ACEH TAMIANG | STC - Kerajinan kain batik cap asal Desa Bandar Khalifah, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, sudah berkembang dan bisa man...
ACEH TAMIANG | STC - Kerajinan kain batik cap asal Desa Bandar Khalifah, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, sudah berkembang dan bisa mandiri selama setahun ini.
Hal tersebut tentunya harus diapresiasi agar pelaku UKM tersebut bisa langgeng menjalankan usahanya. Namun sayangnya, upaya mengembangkan dan mempromosikan batik khas daerah Aceh Tamiang ini belum juga dilirik oleh pemilik modal maupun pemerintah daerah setempat.
Seperti dialami Dewi Samsinar, warga Dusun Petuah Saleh. Ia memiliki usaha pembuatan batik cap khas Tamiang.
Ketua koperasi Kelompok Saqinah ini pun mengaku mampu mempekerjakan delapan ibu rumah tangga untuk membantu memproduksi batik.Kelompok Saqina sendiri terbentuk sejak tahun 2009, saat ini sudah beranggotakan 20 orang perempuan yang eksis bekreasi di bidang seni, terutama kerajinan tangan.
Tak tanggung-tanggung, saking ingin mengembangkan dan memperkenalkan seni batik kepada masyarakat Aceh Tamiang dan sekitarnya, Kelompok Saqina beker-jasama dengan Lembaga Logika mendatangkan guru batik khusus dari daerah Pekalongan ke bengkel batik cap Saqina.
"Tepatnya pada bulan Januari 2013 LKP Saqina dan Logika menggelar palatihan seni batik cap dengan mendatangkan guru membatik dari Pekalongan, dengan perkiraan sembilan hari di Kota Banda Aceh dan empat hari di Desa Bandar Khalifah Aceh Tamiang," kata Dewi, Rabu (19/3) di dapur usahanya.
"Tapi selama hampir setahun beroprasi, kami selalu kesulitan di bidang pemasaran. Pasalnya relasi dan promosi baik di lokal maupun luar daerah masih minim. Sejauh ini mempromosikan batik asal Bandar Khalifa baru sebatas pada pertemuan antar koperasi," ujarnya.
Meski batik buatan mereka sudah diperkenalkan ke Banda Aceh, namun masih kurang dilirik di daerah. Bahan baku, seperti kain dan campuran pewarna tekstil langsung diimpor dari Pekalongan. Mengenai cap/cetakan, mereka hanya membuat desain di sini tapi tetap ditempah ke Pekalongan.
Sementara untuk proses pembuatan batik cap berukuran standar, Dewi membutuhkan waktu selama dua hari. Pertama-tama kain putih direndam dengan tipol, kemudian dijemur, setelah kain mengering baru dicap dan dilakukan proses pewarnaan.Kemudian direndam air biasa satu malam untuk selanjutnya masuk ke proses perebusan. Setelah kain-kain yang sudah dicap itu direbus, direndam kembali selama satu malam dan keesokan harinya ditiraikan sampai kering.
"Dalam satu kain, proses pengerebusan memakan waktu lima menit," jelasnya.Ukuran batik yang tersedia mulai dari 2, 10 dan 3,10 meter.
Harga batik cetak buatan tangan kelompok ini pun sangat terjangkau, berkisar Rp 50.000 sampai paling mahal Rp 160.000/meter tergantung mutu kain.Selain menjual kain batik, LKP Saqina juga menyediakan baju batik yang sudah jadi, dengan bandrol Rp 100.000/potong.
Butik Saqinah yang terletak sekitar 35 kilometer dari ibukota kabupaten ini sekarang memiliki sekitar 20 motif contoh batik cap, di antaranya motif pucuk rebung, pintu Aceh, motif bunga selanga dan motif lain.
"Yang banyak diproduksi adalah motif pintu Aceh dan pucuk rebung bambu, karena kedua motif itu banyak dipesan orang," terang Dewi yang didampingi karyawanya Yusnawati.
Perempuan berusia 40 tahun ini mengatakan, cuaca mendung menjadi salah satu kendala tersendiri dalam proses pembuatan batik cap. Bila hari mendung tentunya berpengaruh pada saat penjemuran.
