HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pemilu 2014 Momentum Menuju Kemajuan Aceh

Foto: Ilustrasi/google Oleh Juanda Djamal PEMILU 9 April 2014, merupakan hari yang menentukan masa depan, kemajuan dan kesejahteraan r...

Foto: Ilustrasi/google
Oleh Juanda Djamal

PEMILU 9 April 2014, merupakan hari yang menentukan masa depan, kemajuan dan kesejahteraan rakyat Aceh. 

Menuju kemajuan dan kesejahteraan memang memiliki tantangan besar, kita membutuhkan energi yang besar dalam transformasi konflik, mewujudkan keadilan transisi atas korban konflik dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh. 

Peranan pimpinan politik, politisi di legislatif dan aktifis masyarakat sipil serta seluruh komponen masyarakat Aceh sangat penting guna memanfaatkan kesempatan damai bagi kemakmuran. 

Mengumpulkan energi yang berserakan dari beragam level dan sektor merupakan jalan keluar dari pengaruh yang memungkinkan tercipta atau sengaja diciptakan terhadap lambannya pergerakan pembangunan Aceh. 

Media transformasi konflik ke politik ditandai oleh disepakatinya pendirian partai politik lokal (parlok) dalam perjanjian Helsinki, selanjutnya diterjemahkan dalam UU No.11/2006. 

Diakuinya parlok sebagai alat politik baru, khususnya di Aceh, menandakan bahwa demokratisasi Indonesia sedang menuju kedaulatan politik rakyat. 

Hanya saja, tantangan utama adalah mewujudkan cita-cita bahwa parlok menjadi anti-tesis atas dinamika politik nasional yang diselimuti oleh tradisi politik uang dan kekerasan. 

Pilkada 2006 dan Pemilu 2009 menjadi pembelajaran penting bagi rakyat Aceh, kekerasan dan politik uang, merupakan dua tradisi politik nasional yang diwarisi dalam politik Aceh kini. 

Perilaku demikian sangat sulit dihindari ketika kemampuan pengetahuan dan pengelolaan politik masih lemah, apalagi Aceh masih diselimuti oleh perilaku peperangan. 

Harapan untuk menjadikan Pemilukada 2012 dan pemilu 2014 untuk lepas dari kedua tradisi di atas juga masih jauh, karena mentalitas politik yang terbangun sejauh ini cenderung bergerak pada mempertahankan kekuasaan (incumbent). 

Momentum politik
Melihat perkembangan politik Aceh kekinian, maka Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh (PDA), sudah saatnya mempertemukan satu kepentingan politik besar dalam memajukan dan menyejahterakan rakyat Aceh. 

Apalagi PA dan PNA, merupakan dua partai yang berasal dari organisasi pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mereka memiliki pengalaman yang kuat semasa perjuangan dulunya. 

Ketika mula perjuangan, mereka berjuang dalam kelompok-kelompok kecil, maka tingkat pengaruhnya kecil. Tetapi ketika semua kelompok kecil bermuara dalam GAM, maka posisi tawar untuk mendorong dialog politik dengan pemerintah RI sangat kuat. 

Maka, momentum politik 2014 ini harus menjadi refleksi politik bersama, jikalau antarpartai lokal memunculkan perpecahan politik, kecenderungannya bahwa kekuasan terpecah-pecah dan merugikan politik Aceh itu sendiri. 

Imbasnya, posisi tawar politik Aceh terhadap Jakarta kecil, apalagi pilpres juga akan merubah struktur kepemimpinan politik nasional. Buktinya, parlemen 2009-2014, kecakapan negosiasi dengan pemerintah nasional mempertontonkan kekonyolan yang berujung pada keputusan-keputusan yang menjilat air ludahnya sendiri. 

Pengalaman tersebut semestinya menjadi catatan supaya parlemen 2014-2019 komposisinya dapat berubah. Ketokohan dan kepemimpinan merupakan faktor utama yang mempengaruhi arah pergerakan politik maupun pemerintahan. 

Kepemimpinan politik yang lemah menyebabkan rapuhnya sebuah kekuasaan dijalankan. Pengalaman pemerintahan dua periode di Aceh, yaitu Irwandi-Nazar dan Zaini-Mualem memberikan pembelajaran pada kita bahwa kedua rezim memiliki ketokohan yang kuat, tetapi pelembagaan kepemimpinan yang lemah. Buktinya, kepemimpinan mereka mampu dipengaruhi oleh orang/pihak dari beragam kepentingan politik secara individu. 

Ternyata, pengalaman juga menunjukkan, setelah seseorang memperoleh kekuasaan maka kolega baru menghampiri dengan menyodorkan beragam kemudahan, sehingga si penguasa baru larut dalam kemewahan dan kenyamanan, sehingga ujung-ujungnya mengikuti yang diinginkan oleh kolega baru tersebut. 

