KARANG BARU | STC - Proyek pengadaan tanah di Kabupaten Aceh Tamiang, terindikasi menyimpang. Pasalnya, pembebasan lahan dengan ganti rug...
KARANG BARU | STC - Proyek pengadaan tanah di Kabupaten Aceh Tamiang, terindikasi menyimpang. Pasalnya, pembebasan lahan dengan ganti rugi Rp 2,2 miliar dilakukan di atas tanah negara.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Transparency Aceh, Kamal Ruzamal, SE, kepada Koran ini di Kuala Simpang, Minggu (30/3).
Menurut Kamal, pengadaan tanah yang diganti rugi diperuntukkan untuk relokasi pemukiman korban banjir di Desa Blang Kandis dan Desa Alur Jambu, Kecamatan Bandar Pusaka pada tahun 2010.
Serta pembebasan lahan HGU PT. Padang Palma Prima (PPP) seluas 33,9 hektar dengan ganti rugi tanaman kelapa sawit sebanyak 4503 batang senilai Rp 2,2 miliar pada tahun 2009.
Berdasarkan hasil investigasi Transparency Aceh, ganti rugi tanaman kelapa sawit sebanyak 2.200 batang kepada PT Desa Jaya senilai Rp 880 juta untuk pengadaan tanah untuk relokasi pemukiman korban banjir di Desa Blang Kandis dan Alur Jambu oleh Pemkab Aceh Tamiang tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.Ketua Transparency Aceh, Kamal Ruzamal, SE menjelaskan, pembebasan lahan yang telah ditanami kelapa sawit oleh PT Desa Jaya itu merupakan tanah Negara yakni eks HGU PT. Desa Jaya No. 24 tertanggal 24 Agustus 1962 yang telah berakhir izinnya pada tanggal 23 Agustus 1988.
Dengan demikian tanaman kelapa sawit yang diganti rugi oleh Pemkab Aceh Tamiang itu berada di tanah negara. Jadi PT. Desa Jaya bukan lagi pemilik tanah dimana 2.200 batang kelapa sawit tersebut ditanami.
Seharusnya untuk tanaman kelapa sawit milik PT Desa Jaya hanya diberikan santunan atau pesangon, bukan ganti rugi seperti yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah Pemkab Aceh Tamiang, karena PT. Desa Jaya tidak lagi mempunyai hak atas tanah tersebut.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, pada Pasal 17 ayat (2) disebutkan Hapusnya HGU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanah itu menjadi tanah Negara.
Dan Pasal 18 ayat (1) disebutkan apabila HGU hapus dan tidak diperpanjang maka bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas tanah bekas HGU tersebut kepada Negara.Demikian juga terhadap ganti rugi pohon kelapa sawit PT. PPP pada tahun 2009 lalu diduga di Mark Up.
Penilaian penggelembungan harga ini, lanjut Kamal, berdasarkan transaksi ganti rugi sawit Rp 500 ribu per batang. Standar Pasar perhitungan ganti rugi perbatang sawit tergantung dengan perawatan dan masa produksi sawit tersebut.
Sebagaimana diketahui, masa produksi pohon sawit PT. PPP menjelang berakhir atau telah berumur 30 tahun dimana Surat Keputusan Pemberian Hak tgl 14 November 1979 dan berakhir 31 Desember 2009 maka dalam perhitungan harga per batang pohon sawit tersebut adalah jumlah hasil panen per Hektar sawit/ tahun X Harga Pasar sawit X sisa umur produksi sawit.
Secara matematis, 14 ton X Rp 1.000 X 1 tahun = Rp 112 ribu/Btg.Dari perhitungan harga ganti rugi perbatang sawit diatas diperoleh Rp 112 ribu perbatang. Sementara harga ganti rugi yang diberikan sebesar Rp 500 ribu dengan demikian diduga telah terjadi penggelembungan harga @Rp 388.000 X 4503 atau sebesar Rp.1.747.164.000.
Jadi pengadaan tanah dengan ganti pohon untuk pembangunan seluas 33,9 Ha dari PT.PPP di desa Karang Baru diduga di Mark Up dan diduga negara dirugikan sebesar @Rp 388.000 X 4503 atau sebesar Rp.1.747.164.000.
Terkait temuan Transparency Aceh tersebut, Kabag Pemerintahan Pemkab Aceh Tamiang, Drs. Tri Kurnia ketika dikonfirmasi Koran ini kemarin mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui tentang pengadaan tanah tersebut baik pengadaan tanah di Desa Blang Kandis dan Desa Alur Jambu untuk relokasi korban banjir maupun pembayaran kelapa sawit yang berada di lahan HGU PT. PPP Karang Baru karena dirinya baru saja bertugas sebagai Kabag Pemerintahan Pemkab Aceh Tamiang.
