Oleh : Amrizal J. Prang MIMPI adalah pengalaman bawah sadar melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lain...
Oleh : Amrizal J. Prang
MIMPI adalah pengalaman
bawah sadar melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau
indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan
mata yang cepat (Wikipidia). Sedangkan, visi yaitu kemampuan melihat
inti persoalan; pandangan atau wawasan kedepan atau kemampuan untuk
merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman
penglihatan atau khayalan (Kamus Bahasa Indonesia; 2008: 1548).
Perbedaan mimpi dan visi adalah terjadi di bawah alam sadar dan di alam
sadar. Namun, keduanya menggunakan “penglihatan” terhadap yang tidak
tampak, yaitu angan-angan atau khayalan.
Walaupun, visi atau
mimpi merupakan khayalan, tetapi dalam konteks organisasi atau negara
selalu mengawali dengan kata mimpi atau visi. Misalnya, Amerika Serikat
dengan American Dream. Merupakan, ungkapan Sejarawan James Truslow Adams
pada 1931 dalam bukunya, Epic of American, sebuah etos melalui kerja
keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial
mendapatkan kehidupan lebih baik. Ide ini, dimasukan dalam Declaration
of Independence, berbunyi: “Semua manusia diciptakan sama”, dan mereka
“diberkahi oleh sang pencipta dengan hak mutlak tertentu” yang di
dalamnya termasuk “kehidupan, liberty (kemerdekaan), dan pencarian
kebahagiaan”. Mimpi Amerika, menjadi kenyataan hingga menjadi negara
super power pasca runtuhnya Uni Sovyet.
Rapuh dan korupsi
Selain Amerika Serikat, juga ada mimpi-mimpi negara maju lainnya. Seperti, mimpi negara-negara Eropa, yang berhasil menjadi satu Uni Eropa. Mimpi negara Jepang setelah kekalahan perang dunia ke-II, yang kini menjadi salah satu negara industri di Asia. Berbeda dengan Indonesia, mimpi untuk menjadi satu negara maju dan kuat di Asia Tenggara dan Internasional, malah terpuruk pascakrisis moneter 1997, implikasi ekonomi yang rapuh dan korupsi.
Selain Amerika Serikat, juga ada mimpi-mimpi negara maju lainnya. Seperti, mimpi negara-negara Eropa, yang berhasil menjadi satu Uni Eropa. Mimpi negara Jepang setelah kekalahan perang dunia ke-II, yang kini menjadi salah satu negara industri di Asia. Berbeda dengan Indonesia, mimpi untuk menjadi satu negara maju dan kuat di Asia Tenggara dan Internasional, malah terpuruk pascakrisis moneter 1997, implikasi ekonomi yang rapuh dan korupsi.
Ironisnya, Singapura dan Malaysia
malah semakin maju meninggalkan Indonesia. Kalau melihat awal kemajuan
Malaysia dimulai sejak 1960, dimana meningkatkan kualitas pendidikan dan
teknologi (science and technology), serta ekonomi. Melalui pengiriman
para pelajarnya ke luar negeri, dibarengi peningkatkan kualitas dan
kuantitas infrastruktur pendidikan. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi
dengan membuka ruang investasi asing, pembebasan pajak selama lima tahun
kepada para investor baik asing maupun dalam negeri. (Tun Mohd. Salleh
Abbas, 2006:22).
Bagaimanakah mimpi Aceh dalam Indonesia?
Samakah, seperti mimpi Indonesia ingin menjadi negara maju, tetapi malah
terpuruk? Sejak terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah/Muzakir Manaf, ada 21 mimpi (janji) mereka. Salah satunya, akan
menjadikan Aceh seperti Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia.
Namun, ada kekhawatiran “mimpi Aceh” adalah sekadar mimpi. Melihat
realitas perilaku pemimpin dan masyarakat, sulit mengatakan Aceh bisa
maju. Jangankan, seperti Malaysia dan Singapura, bersaing dengan Medan
(Sumatera Utara) saja rasanya belum sanggup. Anehnya, memasuki dua tahun
pemerintahan Aceh, belum ada perubahan berarti minimal untuk program
jangka pendek, misalnya peningkatan ekonomi mikro, seperti home industry
masyarakat.
Walaupun demikian, Solly Lubis, dalam bukunya,
Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, mengatakan ada tiga syarat untuk
mencapai kemajuan dan independensi suatu daerah atau negara, yaitu: 1)
kapital, terdiri dari fund (anggaran) yang digunakan untuk menggali
hasil alam dan digunakan untuk dua hal, yaitu untuk modal kerja dan
biaya untuk kesejahteraan rakyat; dan, equipment, seperti pabrik atau
mesin; 2) ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology),
sehingga menjadi produsen bukan saja konsumen; dan, 3) perbaikan
manajemen (administrasi pemerintahan), seperti tidak melakukan korupsi
kolusi dan nepotisme (KKN).
