Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (inilah.com) JAKARTA | STC - Pers internasional, khususnya dari negara-negara Barat sempat menjuluk...
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (inilah.com) |
Kepemimpinan yang otoriter, mengundang berbagai penilaian dan kritikan. Sebab ketika itu Indonesia merupakan bagian dari sebuah komunitas internasional yang masuk dalam lingkaran kelompok anti-komunis. Salah satu bentuk kritikan itu diwujudkan melalui buku "Soeharto and His Generals" oleh David Jenkins, wartawan The Sydney Morning Herald, Australia.
Situasi sekarang sangat berbeda. Kepemimpinan Presiden SBY lebih banyak dipuji oleh pers Barat. Kepemimpinan SBY seolah kontras 180 derajat dengan situasi Indonesia ketika dipimpin Soeharto. SBY seorang demokrat sementara Soeharto seorang jenderal diktator.
Gaya kepemimpinan yang "kill or to be killed", seakan tak ada sama sekali dalam sistem pemerintahan SBY. Presiden yang suka menyebut Amerika Serikat sebagai tanah airnya yang kedua itu kini menjadi semacam "media darling" oleh pers internasional.
Tidak hanya pujian melalui tulisan, tetapi Presiden SBY juga dihadiahi berbagai penghargaan. SBY misalnya dipuji sebagai tokoh pluralis dunia. Sebab SBY berhasil menjaga kehidupan masyarakat yang berasal dari beraneka ragam agama, suku dan budaya.
Kalau boleh berbeda pandangan, pujian pers asing dan berbagai penghargaan yang diberikan kepada Presiden SBY, tidak tepat seratus persen. Karena untuk hal pluralisme saja, SBY tidak bisa menjaga keharmonisan antara warga yang berbeda visi termasuk keyakinan.
Lihat saja konflik muncul di antara masyarakat Islam penganut Shiah dan Sunni. Konflik ini untuk sementara tidak mengemuka, tetapi hal tersebut tidak berarti tak akan ada masalah. Terhadap pers saja, SBY sangat labil.
Persoalan ini seperti perlu disoroti, kalau yang jadi tema bahasan soal sikap SBY sebagai seorang demokrat. SBY sebagai pemimpin terlalu kerap melakukan distorsi. Ketika berbicara dengan kalimat-kalimat yang terukur, SBY mengesankan bahwa ia seorang demokrat sejati. Tapi manakala ia tidak bisa mengontrol emosinya, di saat itulah karakter aslinya sebagai seorang otoriter, justru muncul.
Setelah hampir sepuluh tahun SBY memerintah Indonesia, semakin kentara bahwa jelas ia bukan seorang demokrat atau pro demokrasi. Lihat saja caranya menyelesaikan konflik internal di Partai Demokrat. Melalui berbagai operasi senyap, SBY berhasil membuat Anas Urbaningrum merasa tidak betah di kursi Ketua Umum, sampai akhinya tokoh Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) itu mengundurkan diri sebagai orang nomor satu di Partai Demokrat.
Ketidak sukaan SBY terhadap Anas Urbaningrum untuk memimpin Partai Demokrat, sebetulnya bukan hal baru. Itu telah ditunjukkannya menjelang Kongres 2010. SBY mendorong tiga menteri senior asal Demokrat agar mengelus-elus Andi Mallarangeng sebagai sosok yang pantas memimpin Partai Demokrat. Sikap SBY ini jelas tidak demokratis.
Karena kalau betul-betul SBY seorang yang pro demokrat atau demokrasi, dia tidak perlu memberi dukungan atau berpihak kepada Andi Mallarangeng. Biarkan Munas memiliih siapa yang mereka anggap pantas.
Anas akhirnya terpilih atau mengalahkan Andi Mallarangeng. Tetapi kemenangan Anas ternyata tidak membuat SBY nyaman dan legowo. Itulah sebetulnya yang menjadi pangkal terpecahnya Partai Demokrat. Dan jelas, hal tersebut bukan disebabkan oleh pers melainkan kebijakan SBY sendiri.
Hal lain yang mengejutkan lagi, dan semakin memperkuat persepsi bahwa SBY bisa disebut otoriter adalah kejadian setelah Anas mundur. Setelah pengunduran diri Anas, Partai Demokrat harus menggelar munas, kongres luar biasa atau apapun namanya. Tanpa ada rasa sungkan, SBY menyediakan dirinya untuk dipilih menjadi Ketua Umum.
Dari segi hak azasi, kesediaannya dipilih menjadi orang nomor satu di Demokrat, sah-sah saja. Namun jelas ada yang tidak patut di sini yaitu SBY sengaja mendegradasikan posisinya. Dari pemimpin sebuah bangsa (Indonesia) yang memiliki penduduk 240 juta orang, kemudian hanya menjadi pemimpin sebuah partai politik yang jumlah konstituennya, tidak pernah tetap. Mengapa SBY melakukannya? Karena hanya di komunitas dan konstituen terbatas itu, SBY bisa mendapatkan pengakuan sebagai seorang demokrat.
Bukti lain untuk memperkuat argumentasi bahwa SBY bukan seorang demokrat sejati, tercermin dari kebijakan-kebijakannya. Misalnya perlakuannya terhadap adik iparnya, Pramono Edhie. Mantan KSAD ini, langsung menjadi fungsionaris Partai Demokrat hanya berselang beberapa hari setelah pensiun dari dinas ketentaraan.
Lalu mengapa semua ini menjadi pilihan SBY? Yah, karena SBY belum legowo dan tidak berjiwa demokratis. SBY belum mau berbagai kekuasaan dengan siapa-siapa. SBY ingin menjadi seorang pemimpin tunggal. Entah karena secara historis, SBY terlahir sebagai anak tunggal.
SBY makin jelas sebagai bukan seorang demokrat sejati dipertegas dengan kenyataan, dalam partai penguasa itu, SBY menempatkan puteranya, Ibas sebagai orang kedua atau Sekretaris Jenderal. Beruntung pers Barat yang peka terhadap soal penerapan demokrasi, tidak melihat kepengurusan di Partai Demokrat.
Sebab seandainya mereka tahu, pers Barat pasti akan menyamakan SBY dengan pemimpin dari eks negara komunis. Dimana yang menjadi pimpinan partai hanyalah terdiri dari anggota keluarga atau teman dan sahabat yang suka memuja-muji. (inilah.com)