Taufiq Winarno | OPINI Dalam waktu dekat ini, umat Islam di dunia dihadapkan kembali dengan hari raya Idul Adha. Bahkan, tidak sedi...
Taufiq Winarno | OPINI
Dalam waktu dekat ini, umat Islam di dunia dihadapkan kembali dengan
hari raya Idul Adha. Bahkan, tidak sedikit tradisi di dunia atau di
berbagai daerah khususnya di Indonesia menggelar acara tertentu untuk
menyambut dan merayakan hari raya Idul Adha. Di Jakarta misalnya, kabar
terbaru yang berkembang bahwa “Jakarta Night Religious Festival (JNRF)
2013″ akan digelar di sepanjang Jalan MH Thamrin untuk memeriahkan malam
Idul Adha.
“kurban” Kuno
Dari sisi sejarah, Kurban dinilai sebagai suatu praktik yang banyak
ditemukan dalam berbagai agama dan kebudayaan di dunia. Praktik kurban
ini ditemukan juga dalam catatan-catatan manusia yang dianggap paling
tua dan temuan-temuan arkeologis disinyalir telah mencatat
tulang-belulang manusia dan binatang sebagai tanda kurban yang telah
dipersembahkan oleh manusia pada masanya. Praktik ini tampaknya telah
dilakukan lama sebelum manusia mulai meninggalkan catatan tertulis.
Dalam masyarakat kuno misalnya, praktik kurban dilakukan tidak hanya
mempersembahkan hewan kepada kekuatan ghaib. Menurut Syaukani (2007),
ironisnya persembahan itu dilakukan dalam bentuk manusia, khususnya
perempuan dan anak-anak. Buktinya bisa dilihat pada peradaban di India
tempo dulu, yakni penyembelihan anak-anak India sebelum diganti dengan
hewan untuk dipersembahkan kepada kekuatan ghaib. Begitupun dengan
peradaban Maya di Meksiko, upacara kurban dilakukan dengan cara
menceburkan anak perawan ke sungai atau ke sumur tua.
Hal serupa dialami oleh agama-agama kuno di Mesir, Yunani, Suku Indian
mulai dari Aztec, Maya, Inca, Orang Missipi dan suku Toltek, telah
mengenal upacara kepercayaan dalam bentuk pengorbanan manusia sebagai
salah satu ritualnya yang dipersembahkan kepada Tuhan atau Dewa yang
mereka sembah.
Berdasarkan uraian diatas tampak jelas bahwa bagi peradaban kuno, inti
dari kurban tidak tertuju pada pendistribusian obyek kurban kepada
publik, karena obyek kurban itu justru dimusnahkan dengan cara dibakar
atau dihanyutkan ke sungai. Tujuan kurban tersebut dinilai masih
bersifat metafisis karena seluruhnya diberikan kepada kekuatan gaib.
“Kurban” Modern
Berbeda dengan konsep kuban yang dibawa Islam dibanding kurban pada
peradaban kuno, inti dari kurban justru tertumpu pada pendistribusiannya
terhadap publik dan tidak mengesampingkan ruh ketuhanan. Hal ini
dinilai sebagai sebuah langkah besar dalam perubahan orientasi
pengorbanan dari metafisis menjadi kegiatan bersifat sosial. Artinya,
Islam mampu memberdayakan ritual keagamaan menjadi kegiatan sosial yang
positif.
Jika kita cermati, konsep kurban dalam pemahaman Islam, kurban adalah
hewan yang disembelih waktu dhuha atau saat matahari naik (makna bahasa
dari udhiyyah). Secara terminologi, udhiyyah adalah hewan yang
disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Hewan ini biasanya terdiri dari onta,
sapi atau kambing. Secara teknis, Kurban dilakukan pada waktu tertentu,
yaitu tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari setelahnya, biasa disebut hari
tasyrik.
Dalam hari raya Idul Adha, paling tidak ada dua aspek penting yang
terkandung dalam praktik kurban yang dilakukan umat muslim. Yaitu, ajang
pendekatan diri kepada Allah melalui hewan yang dikurbankan dan dilihat
pada aspek pendistribusian daging kurban yang tertuju pada publik,
khususnya fakir-miskin.
Dalam terminologi sosial, kedua aspek tersebut tidak lantas terpisah.
Pasalnya kendatipun ibadah kurban dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
Namun, konsepnya tetap mengacu pada nilai-nilai sosial
(solidaritas sosialnya).
Bahkan, tidak sedikit orang menilai bahwa
esensi dari ibadah kurban itu justru terletak pada distribusi hewan
qurban kepada orang-orang yang tidak mampu agar mereka memiliki
perbekalan makanan pada hari raya idul Adha dan hari tasyrik.
Berdasarkan uraian diatas, konsep kurban dalam Islam adalah salah satu
bentuk protes dan kritik terhadap model pengorbanan yang dilakukan oleh
masyarakat kuno. Sebuah konsep yang lebih maju dan menjungjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun disisi lain, banyak orang yang
mempertanyakan kembali konsep kurban dengan gaya yang lebih kritis. Maka
boleh jadi, beberapa tahun kedepan konsep tersebut akan lebih dinamis
dan mungkin tidak pernah terpikir oleh manusia pada masa kini.
Ciputat (11/10/2013)