HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

‘Sakaratul Maut’ Politik

Oleh : Asmaul Husna SEKARAT, begitulah keadaan politik di Aceh saat ini. Pembunuhan dan kekerasan seolah menjadi hal yang biasa. Nyaw...

Oleh : Asmaul Husna

SEKARAT, begitulah keadaan politik di Aceh saat ini. Pembunuhan dan kekerasan seolah menjadi hal yang biasa. Nyawa pun tak lagi berharga. Beda kendaraan politik, sesama rakyat Aceh pun kemudian menjadi bukan keluarga. Darah kerap bertumpah dalam kancah kekuasaan, karena beda warna dianggap bukan saudara. Rakyat pun kemudian hanya disuguhkan oleh berita tentang teror, intimidasi, kekerasan, dan bahkan pembunuhan yang berakhir di tangan OTK.

Peristiwa kematian Faisal (40), misalnya yang kembali merajam dunia politik. Seorang caleg DPRK Aceh Selatan dari Partai Nasional Aceh (PNA) yang terpaksa meregang nyawa karena 46 peluru menghujam tubuhnya (Serambi, 3/3/2014). Belum lagi berita-berita yang saban hari diantar oleh media massa tentang penculikan kader partai PNA, perencanaan pembunuhan terhadap caleg Nasdem, Muslem alias Cut Lem (Serambi, 18/3/2014), sampai pada pembakaran posko partai. Maka menarik pernyataan Aa Gym (KH Abdullah Gymnastiar), “Jangan sampai orang yang naik kursi dewan, kita malah naik kursi roda.”

Politik sekarat

Mendekati pemilu yang tinggal menghitung hari, aksi-aksi yang tidak manusiawi pun seolah menjadi sebuah hal yang biasa. Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa politik saat ini seperti akan menemui ajalnya. Politik kita dalam keadaan sekarat. Ia kerap mengalami jantungan. Pandangan mulai gelap dan nafasnya pun tinggal satu-satu. Sebuah penyakit kronis politik yang kerap menghantui ketika kekuasaan menjadi sebuah taruhan. Mungkin apalah arti sebuah nyawa dibandingkan dengan empuknya kursi dewan.

Politik kita menjadi sekarat karena perilaku para aktornya juga ‘sakit’ dan suka ‘mengundang’ penyakit. Kebencian, uang, dan ambisi kekuasaan kerap disuntikkan dalam tubuh perpolitikan. Sedangkan imunitas yang seharusnya juga ada dalam diri caleg-caleg ‘bayi’ yang baru lahir, malah kemudian diabaikan. Maka tidaklah mengherankan jika akhirnya perilaku-perilaku primitif homo humini lupus, yaitu manusia yang memakan sesama, akhirnya juga dianggap sebagai sesuatu yang dihalalkan.

Deklarasi damai yang kerap diikrarkan dan ditandatangani oleh orang-orang penting itu sepertinya juga hanya menjadi sebuah simbol tak bermakna. Karena kenyataannya, damai hanya diikrarkan bukan diterapkan dalam sebaik-baik pelaksanaan. Padahal ikrar damai bukanlah hanya sebuah seremoni lisan yang berakhir dengan coretan tanda tangan. Tetapi ia juga harus ‘hidup’ dalam perilaku yang mendamaikan. Karena apalah arti kumpulan tanda tangan, jika itu kemudian hanya akan menjadi koleksi usang.

Ketika kesehatan politik mulai memburuk, ia harus segera mendapat pertolongan. Rumah sakit ‘politik’ harus segera dibangun. Di tempat ini, orang-orang yang berjiwa rusak harus segera diobati. Karena penyakit dalam dunia politik sangat mudah menular. Ketika satu anggota kelompoknya teraniaya, maka tinggal tunggu waktu anggota kelompok yang lain juga akan tinggal nama.

Pasien politik perlu diberikan ‘pil penenang.’ Pengobatan bisa dilakukan baik secara medis atau pun tradisional. Pemahaman etika berpolitik perlu ditingkatkan. Begitu juga esensi dari sebuah kepemimpinan. ‘Penyakit’ ini tidak hanya cukup disembuhkan dengan deklarasi damai.

