MANYAK PAYED | STC - Hari masih pagi, baru pukul 07.00 WIB tapi Sutrisno sudah bermandi keringat. Pria berusia 34 tahun ini terpaksa berg...
MANYAK PAYED | STC - Hari masih pagi, baru pukul 07.00 WIB tapi Sutrisno sudah bermandi keringat. Pria berusia 34 tahun ini terpaksa bergelut dengan lumpur tanah liat sejak pagi hari, karena tak mampu membeli mesin yang harganya mencapai puluhan juta rupiah untuk mencetak batu bata.
Warga Dusun Sawah, Desa Bukit Panjang 2, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang itu memang harus bekerja keras demi keluarga, dengan membuat batu bata.
Dalam sehari dia mampu mencetak sekitar 700 sampai 800 batu. Jumlah tersebut masih jauh dari harapannya, tapi apa daya karena ia melakukannya dengan cara manual.
"Kami tidak pakai mesin, semua serba manual, jadi pengerjaanya lambat dan hasilnya sedikit. Sebenarnya pesanan ramai, tapi kemampuan tenaga terbatas," katanya.
Sebelumnya usaha tersebut sudah jauh hari digeluti Muhammad (70), bapak mertua Sutrisno. Muhammad sendiri sudah sekitar 25 tahun lebih menjadi pembuat batu bata, bisa dibilang pelopor usaha bata di Desa Bukit Panjang 2.Saat dihubungin di Lorong Inpres, Sutrisno sedang menyiapkan adonan batu bata kedua dari koin (lubang) yang dibuatnya.
Baju yang dikenakannya basa kuyup akibat keringat. Sekujur tubuhnya basah berpadu lengket tanah liat, namun selama berbincang acapkali senyum kecil tersungging di wajahnya.
"Lazimnya cara seperti ini dilakukan kerbau atau mesin, tapi ini langsung oleh manusia," guraunya.Praktiknya sederhana, tanah dicangkul dan dimasukan ke lubang yang diberi nama koin berukuran dalam 50 cm dan lebar satu meter.
Selanjutnya disiram air dan didiamkan beberapa menit sebelum tanah liat diinjak. "Dalam satu kali adonan hanya menghasilkan sekitar 120 sampai 150 batu bata," ucap Sutris.Bahan baku berupa tanah liat dibelinya dari orang lain, dan setelah jadi bata dijual berkisar Rp 350/buah.
Ia terpaksa menjual di bawah harga pasar untuk menarik minat konsumen.Pasaranya pun lumayan bagus, karena batu bata yang dibuat pasti sudah menjadi pesanan orang.
"Harga ambil di lokasi Rp 350, tapi bila diantar sampai tempat harganya bisa naik tergantung jarak tempuh," ucapnya lagi.Singkat cerita, bekerja secara manual membuat Sutrisno lambat dalam memproduksi batu-bata bila dibandingkan pengusaha modern. Jelas itu bukan tandingannya, karena selain kerja cara manual Sutris juga tidak memiliki karyawan.
Sutris membutuhkan waktu 10 hari untuk memasukan bata-batanya ke dalam tungku (dapur). Bila cetakan bata sudah genap 10.000 baru dia membakarnya.
"Kapasitas tungku hanya muat 10.000 batu," imbuhnya.Pada umumnya pengusaha batu-bata menggunakan hewan kerbau dan mesin dalam memroses adonan bata. Cara manual yang dilakukan bapak dua anak ini sudah tidak pernah ditemukan lagi, selain karena keterpaksaan.
Sutrisno yang tinggal bersama istrinya Wahida di rumah berukuran 4x5 meter berdinding papan dan berlantai tanah, masih dibantu mertuanya pada tahapan pembakaran bata.
Saat ini Sutris berharap ada perhatian pemerintah daerah untuk mendukung usahanya, , terutama bermohon bedah rumah tinggalnya. "Sudah beberapa kali rumah saya difoto, baik dari perangkat desa maupun petugas yang mengaku dari provinsi, tapi hingga kini tidak ada direhabilitasi," ungkapnya.
Nasib Sutris mungkin beda dengan Ratna (32), pengusaha batu bata sukses dari desa yang sama, yang mampu mencetak bata berkisar 3.500 batubata sehari karena menggunakan mesin.
