SYARIAT | STC - Sungguh tak cukup menghujat para koruptor yang perangainya memang bebal dan amoral. Para penjarah uang negara di mana p...
SYARIAT | STC - Sungguh tak cukup menghujat para koruptor yang
perangainya memang bebal dan amoral. Para penjarah uang negara di mana
pun pasti mati-matian agar tidak tertangkap dan bebas hukuman.
Segala cara dilakukan demi penyelamatan diri. Apalagi, kalau didukung kekuasaan, uang, dan pengacara andal. Segala hal bisa diurus dan dipertukarkan. Bila perlu, anjurkan mereka terus makan barang haram sampai azab Tuhan menghentikannya.
Mazhab Parsonian yang mengutamakan sistem seolah tak berlaku di negeri ini. Sebab, setiap usaha membangun tatanan dirusak oleh orang-orang yang berada di dalamnya. Teori supremasi hukum juga nol besar karena hukum ternyata dalam praktiknya tidak bebas kepentingan.
Predatornya justru banyak mereka yang mengerti hukum. Maka kuburlah ideologi hukum itu objektif dan perkasa. Ganti dengan teori hukum dagang dan dagang hukum.
Jangan terus mengiba pada komitmen hakim dan penegak keadilan. Apalah artinya obligasi moral bagi mereka ketika hasrat-hasrat duniawi membuncah dan mereka telah lama keblinger dengan logika-logika hukum verbal yang menyesatkan.
Padahal, kedudukan hakim itu diistimewakan, bahkan salah satu sifat Tuhan dilekatkan pada dirinya. Biarkan mereka sesat jalan dan kenyang dengan libido inderawi yang haram, suatu saat tentu akan berhadapan dengan hukum Tuhan. Manusia boleh bersiasat, tetapi makar dan azab Tuhan sungguh mahaberat.
Kita biarkan para ahli terus meyakini teori absolutisme hukum sampai sadar bagaimana hidup di dunia nyata. Hukum tidak pernah bebas subjektivitas dan kepentingan. Moral atau akhlak semestinya menjadi kunci tegaknya hukum.
Manakala benar-benar lurus dan jujur mata hatinya, para penegak hukum dan warga negara tidak akan pernah berani bermain-main dengan hukum. Di atas hukum serbanormatif sesungguhnya terdapat nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kebaikan yang harus dijunjung tinggi dengan jiwa kesatria.
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah sangat tegas dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Beliau superjujur dan bersahaja di muka hukum. Dia tidak pernah ingin diistimewakan.
Dalam memilih qadhi (hakim), khalifah kedua itu sungguh sangat cermat dan tegas agar para pemutus perkara itu benar-benar jujur dan adil, tidak boleh dusta dan mau disogok. Para hakim pun bukan hanya takut kepada Umar, melainkan lebih tinggi takut kepada azab dan hukum Tuhan.
Amirul Mukminin pernah membela seorang Yahudi yang memperoleh perlakuan tidak adil dari Gubernur Mesir, Amru bin Ash. Gubernur diminta untuk menegakkan keadilan dengan selurus-lurusnya dan manakala menyimpang maka Umar sendiri yang akan memenggal kepala sang gubernur. Maka itu, siapa pun tak ada yang berani mempermainkan dan memperjualbelikan hukum.
Masihkah para penegak hukum dan elite di negeri ini memiliki benteng moral yang otentik? Kata ahli hikmah, di atas hukum ada akhlak. Ketika akhlak rusak, hancurlah peradaban. (Haedar Nashir/Republika)
Segala cara dilakukan demi penyelamatan diri. Apalagi, kalau didukung kekuasaan, uang, dan pengacara andal. Segala hal bisa diurus dan dipertukarkan. Bila perlu, anjurkan mereka terus makan barang haram sampai azab Tuhan menghentikannya.
Mazhab Parsonian yang mengutamakan sistem seolah tak berlaku di negeri ini. Sebab, setiap usaha membangun tatanan dirusak oleh orang-orang yang berada di dalamnya. Teori supremasi hukum juga nol besar karena hukum ternyata dalam praktiknya tidak bebas kepentingan.
Predatornya justru banyak mereka yang mengerti hukum. Maka kuburlah ideologi hukum itu objektif dan perkasa. Ganti dengan teori hukum dagang dan dagang hukum.
Jangan terus mengiba pada komitmen hakim dan penegak keadilan. Apalah artinya obligasi moral bagi mereka ketika hasrat-hasrat duniawi membuncah dan mereka telah lama keblinger dengan logika-logika hukum verbal yang menyesatkan.
Padahal, kedudukan hakim itu diistimewakan, bahkan salah satu sifat Tuhan dilekatkan pada dirinya. Biarkan mereka sesat jalan dan kenyang dengan libido inderawi yang haram, suatu saat tentu akan berhadapan dengan hukum Tuhan. Manusia boleh bersiasat, tetapi makar dan azab Tuhan sungguh mahaberat.
Kita biarkan para ahli terus meyakini teori absolutisme hukum sampai sadar bagaimana hidup di dunia nyata. Hukum tidak pernah bebas subjektivitas dan kepentingan. Moral atau akhlak semestinya menjadi kunci tegaknya hukum.
Manakala benar-benar lurus dan jujur mata hatinya, para penegak hukum dan warga negara tidak akan pernah berani bermain-main dengan hukum. Di atas hukum serbanormatif sesungguhnya terdapat nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kebaikan yang harus dijunjung tinggi dengan jiwa kesatria.
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah sangat tegas dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Beliau superjujur dan bersahaja di muka hukum. Dia tidak pernah ingin diistimewakan.
Dalam memilih qadhi (hakim), khalifah kedua itu sungguh sangat cermat dan tegas agar para pemutus perkara itu benar-benar jujur dan adil, tidak boleh dusta dan mau disogok. Para hakim pun bukan hanya takut kepada Umar, melainkan lebih tinggi takut kepada azab dan hukum Tuhan.
Amirul Mukminin pernah membela seorang Yahudi yang memperoleh perlakuan tidak adil dari Gubernur Mesir, Amru bin Ash. Gubernur diminta untuk menegakkan keadilan dengan selurus-lurusnya dan manakala menyimpang maka Umar sendiri yang akan memenggal kepala sang gubernur. Maka itu, siapa pun tak ada yang berani mempermainkan dan memperjualbelikan hukum.
Masihkah para penegak hukum dan elite di negeri ini memiliki benteng moral yang otentik? Kata ahli hikmah, di atas hukum ada akhlak. Ketika akhlak rusak, hancurlah peradaban. (Haedar Nashir/Republika)