Sementara, Hasan Muhammad Ditiro,
merupakan tokoh ideologis “Pembebas Aceh”, yang dikenal dengan Wali
Nanggroe sebelum Malik Mahmud, dalam bukunya Aceh Di Mata Dunia
(2013:98-99), mengatakan: untuk memakmurkan Aceh seperti masa kejayaan
sebelum penjajahan Belanda, perlu membuat perencanaan lebih baik dan
bersatu agar lebih kuat. Pertama, kita harus sadar bahwa kemakmuran Aceh
tergantung kepada Aceh, tidak ada bangsa lain sanggup memakmurkan Aceh,
kecuali hanya untuk dirinya sendiri.
Kedua, kita harus mengetahui
bahwa senasib, tapi (sekarang ini) berperilaku individual
(nafsi-nafsi), perilaku peuglah pucok droe (mementingkan diri
sendiri/egois) tanpa memikirkan nasib Aceh. Dengan cara mencium tangan
“orang seberang lautan”. Bukannya, bisa memakmurkan Aceh tapi malah
membuat bercerai-berai karena mereka sudah menjadi kaki tangan “orang
seberang lautan”. Jika seperti itu, tidak akan berhasil dan tidak ada
akhirnya. Tidak ada orang Aceh bisa kaya jika yang lain masih miskin.
Tidak ada orang Aceh yang makmur, jika dapur (ekonomi) yang lain tidak
berasap (menderita).
Masih berselemak KKN
Oleh karena itu, dalam persepsi saya, apa yang dikatakan Solly Lubis dan Hasan Tiro, seperti kapital dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebenarnya sudah ada di Aceh, hanya saja perlu peningkatan. Misalnya, dana dari APBA sekitar Rp 12-13 triliun per tahun dan melimpahnya sumber daya alam. Kemudian, memiliki sumber daya manusia (SDM) yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi baik lulusan dari dalam maupun luar negeri. Namun, persoalannya adalah masih bobroknya manajemen pemerintahan, alias berselemak KKN. Konsekuensinya, kedua potensi (kapital dan ilmu pengetahuan dan teknologi) tidak bisa digunakan secara maksimal.
Oleh karena itu, dalam persepsi saya, apa yang dikatakan Solly Lubis dan Hasan Tiro, seperti kapital dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebenarnya sudah ada di Aceh, hanya saja perlu peningkatan. Misalnya, dana dari APBA sekitar Rp 12-13 triliun per tahun dan melimpahnya sumber daya alam. Kemudian, memiliki sumber daya manusia (SDM) yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi baik lulusan dari dalam maupun luar negeri. Namun, persoalannya adalah masih bobroknya manajemen pemerintahan, alias berselemak KKN. Konsekuensinya, kedua potensi (kapital dan ilmu pengetahuan dan teknologi) tidak bisa digunakan secara maksimal.
Disamping itu, persoalan yang paling dominan
penghambat pembangunan dan kemajuan Aceh adalah pengaruh politicking
(mengakali secara politik atau bermain politik), sesama masyarakat Aceh.
Terutama, dikalangan para pengikut Hasan Tiro, yang sebagian sudah
berbeda haluan politik. Selanjutnya, primordialisme dan etnosentrisme,
dimana menganggap hanya SDM dan daerahnya yang lebih baik. Sehingga,
banyak SDM yang berkualitas karena tidak berasal dari daerah para
pemimpin tersebut malah diabaikan. Lebih ironis lagi, para pemimpin Aceh
sekarang adalah para pejuang dan pengikut Hasan Tiro, yang dulu melawan
kezaliman, anti-primordialisme, etnosentrisme dan peuglah pucok droe.
Kalau
fenomena ini, masih bertahan tanpa ada politic will para pemimpin dan
rakyat Aceh untuk mengubahnya dan meninggalkan “Wasiat Wali Nanggroe”,
maka pemimpin dan rakyat Aceh sekarang hanya akan jadi pemimpi dan Aceh
semakin terpuruk. Bermimpi ingin hebat seperti masa Iskandar Muda,
bermimpi ingin maju seperti Singapura dan Malaysia, dan bermimpi menjadi
bansa teulebeh (daerah hebat), tetapi tidak pernah bisa diwujudkan.
Mengutip ungkapan rakyat Malaysia “cakap tak serupa bikin”, di mulut
ingin bersatu demi “bansa Aceh”, tetapi perilaku dan perbuatan malah
terpecah-belah.
Oleh karena itu, agar generasi Aceh kedepan tidak
dicap sebagai pemimpi, maka sepatutnya melarang mereka, bermimpi Aceh
maju. Sebaliknya, memotivasi agar menuntut ilmu pengetahuan dan
teknologi setinggi langit dan bekerja keras bersama-sama agar kemajuan
Aceh, benar-benar bisa terwujud. Mustahil Aceh akan seperti Brunei
Darussalam, Malaysia dan Singapura, kalau membangun bukan dengan ilmu,
kecuali hanya mimpi. Sebagaimana, hadis Nabi Muhammad saw: “Siapa yang
menginginkan dunia, maka dengan ilmu, siapa yang menginginkan akhirat,
maka dengan ilmu, dan siapa yang mengiginkan keduanya (dunia dan
akhirat), maka dengan ilmu.” Semoga!
* Amrizal J. Prang, SH, LL.M,
Kandidat Doktor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Dosen Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal)
Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com
Sumber : Serambinews