Beda juga harga batu bata produksi Sutris dengan yang diproduksi Ratna, seharga Rp 400 sampai Rp 420/buah. Tapi begitulah nasib, mudah-mudahan bak kata ungkapan, seperti roda kadang di atas kadang di bawah. (Medanbisnis/05)
Foto: Medanbisnis
Warga Dusun Sawah, Desa Bukit Panjang 2, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang itu memang harus bekerja keras demi keluarga, dengan membuat batu bata.
Dalam sehari dia mampu mencetak sekitar 700 sampai 800 batu. Jumlah tersebut masih jauh dari harapannya, tapi apa daya karena ia melakukannya dengan cara manual.
"Kami tidak pakai mesin, semua serba manual, jadi pengerjaanya lambat dan hasilnya sedikit. Sebenarnya pesanan ramai, tapi kemampuan tenaga terbatas," katanya.
Sebelumnya usaha tersebut sudah jauh hari digeluti Muhammad (70), bapak mertua Sutrisno. Muhammad sendiri sudah sekitar 25 tahun lebih menjadi pembuat batu bata, bisa dibilang pelopor usaha bata di Desa Bukit Panjang 2.Saat dihubungin di Lorong Inpres, Sutrisno sedang menyiapkan adonan batu bata kedua dari koin (lubang) yang dibuatnya.
Baju yang dikenakannya basa kuyup akibat keringat. Sekujur tubuhnya basah berpadu lengket tanah liat, namun selama berbincang acapkali senyum kecil tersungging di wajahnya.
"Lazimnya cara seperti ini dilakukan kerbau atau mesin, tapi ini langsung oleh manusia," guraunya.Praktiknya sederhana, tanah dicangkul dan dimasukan ke lubang yang diberi nama koin berukuran dalam 50 cm dan lebar satu meter.
Selanjutnya disiram air dan didiamkan beberapa menit sebelum tanah liat diinjak. "Dalam satu kali adonan hanya menghasilkan sekitar 120 sampai 150 batu bata," ucap Sutris.Bahan baku berupa tanah liat dibelinya dari orang lain, dan setelah jadi bata dijual berkisar Rp 350/buah.
Ia terpaksa menjual di bawah harga pasar untuk menarik minat konsumen.Pasaranya pun lumayan bagus, karena batu bata yang dibuat pasti sudah menjadi pesanan orang.
"Harga ambil di lokasi Rp 350, tapi bila diantar sampai tempat harganya bisa naik tergantung jarak tempuh," ucapnya lagi.Singkat cerita, bekerja secara manual membuat Sutrisno lambat dalam memproduksi batu-bata bila dibandingkan pengusaha modern. Jelas itu bukan tandingannya, karena selain kerja cara manual Sutris juga tidak memiliki karyawan.
Sutris membutuhkan waktu 10 hari untuk memasukan bata-batanya ke dalam tungku (dapur). Bila cetakan bata sudah genap 10.000 baru dia membakarnya.
"Kapasitas tungku hanya muat 10.000 batu," imbuhnya.Pada umumnya pengusaha batu-bata menggunakan hewan kerbau dan mesin dalam memroses adonan bata. Cara manual yang dilakukan bapak dua anak ini sudah tidak pernah ditemukan lagi, selain karena keterpaksaan.
Sutrisno yang tinggal bersama istrinya Wahida di rumah berukuran 4x5 meter berdinding papan dan berlantai tanah, masih dibantu mertuanya pada tahapan pembakaran bata.
Saat ini Sutris berharap ada perhatian pemerintah daerah untuk mendukung usahanya, , terutama bermohon bedah rumah tinggalnya. "Sudah beberapa kali rumah saya difoto, baik dari perangkat desa maupun petugas yang mengaku dari provinsi, tapi hingga kini tidak ada direhabilitasi," ungkapnya.
Nasib Sutris mungkin beda dengan Ratna (32), pengusaha batu bata sukses dari desa yang sama, yang mampu mencetak bata berkisar 3.500 batubata sehari karena menggunakan mesin.
Beda juga harga batu bata produksi Sutris dengan yang diproduksi Ratna, seharga Rp 400 sampai Rp 420/buah. Tapi begitulah nasib, mudah-mudahan bak kata ungkapan, seperti roda kadang di atas kadang di bawah. (Medanbisnis/05)
Foto: Medanbisnis