HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Penegakan Hukum Gagal di Aceh

Oleh;    Amrizal J. Prang MENYIKAPI fenomena hukum dan politik di Aceh menjalang Pemilu 2014, membuat hati miris dan sesak. Polemik eksi...

Oleh;  Amrizal J. Prang

MENYIKAPI fenomena hukum dan politik di Aceh menjalang Pemilu 2014, membuat hati miris dan sesak. Polemik eksistensi Bawaslu Aceh dan Panwaslu kabupaten/kota, serta politik kekarasan sepertinya tanpa ujung.

Terutama, dugaan konflik antar Partai Aceh (PA) dengan Partai Nasional Aceh (PNA), yang telah merenggut nyawa. Ironisnya, penegakan hukum malah berjalan lamban, kalau tidak mau mengatakan diabaikan. 

Fenomena homo homini lupus (manusia makan manusia), sedang berlangsung di Aceh! Meskipun, dalam prinsip Islam kekerasan dilarang, sebagaimana hadis Rasulullah saw: 

“Tidak beriman seseorang, kecuali menyayangi saudaranya seagama sebagaimana menyayangi dirinya sendiri.” (HR. Muslim) Bukankah, Aceh berstatus sebagai daerah syari’at Islam? Begitu juga negara Indonesia, dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, amandemen ketiga pada 2002 mengakui sebagai negara hukum. 

Lalu, mengapa mengabaikan kedua norma agama dan hukum tersebut? Sehingga, wajar ketika masyarakat beranggapan syariat Islam berlaku formalitas dan mengatur pakaian ketat semata, sementara pembunuhan malah diabaikan. 

Begitu juga, dengan penegakan hukum (law enforcement), terkesan dikecualikan terhadap konflik antarpartai lokal (parlok), berbeda dengan penanganan teroris. 

Wajar dipersepsikan konflik tersebut tidak berdiri tunggal, tetapi ada pihak ketiga, dari pusat atau Aceh yang anti-perdamaian memanfaatkan kondisi tersebut. 

Kalau bukan demikian, mengapa ketika era konflik vertikal “Aceh-Jakarta”, yang berlatar belakang ideologi separatis dan penanganan teroris, penegakan hukum cepat dilakukan? Sedangkan, ketika ideologi separatis mulai tenggelam dan power struggle (perebutan kekuasaan) lokal yang mulai mengarah konflik horizontal, malah sistem hukum tidak berjalan simultan dan penegakan hukum lamban.Adakah, fenomena ini merupakan strategi melemahkan tuntutan hak-hak Aceh kepada pemerintah pusat? 

Disfungsi hukum 
Seharusnya, sistem hukum di Aceh niscaya ditegakkan dan berjalan simultan, bukan sebaliknya. Menurut, Lawrance M Friedman, dalam bukunya The Legal System: A Social Science Perspective (2009: 12-18), ada tiga sistem hukum: Pertama, legal substance (substansi hukum) atau peraturan-peraturan. Misalnya, dalam konteks pemilu pengaturannya ada UU No.8/2012 tentang Pemilu. 

Sedangkan, di luar pemilu berkaitan dengan tindak pidana, ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP); Kedua, legal structure (penegak hukum), seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara. 

Artinya, jika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat, terutama tindak pidana, baik berkaitan pemilu maupun kriminal lainnya, maka yang berwenang menegakan hukum (law enforcement) adalah para penegak hukum tersebut, dan; Ketiga, legal culture (budaya hukum), yaitu elemen sikap dan nilai sosial. 

Dimana mengacu pada adat-kebiasaan dan cara bertindak masyarakat berkaitan dengan hukum. Misalnya, kalau terjadi pelanggaran hukum, masyarakat akan menyelesaikan secara hukum dan melaporkan kepada penegak hukum bukan menyelesaikan sendiri secara kekerasan. 

Sementara fungsi sistem hukum, Friedman menyebutkan antara lain: 1) mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat atau yang disebut dengan keadilan; 2) penyelesaian sengketa dalam masyarakat; 3) kontrol sosial, baik kontrol sosial primer, yaitu menangkap dan memenjarakan pelaku pelanggar hukum dan kontrol sosial sekunder, yaitu menasehati, memberi pelajaran dan merehabilitasi; dan, 4) menciptakan norma hukum, yaitu dengan adanya kasus yang ditangani pengadilan akan melahirkan aturan hukum baru. 

