OPINI | STC - “Aceh Nanggro Islam, Aceh Tanoh Aulia, Aceh Tanoh Syuhada, rame that ulama di Aceh, Aceh nyoe Tanoh Keuramat, Aceh Seram...
Jika kita mendengar celotehan mereka tentang Aceh, maka langsung terbayang di pikiran kita bahwa Aceh adalah sebuah negeri yang paling bersyariat di Nusantara, dan bahkan ada yang beranggapan bahwa Islam di Aceh lebih kuat jika dibanding dengan Arab Saudi yang oleh sebagian masyarakat Aceh diyakini sebagai Markas Besar (Mabes) Wahabi.
Pertanyaannya
sekarang, benarkah seperti itu? Benarkah Aceh “Tanoh Aulia”? Jika benar
demikian, lantas mengapa sampai sekarang perempuan di Aceh masih saja
doyan dengan pakaian tipis plus ketat dan memamerkan aurat?
Demikian
pula dengan sebagian apa Agam (laki-laki) di Aceh, kenapa mereka masih
hobi dengan celana pendek sambil memamerkan bulu pahanya yang keriting
itu? Pernahkah para aulia mengajarkan model berpakaian seperti itu?
Benarkah Aceh “Nanggro Islam”? Jika benar, kenapa
sampai sekarang masih banyak Mesjid yang kosong dan sepi dengan jama’ah?
Mesjid di Aceh selalu saja kalah saing dengan warkop, kenapa hal ini
bisa terjadi? Beginikah corak “Nanggro Islam” yang diagung-agungkan oleh
sebagian orang Aceh?
Benarkah
di Aceh ramai Ulama? Jika benar, lantas kenapa sampai sekarang acara
hiburan yang diisi oleh artis ibu kota masih ramai pengunjung? Laki-laki
dan perempuan bercampur-baur berdesak-desakan menonton aksi
para artis tersebut.
Dimana
ulama? Apa mereka (para ulama) tidak tahu kalau kegiatan tersebut
melanggar syari’at? Jika mereka tahu, lantas kenapa mereka tidak
mencegahnya?
Benarkah
Aceh Serambi Mekkah? Jika benar, lantas kenapa para artis kita semisal
Yusniar bisa berakting di depan kamera tanpa jilbab?
Kemana
Pak WH, kenapa jika ada perempuan kampung pedagang sayur yang tidak
berjilbab ditangkap, sedangkan artis dan penyanyi Aceh bisa enjoy-enjoy
saja melenggak-lenggok pinggul di depan kamera yang kemudian di CDkan
dan ditonton oleh khalayak
ramai?
Kenapa
Pak WH tidak merazia para artis Aceh yang seksi itu? Atau mungkin Pak
WH juga ikut Syur melihat lenggok pinggul mereka yang bahenol?
Ambigu
Dalam
pandangan penulis, sebagian masyarakat Aceh bersikap ambigu (mendua)
dalam memandang Syariat Islam. Di satu sisi mereka terus meneriakkan
yel-yel Syariat Islam, tapi di sisi yang lain mereka justru
mencabik-cabik Syariat dengan tingkah dan perilaku mereka yang tidak
sesuai dengan ruh Syariat Islam.
Masyarakat
kita kadang-kadang merasa kesal melihat gadis-gadis Aceh yang berkonvoi
di jalan raya dengan setelan pakaian ketat, kadang mereka berujar
“bit-bit hana male dara nyan”.
Tapi
anehnya, sebagian orang tua di Aceh justru setiap saat membeli pakaian
ketat untuk gadis kecilnya, dan bahkan ada sebagian orang tua yang
justru membuat pabrik pakaian ketat dirumahnya.
Mereka beralasan bahwa “anak kecil tidak apa-apa pakai pakaian ketat, nanti kalau sudah dewasa, dia tidak mungkin pakai lagi”. Percaya ataupun tidak, keyakinan seperti ini ada di sebagian benak orang Aceh.
Di
satu sisi sebagian guru kita dengan gigih mengajarkan agama kepada
murid dan siswanya dengan harapan nilai mereka dalam pelajaran agama
bisa tinggi.
Namun
di sisi lain, guru kesenian malah mengajarkan tarian kepada para siswi,
bahkan di sebagian tempat penulis pernah menyaksikan siswi SMA
diajarkan bergoyang dengan pakaian ketat dan tanpa jilbab dan bahkan
ditonton oleh para pengguna jalan raya.
Kemudian,
ketika perayaan 17 Agustus, kita semua bisa menyaksikan sendiri para
siswi yang tergabung dalam group Drum Band melenggak-lenggok di jalan
raya. Meskipun sebagian mereka
menggunakan jilbab, namun pakaiannya asal-asalan dan membungkus aurat.
Di
samping itu, ketika ada aliran sesat, masyarakat kita dengan semangat
menyala-nyala bergerak layaknya pasukan SWAT dan melakukan penggrebekan
terhadap tempat-tempat yang disiyalir sebagai markas aliran sesat,
sampai di sana mereka tidak segan-segan melakukan eksekusi terhadap para
tertuduh sesat, meskipun belum ada bukti yang meyakinkan.
Ragam
eksekusipun diterapkan, mulai dari pemukulan, perusakan, pembunuhan dan
bahkan pembakaran terhadap para tertuduh sesat. Padahal jika kita
teliti secara jujur, sebagian dari “Pasukan pemburu aliran sesat”
tersebut justru tidak pernah shalat dan bahkan mungkin ada yang sama
sekali belum pernah belajar shalat seumur hidupnya.
Demikianlah
sekelumit fenomena yang terjadi di Aceh, mereka begitu bersemangat
meneriakkan yel-yel Syariat Islam, namun mereka tidak sadar bahwa
semangat dan perilaku mereka tersebut justru mencerminkan sikap “ambigu”
terhadap Syariat Islam.
Menyimak berbagai fenomena tersebut, maka tidak salah jika ada orang yang menyebut
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh hanya setengah hati dan lebih pantas disebut dengan “Syari’at Apa Ta’ak”. Wallahu A’lam. (AcehTraffic)
Bireuen, 27 Mei 2013