Foto : Ratno Sugito/FORA BANDA ACEH | STC – Forum Orangutan Aceh (FORA) sangat menyayangkan lemahnya kinerja penegak hukum dalam upaya...
Foto : Ratno Sugito/FORA |
BANDA
ACEH | STC – Forum Orangutan Aceh (FORA) sangat menyayangkan lemahnya kinerja
penegak hukum dalam upaya penyelamatan satwa yang dilindungi khusunya
Orangutan. Kematian Jack si Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang disita BKSDA Aceh pada pada Rabu 06 Mei 2013,
membuktikan adanya indikasi pembiaran terhadap pelaporan keberadaan Orangutan
yang dipelihara oleh masyararakat di kabupaten Aceh Besar, ini membuktikan bahwa BKSDA Aceh tidak serius dalam
penanganan satwaliar di Aceh.
“Kami
sangat menyayangkan kinerja BKSDA Aceh yang terkesan melindungi para terlapor
(dalam hal ini adalah masyarakat yang memelihara orangutan yang merupakan
satwa langka yang dilindungi oleh Undang
Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Eksosistemnya)”, ungkap Ketua FOR A Badrul Irfan dalam press releasenya yang
diterima suara-tamiang.com.
Menurutnya,
sesuai data dari pengelola Pusat Karantina Orangutan Sumatera di Sibolangit
Sumatra Utara, menjelaskan bahwa
sejak tahun 2002 hingga April 2013, telah
menerima sebanyak 261 orangutan (dari hasil penyitaan, penyerahan secara
sukarela, dan kelahiran bayi orangutan di stasiun karantina) termasuk 143 berasal dari Provinsi
Aceh dan 118 berasal dari lokasi lain di Indonesia.
“Dan
dari 143 orangutan yang disita dari
Provinsi Aceh oleh BKSDA Aceh, belum ada satu kasuspun yang masuk ke ranah hukum. Setelah penyitaan
dilakukkan tidak ada upaya penegakan hukum terhadap pelaku pemelihara
satwalangka. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi FORA. Dan hal ini menambah
cacatatan buruk terkait kinerja BKSDA di Aceh” ungkap Koordinator Aksi Kampanye Selamatkan Orangutan
Aceh, Ratno Sugito.
Sangat
aneh pihak terkait yakni BKSDA Aceh hanya mendiamkan saja kasus tersebut, kuat
dugaan telah banyak kasus-kasus perdagangan satwaliar yang dilindungai di
Aceh, seperti terjadinya perburuan dan
perdagangan gajah Sumatera melalui gadingnya, Harimau Sumatera dengan
menjual anakan harimau dan Patung Harimau (offset), badak Sumatera dengan
culanya dan orangutan Sumatera dengan anakan-nya.
Menyikapi
hal tersebut, FORA dan beberapa lembaga pemerhati satwa liar Aceh telah
mengirimkan surat tertanggal 4 Januari 2012 yang di tujukan kepada Kepala BKSDA
Aceh Dengan maksud untuk audiensi dengan kepada Kepala Balai
KSDA Aceh terkait banyaknya terjadi
kasus pembunuhan satwa liar seperti gajah, harimau dan orangutan di wilayah
kerja mereka , namun sampai sekarang ini belum ada tanggapan dari pihak BKSDA
Aceh.
Saat
ini, kasus-kasus satwa liar tidak pernah diproses ke ranah hukum, hanya
didiamkan oleh pihak BKSDA Aceh dan sangat aneh BKSDA berkerja seperti pemadam
kebakaran, bergerak melakukan tugasnya saat ada kejadiaan yang banyak menyinta
perhatian public baru BKSDA bergerak melakukan upaya penyitaan.
Saatnya,
BKSDA Aceh mengambil peran untuk menangkap pelaku perdaganan satwa ilegal di
Aceh, pihak Kepartemen Kehutanan melalui jajarannya Unit Pengelola
Tehknis (UPT) Pusat di daerah
seperti BKSDA harus bersikap tegas dalam menghentikan perdagangan
satwa di Indonesia.
Karena
itu pihak FORA, meminta pihak Departemen Kehutanan via Dirjen PHKA dan BKSDA
dan jarannnya di seluruh Provinsi di Indonesia, untuk menjalankan
Mandatnya dan Tupoksinya untuk melindungi satwa liar dan habitatnya dan menjaga
fungsi konservasi sumber daya alam hayati secara Kaffah Dibumi Serambi Mekkah
dan diseluruh Indonesia.
Selain
itu kami juga menghimbau kepada masyarakat secara luas, agar tidak memelihara
atau terlibat langsung dalam perdaganganandan
kepemilikan satwaliar yang dilindungi. (***)