Oleh karena itu, melihat polemik Bawaslu dan Panwaslu dengan DPRA dan kekerasan menjelang pemilu di Aceh, ada dua komponen tidak terlaksana secara simultan, yaitu legal structure dan legal culture. 

Di mana penegak hukum lalai dan terkesan mengabaikan penyelesaian (pelanggaran) hukum, terutama berkaitan politik lokal. Sedangkan, budaya hukum rakyat Aceh secara umum dan politisi khususnya, dalam menyelesaikan permasalahan cenderung tidak percaya pada penegak hukum. 

Sehingga, diselesaikan secara kekerasan dan main hakim sendiri. Konsekuensinya, ketika sistem hukum berjalan lamban dan tidak simultan, maka memunculkan disfungsi hukum yang bermuara pada gagalnya sistem dan penegakan hukum.

Tanggung jawab pemerintah 
Padahal, dalam konteks pemerintahan hal ini adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Bukankah, keberadaan mereka karena dipilih oleh rakyat, wajib melayani dan melindungi rakyat? Sebagaimana, dikutip Hanif Nurcholis (2005: 179-184), bahwa fungsi utama pemerintahan baik pusat maupun daerah ada tiga, yaitu: Pertama, pelayanan publik (public service fuctions). 

Di mana pemerintah wajib memberikan pelayanan publik, berupa pendidikan, kesehatan, keagamaan, lingkungan, rekreasi, sosial, perumahan, air minum, dan legalitas hukum; Kedua, membangun fasilitas publik untuk sarana menumbuhkan perekonomian daerah (development for economic growth functions). 

Membangun semua sektor yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kemudahan kegiatan ekonomi seperti pasar, jalan raya, jembatan, pelabuhan, irigasi, bursa tenaga kerja, informasi, listrik, fasilitas ekspor, dan lain-lain, dan; Ketiga, memberikan perlindungan pada masyarakat (protective fuctions), yang antara lain berupa: 1) menciptakan keamanan, ketertiban, dan ketentraman yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian, pamong praja dan tentara; 2) memberi perlindungan hukum dari tindak kejahatan; dan, 3) memberi perlindungan dari bencana alam dan bahaya kebakaran. 

Fungsi ini menjadi paling mendasar dari pemerintahan karena out put (hasil) dan out come-nya merupakan prasyarat berjalannya kegiatan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan. Oleh karenanya, dalam konteks protective functions, jika kekerasan di Aceh tidak diselesaikan oleh penegak hukum, dikhawatirkan mendekati hari pencoblosan, potensi chaos dan konflik antarsesama rakyat Aceh semakin meluas. 

Bahkan, kemungkinan berlanjut pascapemilu yang berorientasi konflik horizontal, dalam bentuk “Perang Cumbok II ala Parpol”. Sebelum ini terjadi, sayogianya para peserta pemilu menahan diri, demi kepentingan Aceh masa depan. 

Selanjutnya, kepada pemerintah pusat dan Aceh, terutama penegak hukum segera melakukan proses hukum. Kemudian, kepada elemen-elemen di Aceh seperti akademisi, cendikiawan, ulama, civil society, dan mahasiswa, yang masih bergeming dengan fenomena kekerasan ini, agar melakukan konsolidasi dan bersikap terhadap persoalan Aceh. 

Implikasi disfungsi dan kegagalan sistem pemerintahan dan sistem hukum, maka keniscayaan menggugat pemerintah pusat dan Aceh untuk mempertanggungjawabkan kelalaian dan kegagalannya. Karena, kekerasan yang terjadi bukan saja kaitannya dengan pemilu dan kriminal, tetapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM) warga negaranya. 

Sebagaimana, Pasal 28A, Pasal 28B UUD 1945, amandemen kedua (2000), joncto Pasal 9 UU No.39/1999 tentang HAM, disebutkan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya dan setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

” Selanjutnya, Pasal 71 disebutkan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan HAM.

”* Amrizal J. Prang, SH, LL.M, Kandidat Doktor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Alumnus Dayah MUDI Mesra Samalanga, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com

Sumber: Serambinews