Foto : waspada.co.id SYAWALUDDIN | STC SEI LEPAN - Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) minta kepada Menteri K...
Foto : waspada.co.id |
SYAWALUDDIN | STC
SEI
LEPAN - Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) minta kepada
Menteri Kehutanan untuk meninjau ulang Surat Keputusan Tentang Penunjukkan
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), mengingat ada tiga Item penting yang belum dipenuhi oleh TNGL.
Bahwa TNGL belum melakukan, Penataan batas kawasan hutan,
Pemetaan kawasan hutan, dan Penetapan kawasan hutan.
Mengingat Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan yang
berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai
wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan
hutan.
“Ini yang harus ditinjau ulang, sebab TNGL belum memenuhi tiga tahapan
penetapan status hutan, yang mereka klaim sebagai Taman Nasional. Menurut hemat
saya ini aneh, TNGL tidak punya hak untuk mengusir warga korban eks konflik
Aceh, sementara status TNGL saja belum jelas. Apa-apaan ini.” tegas Sayed
Zainal, direktur Eksekutif LembAHtari.
Sayed meminta TNGL, untuk menunjukkan batas Taman Nasional yang mereka
klaim para warga korban eks konflik Aceh masuk dan menduduki wilayah mereka.
“maunya TNGL itu melihat dan mendefinisikan, TNGL itu sudah layak atau belum.
Disebut sebagai TNGL. Kalau memang itu TNGL mana batasnya tunjukkan.” Tegasnya.
Menurut LembAHtari, Pemerintah RI—khususnya Menteri Kehutanan—ada
indikasi kuat telah membuat laporan bohong ke dunia internasional, terutama
kepada United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO-badan PBB) yang khusus menangani
tentang Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, termasuk kepada
ASEAN Park Haritage. Notabene badan
pendonor.
Meningat syarat-syarat diatas belum terpenuhi khususnya di
wilayah Sei Lepan, Besitang apa yang
dikalim menjadi bahagian dari kawasan TNGL. “Kalau sebelumnya TNGL mau
membodohi masyarakat dan menutupi kebobrokan TNGL dalam menutupi indikasi
korupsi dan pembiaran terhadap perusahaan. Sekarang tidak lagi. Catat dan ingat
itu, saudara Andy Basrul.”
Apalagi, wilayah ini merupakan kawasan yang sudah dieksploitasi
besar-besaran terhadap kayu dan keanekaragaman hayati, kalau dilihat SK Mentan
Nomor 837/kpts-II/1980 dari penentuan skorsing saja, kawasan yang ditempati
para warga korban eks konflik Aceh tidak mencapai 175 skor keatas sebagai
kawasan.
“Artinya, curah hujan yang terjadi rendah, kemiringan rata-rata hanya
20 persen dan factor jenis tanah termasuk tidak peka. Apalagi wilayah ini saat
sekarang sudah menjadi sebuah peradaban perkampungan yang maju dengan income
perkapita yang tinggi atau sudah mapan.”
Pelaksanaan penggusuran paksa warga korban eks konflik Aceh di Sei Minyak, besitang Resort Sekoci Kabupaten
Langkat 26 Juni 2011 lalu, oleh BB-TNGL yang didukung oleh ribuan aparat
kepolisian dan TNI Sumatera Utara dan Langkat yang di klaim BB-TNGL masuk dalam
TNGL tidak masuk akal dan bukti kegagalan pemerintah, khususnya menteri
kehutanan untuk menjamin, melindungi hak-hak sipil rakyat warga korban eks
konflik Aceh sebagai warga Negara yang sah di dalam NKRI menjadi catatan buram.
“Kita bisa buktikan, warga korban eks konflik Aceh yang berada di Sei
Minyak—sudah sebelas tahun—tidak mendapatkan status kependudukan, termasuk;
mereka tidak diikutkan dalam pilpres, pilkada dan legislative. Kalau mau tahu
turun dan data, jangan hanya bisa ngomong di belakang meja. Apa ini yang
disebut Clean Government dan Good Governance…?.” Tagasnya.
Klaim BB-TNGL, bahwa; wilayah yang ditempati oleh warga korban eks
konflik Aceh di Barak Induk, Damar Hitam dan Sei Minyak, masuk dalam kawasan
TNGL. Secara de vacto dan de jure telah terjadi perbedaan pendapat SK Menhut
nomor 276/kpts-II/1997, hanya bersifat penunjukkan kawasan TNGL seluas
1.094.692 hektar. Bukan penetapan.
Ironisnya, SK Menhut nomor
276/kpts-II/1997 sangat bertentangan dengan Kepmenhut nomor 32/kpts-II/2001
tentang criteria dan standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Selanjutnya Kepmentan
nomor 837/kpts/UM/II/1981; tentang criteria dan tata cara penetapan Hutan
Lindung, termasum Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang perencanaan kehutanan
berdasarklan kondisi riil kawasan TNGL, khususnya di resort Sekoci (Sei Lepan,
Sikundur, Arah Senapal dan Besitang)
LembAHtari; mendukung dan konsen terhadap kepentingan konservasi
apalagi berkaitan dengan penyelamatan dan kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) yang didalamnya ada TNGL. Tetapi masalah warga korban eks konflik Aceh
yang telah menempati Barak Induk, Damar Hitan dan Sei Minyak adalah masalah
kemanusiaan, pelanggaran HAM dan hak Perlindungan Anak—menyangkut hajat hidup
orang banyak.
“Naif sekali rasanya kalau mempertahankan status kawasan yang hanya
baru penunjukan bukan penetapan, lalu mengenyampingkan kemanusiaan, pelanggaran
HAM dan Perlindungan Anak. Ingat UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Serta Konvensi PBB 20 November 1989 tentang perlindungan anak. Jika terjadi
pengguran paksa, masalah ini akan menjadi
masalah dunia internasional.” Kata Sayed.
LembAHtari menghimbau, segera hentikan penggusuran warga korban eks
konflik Aceh oleh BB-TNGL dengan bantuan dan dukungan Polri dan TNI. Dialog,
duduk dan tata ulang kawasan, agar mereka bisa hidup berdampingan dengan hutan
melalui komitmen untuk menjaga hutan yang lestari dan berkelanjutan.