Foto : Syawaluddin/STC SYAWALUDDIN | STC KARANG BARU | Carut marut berbagai pembangunan proyek di Aceh Tamiang (Atam), memaksa ...
Foto : Syawaluddin/STC |
SYAWALUDDIN | STC
KARANG
BARU | Carut marut berbagai pembangunan proyek di Aceh Tamiang
(Atam), memaksa Kabupaten di penghujung timur Aceh tersebut lamban dalam
merealisasikan berbagai proyek fisik, untungnya tidak dapat dinikmati oleh
masyarakat.
Pembangunan Masjid Agung yang menelan anggaran Rp.55 miliar itu;
diplot dari dana Otsus tahun 2009, stag—tak berjalan—hanya terlihat beberapa
pilar penyangga saja, yang selesai dikerjakan. Anehnya jika melihat fisik
bangunan dengan sedotan biaya pembangunan sangat tidak logis, Rp.4 miliar.
Temuan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), aliuran dana
bantuan yang turun Rp.4 miliar tersebut, berdasarkan surat perjanjian pemberian
bantuan (SP2B) tanggal 16 Oktober 2009
nomor 602/SPPB/307/TBJK/PPTK/11/2009. Dimana dalam perjanjian itu ditanda
tangani Ir Ridwan MT, pihak pertama, sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA).
Disamping Kuasa Pengguna Barang Bidang Tata Bangunan dan Jasa
Konstruksi juga sebagai Pihak Kedua H Awaluddin SH, SPn, MH sebagai ketua
panitia dan saat itu menjabat sebagai Wakil Bupati Aceh Tamiang.
“Ada beberapa catatan kejanggalan yang kita jumpai, dan ini menjadi
indikasi kuat telah terjadi markup dan menyalahi prosedur serta aturan yang
berlaku, padahal kita ketahui bersama, kasus ini sudah ditangani oleh pihak
penegak hukum, tapi apa yang kita dapati?...hasilnya nol besar”, tegas Direktur
Eksekutif LembAHtari Sayed Zainal.
Kejanggalan tersebut berupa; Pelaksanaan pekerjaan dengan dana Rp.4 miliar
ditetapkan selama 60 hari kalender sejak tanggal 16 Oktober sampai dengan 24
Desember 2009 yang dituangkan dalam pasal 6 SPPB. Ternyata perlaksanaan
pekerjaan dimulai akhir tahun 2011. Sedangkan dalam pasal 11 dinyatakan,
pelaksanaan pembangunan tidak boleh ditunda, kecuali dalam keadaan Porce
Majors.
Selanjutnya, uang bantuan yang diserahkan ke ketua panitia pembangunan
Masjid Agung akhir tahun 2009, telah mengendap lebih kurang selama dua tahun
dan bunga Bank dari Rp.4 miliar tidak bisa dipertanggung jawabkan, sebab
pembangunan baru dikerjakan di akhir tahun 2011.
Dibagian lain, surat perjanjian Kontrak Kerjsama dengan Konsultan
tentang perencanaan struktur pembangunan
Masjid Agung Atam baru ditanda tangani pada 15 Agustus 2011 sebesar Rp.797.000.000
atau senilai 1,5 persen dari pagu yang direncanakan Rp.55 miliar.
Sedangkan sejak tahun 2010 sampai 2013 sumber dana pembangunan tidak ada bantuan lagi. “anehnya
uang ke konsultan perencana dicairkan oleh Panitia Pembangunan dalam 4 tahap,
bukan dihitung berdasarkan angka Rp.4 miliar, tetapi berdasarkan angka Rp.55
miliar”, ini aneh dan sangat janggal katanya.
Lebih jauh dikatakan; lalu bagiaman kalau perusahaan konsultan
perencana tutup atau pailit, atau penanda tangan kontrak meninggal dunia?...lalu
kepada siapa semua itu akan dipertanggungjawabkan, sementara pembangunan masjid
belum selesai.
Lalu ditahun 2010 sampai dengan 2011. BPKP Aceh terhadap pembangunan
Masjid Agung dianggap tidak ada temuan kerugian, padahal pelaksanaan
pembangunan sudah moloir hampir 2 tahun, sementara nilai pembangunan fisik,
berupa tapak dasar bisa mencapai Rp.3 miliar, tidak termasuk dana konsultan perencana, hal ini sungguh sangat fantastis, serta ada apa
dengan BPKP Aceh?...tidak melakukan audit.
“Berdasarkan hasil monitoring kami, pelaksanaan pembangunan Masjid
Agung Atam tidak pernah melibatkan peran publik sebagai pungsi pengawasan,
hanya peran panitia saja yang ada. Pekerjaan dengan pola Swakola untuk
pembangunan Masjid Agung Atam, sangat logis dan perlu dipertanyakan, sebab
banyak sekali kejanggalan. Pelaksanaannya juga sangat tertutup”, jelas Sayed.
Penguat temuan antaralain; Surrat perjanjian pemberian bantuan (SPPB),
Surat Perjanjian Kerjasama Kontrak Perencanaan dengan konsultan. Lalu penarikan
uang dan kwitansi pembayaran, termasuk pembelian material. Dan terakhir SK
Bupati tentang kepanitiaan Pembangunan Masjid.