Dalam paradigma psikoterapi, proses penyembuhan lebih dilakukan terhadap perilaku pasien yang  menyimpang itu sendiri daripada mengutak-atik lingkungannya yang memang tidak pernah datang ke tempat praktik terapis untuk dirawat sebagai pasien. Penyembuhan harus dilakukan dengan memperkuat pasien agar tahan dan mampu mengatasi setiap gangguan. Darimana pun datangnya, baik dari lingkungan maupun dari sumber dalam dirinya (Albanik, 2010). Begitu juga aktor politik. Ia membutuhkan ‘perawatan’ untuk memperkuat sistem imunitas baik secara secara fisik maupun psikologis sebelum terjun ke kancah politik.

Kita memang kerap mengaku diri sebagai manusia modern masa kini. Tetapi nyatanya, perilaku kita masih primitif dan jauh dari gambaran manusia kekinian yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) itu. Perilaku homo humini lupus seperti kejadian di atas hanya akan meruntuhkan pualam perdamaian yang yang dibangun dengan darah dan air mata. Peperangan menjadi syarat untuk damai. Dan hari ini, pualam perdamaian itu juga kembali diruntuhkan dengan bahan material yang sama. Hanya saja, jika dulu berperang karena alasan Aceh ‘dijajah’ Indonesia, tapi hari ini rakyat Aceh berperang karena merasa dijajah sesamanya.

Padahal hampir saban tahun kita kembali merefleksikan hari damai yang telah disepakati. Namun sayang, sebuah perjanjian damai yang ditandatangani jauh-jauh ke negeri orang, hanya menjadi peringatan bisu tanpa dimaknai oleh indahnya damai yang sesungguhnya. Karena dalam pengejawantahannya, aksi anarkis kerap dilakukan manusia yang bahkan telah hilang sisi kemusiaannya. Lalu itu pun kemudian meninggalkan derita dengan menyandang status baru bagi istri dan buah hati yang ditinggalkannya; janda dan anak yatim.

Bukan hal mudah

Jika begini keadaannya, maka sulit menyalahkan masyarakat ketika mereka melihat bahwa benar, politik adalah kejam dan bukanlah ranah yang mendamaikan. Padahal beda warna bukan berarti musuh yang harus ditaklukkan. Keadaan yang demikian pun seolah menunjukkan bahwa hidup berdampingan dalam perbedaan bukanlah hal yang mudah. Kita gagal hidup dalam multikulturalisme. Padahal peristiwa-peristiwa anarkis tersebut, terjadi diantara kita yang masih bersuku dan agama yang sama. Namun sayang, terkadang kita malah gagal menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain.

Mengenai peristiwa tersebut, sebelumnya Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Djoko Suyanto memang sudah memastikan bahwa peristiwa penembakan calon anggota legislatif PNA, tidak akan mengganggu proses pemilu. Karena peristiwa tersebut hanya terjadi di Aceh (Serambi, 4/3/2014). Iya, mungkin bagi Jakarta ini sama sekali tidak akan mengganggu. Tetapi bagi rakyat Aceh, ini sungguh terlalu. Masyarakat merasa tidak aman dan kerap diliputi kekhawatiran. Aneh. Petinggi yang bertikai, rakyat yang menanggung dosa.

Padahal rakyat tidak akan merasa bersedih, sekalipun jika pemilu gagal dilaksanakan. Karena bagi masyarakat,  bisa hidup tenang dalam damai saja sudah syukur. Sudah cukup rakyat dibuat terkejut dengan berita harga kebutuhan pokok yang melambung dan harga BBM yang naik tapi enggan turun. Kepada para aktor politik, hentikan politik kekerasan yang berhasil merenggut kehidupan orang lain hanya untuk menyambung kehidupan sendiri. Karena aksi anarkis tersebut hanya akan semakin menunjukkan bahwa seseorang telah gagal menjadi pemimpin bahkan sebelum ia menjadi pemimpin.

Masa kampanye pun telah dimulai. Prinsip damai harusnya dikedepankan. Kepada pemerintah, segeralah turun tangan. Karena kelompok yang mengakunya akan menjadi wakil rakyat, kini sedang bertikai hebat. Politik kita sedang sekarat. Jangan terlambat Pak Waki, atau darah akan kembali bertumpah. Karena damai kini berada dalam sakaratul maut.

* Asmaul Husna, Alumnus Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, dan Komunitas sekolah Demokrasi Aceh Utara (KDAU). Email: hasmaul64@yahoo.com

Sumber : Serambi Indonesia