Dikatakannya, LKP Saqina dalam sepekan mampu menghasilkan 50 meter batik cap. Gaji pekerja Rp 10.000/meter, sementara keuntungan dari sepotong kain yang sudah siap dibatik sepanjang 2,10 meter Rp 25.000.
"Ya lumayan juga, keuntungan dari bahan yang terjual selama ini bisa untuk membangun butik kecil-kecilan," ujarnya.Pada bulan Juni 2013, istri bupati Iris Atika sudah pernah menyambangi lokasi usaha batiknya di Bandar Khalifah.
Iris Atika yang datang dengan kapasitas sebagai ketua PKK kabupaten sempat memuji hasil kerajinan tangan Kelompok Saqina dan menyatakan akan membantu mempromosikan usaha tersebut ke luar daerah.
Sementara Sekretaris Daerah Aceh Tamiang Razuardi MT dalam kunjunganya di Kecamatan Bendahara, berjanji membangun rumah batik di Desa Bandar Khalifah.
"Sekda sempat menanyakan sebidang tanah kepada saya untuk lahan mengembangkan usaha batik di desa ini," ungkap Dewi.
Dewi berharap ke depan ada bantuan mesin membatik, agar bisa memproduksi batik jenis printing sehingga mampu menyerab tenaga kerja lebih banyak lagi.
"Mungkin di Aceh Tamiang kami satu-satunya yang mengembangkan usaha seni membatik, sehingga wajar bila kami perlu mesin membatik yang harganya mencapai Rp 200 juta," ujarnya.
Kepala Dinas Koperindag Aceh Tamiang Abdul Hadi melalui Kasi UKM Arfan mengaku siap membantu untuk mempromosikan batik tersebut.
Mengenai keperluan alat-alat seperti mesin yang menyangkut bidang industri, kepada yang bersangkutan bisa mengusulkan proposal ke dinas untuk ditindaklanjuti apakah itu masuk rana UKM atau industri.
"Untuk pemasaran, sesuai ketersediaan anggaran bidang UKM akan bantu mempromasikan seni tersebut lewat ajang pameran yang akan digelar di kabupaten/kota lain nanti," ujar Arfan. (Medanbisnis/ck05)
Foto: Medanbisnis
Hal tersebut tentunya harus diapresiasi agar pelaku UKM tersebut bisa langgeng menjalankan usahanya. Namun sayangnya, upaya mengembangkan dan mempromosikan batik khas daerah Aceh Tamiang ini belum juga dilirik oleh pemilik modal maupun pemerintah daerah setempat.
Seperti dialami Dewi Samsinar, warga Dusun Petuah Saleh. Ia memiliki usaha pembuatan batik cap khas Tamiang.
Ketua koperasi Kelompok Saqinah ini pun mengaku mampu mempekerjakan delapan ibu rumah tangga untuk membantu memproduksi batik.Kelompok Saqina sendiri terbentuk sejak tahun 2009, saat ini sudah beranggotakan 20 orang perempuan yang eksis bekreasi di bidang seni, terutama kerajinan tangan.
Tak tanggung-tanggung, saking ingin mengembangkan dan memperkenalkan seni batik kepada masyarakat Aceh Tamiang dan sekitarnya, Kelompok Saqina beker-jasama dengan Lembaga Logika mendatangkan guru batik khusus dari daerah Pekalongan ke bengkel batik cap Saqina.
"Tepatnya pada bulan Januari 2013 LKP Saqina dan Logika menggelar palatihan seni batik cap dengan mendatangkan guru membatik dari Pekalongan, dengan perkiraan sembilan hari di Kota Banda Aceh dan empat hari di Desa Bandar Khalifah Aceh Tamiang," kata Dewi, Rabu (19/3) di dapur usahanya.
"Tapi selama hampir setahun beroprasi, kami selalu kesulitan di bidang pemasaran. Pasalnya relasi dan promosi baik di lokal maupun luar daerah masih minim. Sejauh ini mempromosikan batik asal Bandar Khalifa baru sebatas pada pertemuan antar koperasi," ujarnya.
