitan, Jend TNI (Purn) Subagyo HS, Jend TNI (purn) Wismoyo Arismunandar, Letjen TNI (Purn) Fachrul Razi, Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan, Letjen TNI (Purn) Abdul Muis, dan lain-lain.

PDI-P di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri juga tercatat pernah mengeluarkan Dekrit Presiden No.28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Aceh. Operasi ini menyebabkan lebih dari 2.000 rakyat Aceh terbunuh, baik karena operasi militer maupun korban dari operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Jokowi juga dikhawatirkan akan meningkatkan dominasi dan kooptasi penguasa Tiongkok di Indonesia, di samping menumbuhkan pemimpin politik di Indonesia dari non-Muslim. Beberapa di antaranya yang menjadi pemimpin di Indonesia melalui -skenario- politik Jokowi, seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan FX Hadi Rutyatmo. Keduanya merupakan wakil Jokowi dari agama Kristen, baik ketika menjabat Wali Kota Solo dan sekarang sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Bagi pengikut aliran pluralisme politik, munculnya tokoh Ahok dan FX Hadi Rutyatmo adalah lumrah, dan bagian dari keanekaragaman NKRI. Sebaliknya, ini merupakan kemunduran gerakan keislaman di Indonesia.

Pilihan rasional Aceh

Apa yang harus disikapi oleh rakyat Aceh terhadap kedua tokoh calon presiden tersebut? Apakah mendukung Jokowi atau mendukung Prabowo dengan latar belakang dan siapa di belakang mereka? Sepertinya sulit untuk memilih, ketika dua calon yang akan menjadi Presiden Indonesia ke depan mempunyai sejarah kelam di Aceh, baik secara langsung seperti Prabowo (mantan Danjen Kopassus), maupun tidak langsung seperti Jokowi dengan PDI-P-nya.

Dalam situasi ini, kita mungkin bisa merujuk ke kaedah, “meninggalkan kemudharatan yang lebih besar dengan melaksanakan (memilih) kemudharatan yang lebih ringan”. Kaedah ini akan memberikan pedoman bagi rakyat untuk memilih, Jokowi atau Prabowo. Pertanyaannya adalah, siapa yang lebih memberikan mudharat kepada Aceh, apakah Prabowo atau Jokowi?

Jika melihat sebelum damai, tahun 1996-1998 Prabowo menjabat sebagai Komandan Jenderak Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), dan ia tentunya tahu betul tentang operasi Jaring Merah di Aceh. Namun pascadamai, Probowo sudah memberikan manfaat, setidaknya untuk PA.

Sementara Jokowi secara personal tidak dikenal dalam konflik Aceh, kecuali Megawati. Namun calon Wakil Jokowi, yaitu Jusuf Kalla dikenal mempunyai peran strategis dalam mewujudkan perjanjian damai di Aceh. Setidaknya lobi-lobi JK dan juga Farid Husen dengan petinggi GAM di Swedia telah mengantarkan ke depan pintu perdamaian Aceh melalui penandatanganan MoU Helsinki.

Hal ini barangkali menjadi “jaminan” bahwa JK layak dipertimbangkan oleh rakyat Aceh pada Pemilu Presiden yang akan digelar pada 9 Juli 2014 mendatang, karena JK mempunyai relasi emosional dengan perdamaian Aceh. Satu hal yang masih dipertanyakan, sejauhmana pengaruh PDI-P dan para jenderal di belakang Jokowi dalam kebijakan Jokowi terhadap Aceh masa depan?

Oleh karena itu --sekali lagi-- pertimbangan “menghindari kemudharatan yang lebih besar, dan mengambil kemudharatan yang lebih kecil sebagai pilihan” menjadi pertimbangan publik dalam memilih pada pilpres mendatang, bukan sebaliknya. Wallahu’alam.

OPINI INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SERAMBI INDONESIA Kamis, 22 Mei 2014
Sumber : Serambinews