Inilah awal kehancuran sebuah kepemimpinan, terjadi sebuah keterkejutan atas hal baru yang luput diperoleh sebelumnya. 

Walaupun ketokohan kuat, akan tetapi kepemimpian tidak terlembagakan, maka dinamika politik berjalan di bawah kepemimpinan yang kurang mampu mengorientasikan kekuasaannya dalam satu kerangka visi kepentingan dan kedaulatan rakyat Aceh. 

Kemudian, kekuasaan mudah sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh pihak-pihak yang cenderung memperjuangkan kepentingannya sendiri. 

Buktinya, kepemimpinan Zaini-Mualem mengangkat dan melantik salah satu pejabatnya, padahal pejabat tersebut sudah meninggal. 

Fenomena lain atas lemahnya kepemimpinan bahwa pemimpin cenderung mempercayai pembisik dibandingkan think tank, tren ini berlangsung hampir di semua level. 

Kepemimpinan presiden, kabinet, gubernur, bupati dan bahkan kepemimpinan universitas. Ironisnya lagi, rekomendasi think tank cenderung diabaikan dan memilih untuk mengikuti informasi yang disampaikan oleh pembisiknya. 

Kuatnya politik Aceh ditentukan oleh rakyatnya, karena rakyat yang menentukan wakil-wakilnya. Pengalaman parlemen Aceh 2009-2014 membuktikan bahwa tantangan Aceh paling berat adalah memperkuat pengetahuan politik masyarakatnya. 

Hal ini penting supaya pemilu 2014 rakyat tidak lagi salah dalam memilih wakilnya. Rakyat tidak lagi terpengaruh oleh bujuk rayu caleg yang hanya disuguhi oleh gula, jilbab, kain sarung dan mater lainnya. 

Membangun komitmen 
Pemilu 2014-2019 membuka peluang ke arah perbaikan politik. Buktinya, generasi muda yang dulunya bergerak dan aktif dalam perjuangan hak asasi manusia (HAM), demokrasi, perdamaian dan kemasyarakatan tampil secara gagah berani menuju parlemen Aceh. 

Mereka tersebar dari beragam partai politik, parlok maupun parnas, dalam gegap gempita permainan politik uang oleh incumbent maupun caleg yang punya kuasa. 

Mereka berani ke luar-masuk kampung tanpa membawa kain sarung, jilbab, gula, bolakaki dan sebagainya. 

Mereka bertarung untuk mempraktikkan tradisi politik tanpa politik uang, menggelar pertemuan dengan membangun komitmen perbaikan dan agenda politik bersama. 

Para caleg muda “aktivis masyarakat sipil” berangkat dari sebuah kontrak sosial yang berlangsung sejak pergerakan mahasiswa menuntut dihentikannya pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1997. 

Kalaupun tidak semua mereka terpilih pada momentum 2014, maka momentum 2019 menjadi masa yang tepat terjadinya pergantian generasi politik kepemimpinan Aceh. 

Maka, tidak ada kata lain bahwa Pemilu 2014 ini menjadi titik tolak bagi kuatnya institusi politik dalam melahirkan kader-kader politik yang memiliki identitas keacehan yang kuat. Maka, 6-8 April 2014 merupakan hari tenang, kiranya menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan perilaku politik kita. 

Selanjutnya, pemilih dapat sadar bahwa 9 April merupakan momentum yang menentukan pemimpin Aceh. 

Walaupun selama ini sudah menerima uang dan materi dari para caleg, kita mesti menyadari bahwa perilaku politik yang hanya memberikan kita manfaat “uang muka” di awalnya (prepaid), maka berujung pada kerusakan masa depan Aceh. 

Kita sebagai rakyat wajib menumbuhkan semangat untuk memilih pemimpin Aceh yang komit menyuarakan kepentingan bersama (rakyat). 

Kita pilih wakil-wakil kita yang menyajikan dan memberikan manfaat bagi orang ramai dan membuka kesempatan untuk kita tagih setelah pemilu (post-paid) dan seterusnya bersama-sama membangun agenda dan rencana pembangunan yang menyeluruh. 

Maka, perbaikan dan perubahan mesti dimulai dari pemimpin dan rakyat Aceh itu sendiri. Sudah saatnya, gubernur dan wakil gubernur berdiri tegak dan menyuarakan konsolidasi politik rakyat Aceh. 

Menyuarakan keragaman partai, warna politik, agama, etnis dan kelompok merupakan kekuatan politik Aceh. Zaini-Mualem sebagai pimpinan politik mewakili seluruh rakyat semestinya menjadikan Pemilu 2014 sebagai titik balik penting untuk keluar dari kelompok/golongan dan simbolik semata, karena keberadaannya menjamin kesatuan rakyat Aceh dalam menghadapi berbagai rintangan dan halangan mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat Aceh. (Serambinews)

* Juanda Djamal, Sec-Gen Konsorsium Aceh Baru. Email: joe.ougex@gmail.com