HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Jalan Lintas Pedalaman Aceh Tamiang Telantar 10 Tahun

Foto: Ilustrasi-woldpress.com ACEH TAMIANG | STC -  Jalan lintas kawasan pedalaman antara Desa Lubuk Sidup-Desa Baleng Karang sepanjang...

Foto: Ilustrasi-woldpress.com
ACEH TAMIANG | STC -  Jalan lintas kawasan pedalaman antara Desa Lubuk Sidup-Desa Baleng Karang sepanjang 30 kilometer telantar pembangunannya sejak 10 tahun lalu. Sebagian badan jalan yang baru dibentuk itu kini ditumbuhi semak belukar. 

Anggota DPRK Aceh Tamiang, Ruslan yang juga warga Desa Tanjung Gelumpang  Selasa (16/7) mengatakan, jalan yang baru dilakukan pengerasan mulai dari lintas Desa Lubuk Sidup-Sikumur sepanjang 13 kilometer, walaupun begitu, kondisinya sangat memprihatinkan, saat hujan badan jalan berlumpur seperti kubangan. Sementara sisanya, masih jalan dasar. 

“Lama perjalanan dari Karang Baru mencapai dua jam karena kondisi jalan yang rusak, kalau bagus jalannya hanya butuh waktu 30 menit,” ujarnya. 

Sementara warga Desa Sikumur, Pematang Durian, Sulum, Suka makmur dan Baleng Karang ke pusat ibu kota harus menggunakan perahu sampan ke Desa Bandar Pusaka. 

Selain itu, dua titik badan jalan disekitar lintasan Tanjung Gelumpang juga masih beralur hanya menggunakan batang pohon kelapa. 

Padahal jalan terobosan tersebut menghubungkan tujuh desa Tanjung Gelumpang, Sikumur, Pematang Durian, Juar, Sulum, Suka Makmur dan Baleng Karang. 

“Banyak alur yang belum dibangun jembatan sepanjang jalan pedalaman itu,” ujarnya lagi. Buruknya infratruktur jalan, sebut Syahlan berdampak terhadap ekonomi warga yang umumnya berprofesi sebagai petani sawit dan getah karet. 

“Sawit dan getah hanya dapat dipasarkan dari lintasan jalan Desa Tanjung Gelumpang dengan menggunakan truk namun pada musim hujan terpaksa menggunakan sampan untuk menyeberangi Sungai Tamiang ke Desa Sunting Kecamatan Bandar Pusaka. 

Akibatnya, harga jual buah sawit milik petani turun drastis, untuk mengeluarkan sawit harus tiga sampai empat kali bongkar, baru dimuat dalam truk yang mengakut sawit ke pabrik. 

“Perbandingannya, kalau di Karang Baru harga sawit Rp 1.000 di sana hanya Rp 500 karena banyak ongkos yang dikeluarkan,” ujar Syahlan. ( Serambinews )