Ilustrasi (metrotvnews) BANDA ACEH | STC - Aparat keamanan kembali memperlihatkan premanisme kepada masyarakat. Seharusnya, para pelin...
Ilustrasi (metrotvnews) |
BANDA ACEH | STC - Aparat keamanan
kembali memperlihatkan premanisme kepada masyarakat. Seharusnya, para pelindung
negara juga harus melakukan perlindungan
terhadap warga negara bukan melakukan kekerasan. Hal
ini sangat disayangkan dengan kembali terjadi kekerasan terhadap Siswa SMA 1
Sabang oleh oknum Tentara Nasional Indonesia dari kesatuan Batalion 116
Garuda Samudera
Kekerasan yang
dilakukan oleh aparat TNI tersebut dianggap masih kuatnya kultur arogansi yang
harus dihilangkan. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh, Jaringan Survey
Inisiatif, Aryos Nivada dan Chairul Fahmi dari The Aceh Institute melalui
rilisnya (04/01/2014)
Lebih lanjut
dikatakan Chairul Fahmi, “ini tidak sejalan dengan fungsi dan
peran anggota TNI berdasarkan UU 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia dan UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.”
Seharusnya
“anggota TNI mengedepankan sikap humanis dalam menyelesaikan masalah
dengan siswa SMU tersebut. Tidak hanya sebatas itu saja, tetapi mampu
memberikan contoh kepada masyarakat cara-cara bijaksana dalam menyelesaikan
masalah,” ujar Chairul Fahmi Direktur The Aceh Institute
Bagi Aceh
Institute dan Jaringan Survey Inisitiaf menilai ada kelemahan dalam pengawasan
internal Tentara Nasional Indonesia terhadap anggotanya sendiri. Anehnya bagi
kami (Aceh Institute dan Jaringan Survey Inisiatif) sejak kapan membunyikan
klason lewat institusi TNI menjadi aturan baku?, ujarnya bernada Tanya.
Aryos
menambahkan, “jika gaya arogansi tetap direproduksi oleh anggota TNI maka makin
menunjukan reformasi TNI secara kultur tidak berjalan secara prakteknya.
Tindakan pemukulan mencerminkan masih lemahnya profesionalisme anggota TNI ”,
tegas Pengamat Politik dan Keamanan Aceh.
Hasil kajian
Aceh Institute dan Jaringan Survey Inisiatif menemukan konsep pembangunan
institusi, fasilitas, dan infrastruktur kemiliteran harus berjauhan dengan
pemukiman penduduk. Penerapan kebijakan itu telah dilakukan di negara-negara maju. Tujuan utama agar meminimalisir terjadinya pelanggaran
HAM serta mengurangi jatuhnya korban jiwa jika terjadi perang.
Untuk itu The
Aceh Institute dan Jaringan Survey Inisiatif setuju dengan pernyataan Walikota
Sabang Zulkifli H Adam mengatakan tidak dibenarkan keberadaan institusi TNI di
objek wisata serta pemukiman penduduk di kawasan kepulauan Sabang. Jika
alasannya sebagai bagian strategi pengamanan wilayah Indonesia, maka harus
dipikirkan penempatan institusi TNI di kawasan Sabang.
Kasus maraknya
kejadian pemukulan dilakukan anggota TNI di Sabang terlihat dari identifikasi
berdasarkan media cetak dan online, seperti kasus; pemukulan siswa SMU (2014),
klaim tanah sepihak TNI (2010), dll. Tidak salah masyarakat meminta
dipindahkan pangkalan TNI dari kawasan Sabang.
Akibat dari
kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI, Maka Jaringan Survey Inisiatif dan
The Aceh Institute mendesak kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan
Kementerian Pertahanan untuk melakukan evaluasi kembali terkait penempatan TNI di kawasan Sabang.
Kami juga
mendesak agar ditindaklanjuti ke proses
hukum agar memberikan
efek jerah bagi anggota TNI lainnya ketika ingin melakukan pelanggaran terhadap
mandate di UU yang melekat terhadap institusinya. Papar Aryos sambil
melanjutkan “Bukan sikap bergaya preman menjadi
penyelesaiannya.”. (***)