Meski batik buatan mereka sudah diperkenalkan ke Banda Aceh, namun masih kurang dilirik di daerah. Bahan baku, seperti kain dan campuran pewarna tekstil langsung diimpor dari Pekalongan. Mengenai cap/cetakan, mereka hanya membuat desain di sini tapi tetap ditempah ke Pekalongan.
Sementara untuk proses pembuatan batik cap berukuran standar, Dewi membutuhkan waktu selama dua hari. Pertama-tama kain putih direndam dengan tipol, kemudian dijemur, setelah kain mengering baru dicap dan dilakukan proses pewarnaan.Kemudian direndam air biasa satu malam untuk selanjutnya masuk ke proses perebusan. Setelah kain-kain yang sudah dicap itu direbus, direndam kembali selama satu malam dan keesokan harinya ditiraikan sampai kering.
"Dalam satu kain, proses pengerebusan memakan waktu lima menit," jelasnya.Ukuran batik yang tersedia mulai dari 2, 10 dan 3,10 meter.
Harga batik cetak buatan tangan kelompok ini pun sangat terjangkau, berkisar Rp 50.000 sampai paling mahal Rp 160.000/meter tergantung mutu kain.Selain menjual kain batik, LKP Saqina juga menyediakan baju batik yang sudah jadi, dengan bandrol Rp 100.000/potong.
Butik Saqinah yang terletak sekitar 35 kilometer dari ibukota kabupaten ini sekarang memiliki sekitar 20 motif contoh batik cap, di antaranya motif pucuk rebung, pintu Aceh, motif bunga selanga dan motif lain.
"Yang banyak diproduksi adalah motif pintu Aceh dan pucuk rebung bambu, karena kedua motif itu banyak dipesan orang," terang Dewi yang didampingi karyawanya Yusnawati.
Perempuan berusia 40 tahun ini mengatakan, cuaca mendung menjadi salah satu kendala tersendiri dalam proses pembuatan batik cap. Bila hari mendung tentunya berpengaruh pada saat penjemuran.
Dikatakannya, LKP Saqina dalam sepekan mampu menghasilkan 50 meter batik cap. Gaji pekerja Rp 10.000/meter, sementara keuntungan dari sepotong kain yang sudah siap dibatik sepanjang 2,10 meter Rp 25.000.
"Ya lumayan juga, keuntungan dari bahan yang terjual selama ini bisa untuk membangun butik kecil-kecilan," ujarnya.Pada bulan Juni 2013, istri bupati Iris Atika sudah pernah menyambangi lokasi usaha batiknya di Bandar Khalifah.
Iris Atika yang datang dengan kapasitas sebagai ketua PKK kabupaten sempat memuji hasil kerajinan tangan Kelompok Saqina dan menyatakan akan membantu mempromosikan usaha tersebut ke luar daerah.
Sementara Sekretaris Daerah Aceh Tamiang Razuardi MT dalam kunjunganya di Kecamatan Bendahara, berjanji membangun rumah batik di Desa Bandar Khalifah.
"Sekda sempat menanyakan sebidang tanah kepada saya untuk lahan mengembangkan usaha batik di desa ini," ungkap Dewi.
Dewi berharap ke depan ada bantuan mesin membatik, agar bisa memproduksi batik jenis printing sehingga mampu menyerab tenaga kerja lebih banyak lagi.
"Mungkin di Aceh Tamiang kami satu-satunya yang mengembangkan usaha seni membatik, sehingga wajar bila kami perlu mesin membatik yang harganya mencapai Rp 200 juta," ujarnya.
Kepala Dinas Koperindag Aceh Tamiang Abdul Hadi melalui Kasi UKM Arfan mengaku siap membantu untuk mempromosikan batik tersebut.
Mengenai keperluan alat-alat seperti mesin yang menyangkut bidang industri, kepada yang bersangkutan bisa mengusulkan proposal ke dinas untuk ditindaklanjuti apakah itu masuk rana UKM atau industri.
"Untuk pemasaran, sesuai ketersediaan anggaran bidang UKM akan bantu mempromasikan seni tersebut lewat ajang pameran yang akan digelar di kabupaten/kota lain nanti," ujar Arfan. (Medanbisnis/ck05)
Foto: Medanbisnis