“Yang mengetahui hal itu adalah pejabat lama, jadi saya sama sekali tidak mengetahui hal itu.” Tandas Tri Kurnia. (Rakyat aceh)
Foto: Ilustrasi/yustisi.com
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Transparency Aceh, Kamal Ruzamal, SE, kepada Koran ini di Kuala Simpang, Minggu (30/3).
Menurut Kamal, pengadaan tanah yang diganti rugi diperuntukkan untuk relokasi pemukiman korban banjir di Desa Blang Kandis dan Desa Alur Jambu, Kecamatan Bandar Pusaka pada tahun 2010.
Serta pembebasan lahan HGU PT. Padang Palma Prima (PPP) seluas 33,9 hektar dengan ganti rugi tanaman kelapa sawit sebanyak 4503 batang senilai Rp 2,2 miliar pada tahun 2009.
Berdasarkan hasil investigasi Transparency Aceh, ganti rugi tanaman kelapa sawit sebanyak 2.200 batang kepada PT Desa Jaya senilai Rp 880 juta untuk pengadaan tanah untuk relokasi pemukiman korban banjir di Desa Blang Kandis dan Alur Jambu oleh Pemkab Aceh Tamiang tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.Ketua Transparency Aceh, Kamal Ruzamal, SE menjelaskan, pembebasan lahan yang telah ditanami kelapa sawit oleh PT Desa Jaya itu merupakan tanah Negara yakni eks HGU PT. Desa Jaya No. 24 tertanggal 24 Agustus 1962 yang telah berakhir izinnya pada tanggal 23 Agustus 1988.
Dengan demikian tanaman kelapa sawit yang diganti rugi oleh Pemkab Aceh Tamiang itu berada di tanah negara. Jadi PT. Desa Jaya bukan lagi pemilik tanah dimana 2.200 batang kelapa sawit tersebut ditanami.
Seharusnya untuk tanaman kelapa sawit milik PT Desa Jaya hanya diberikan santunan atau pesangon, bukan ganti rugi seperti yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah Pemkab Aceh Tamiang, karena PT. Desa Jaya tidak lagi mempunyai hak atas tanah tersebut.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, pada Pasal 17 ayat (2) disebutkan Hapusnya HGU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanah itu menjadi tanah Negara.
Dan Pasal 18 ayat (1) disebutkan apabila HGU hapus dan tidak diperpanjang maka bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas tanah bekas HGU tersebut kepada Negara.Demikian juga terhadap ganti rugi pohon kelapa sawit PT. PPP pada tahun 2009 lalu diduga di Mark Up.
Penilaian penggelembungan harga ini, lanjut Kamal, berdasarkan transaksi ganti rugi sawit Rp 500 ribu per batang. Standar Pasar perhitungan ganti rugi perbatang sawit tergantung dengan perawatan dan masa produksi sawit tersebut.
Sebagaimana diketahui, masa produksi pohon sawit PT. PPP menjelang berakhir atau telah berumur 30 tahun dimana Surat Keputusan Pemberian Hak tgl 14 November 1979 dan berakhir 31 Desember 2009 maka dalam perhitungan harga per batang pohon sawit tersebut adalah jumlah hasil panen per Hektar sawit/ tahun X Harga Pasar sawit X sisa umur produksi sawit.
Secara matematis, 14 ton X Rp 1.000 X 1 tahun = Rp 112 ribu/Btg.Dari perhitungan harga ganti rugi perbatang sawit diatas diperoleh Rp 112 ribu perbatang. Sementara harga ganti rugi yang diberikan sebesar Rp 500 ribu dengan demikian diduga telah terjadi penggelembungan harga @Rp 388.000 X 4503 atau sebesar Rp.1.747.164.000.
Jadi pengadaan tanah dengan ganti pohon untuk pembangunan seluas 33,9 Ha dari PT.PPP di desa Karang Baru diduga di Mark Up dan diduga negara dirugikan sebesar @Rp 388.000 X 4503 atau sebesar Rp.1.747.164.000.
Terkait temuan Transparency Aceh tersebut, Kabag Pemerintahan Pemkab Aceh Tamiang, Drs. Tri Kurnia ketika dikonfirmasi Koran ini kemarin mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui tentang pengadaan tanah tersebut baik pengadaan tanah di Desa Blang Kandis dan Desa Alur Jambu untuk relokasi korban banjir maupun pembayaran kelapa sawit yang berada di lahan HGU PT. PPP Karang Baru karena dirinya baru saja bertugas sebagai Kabag Pemerintahan Pemkab Aceh Tamiang.
“Yang mengetahui hal itu adalah pejabat lama, jadi saya sama sekali tidak mengetahui hal itu.” Tandas Tri Kurnia. (Rakyat aceh)
Foto: Ilustrasi/yustisi.com